Report Abuse

Stats

Comment

Cara Allah Swt. Memberi Rezeki

Post a Comment
CARA ALLAH SWT. MEMBERI REZEKI

Andaikata, uang kita diambil satu bagian, kemudian dikembalikan sebanyak tujuh belas kali lipat, maukah kita? Andaikata, yang mengambil tidak memberitahu lebih dahulu, kalau nantinya akan dibayar dengan berlipat ganda, maukah kita?

Marilah kita ikuti pengalaman faktual seorang bapak muda yang cukup menarik untuk dikaji. Sebutlah Pak A. Sekitar 14 tahun yang lalu, tepatnya tahun 1988, seorang muda yang gres dikarunia seorang anak, is bekerja sambil menuntaskan kuliahnya yang tinggal sebentar lagi selesai. Gaji yang didapatkan dari pekerjaannya itu setiap bulannya sanggup dikatakan sangat tidak cukup untuk biaya hidupnya beserta istri dan seorang anak kecilnya.

Suatu hari yang “naas” ia pulang dari kerjanya. Dengan penuh gembira ia membawa pulang honor pertamanya yang sebesar Rp. 40.000,- (Empat puluh ribu rupiah). Dengan perasaan gembira dan penuh dengan rasa gembira ingin ditunjukkannya hasil kerjanya itu kepada istri tercintanya.

Ingin sekali ia cepat-cepat hingga di rumah dan dengan uang itu ia ingin belanja bersama istri dan anaknya, maklum honor pertama yaitu honor yang memiliki nilai “historis” tinggi.

Setelah hingga di rumah apa yang terjadi? Ternyata dompet yang berisi honor satu bulan tersebut sudah tidak ada di saku celananya alias kecopetan ketika ia pulang dari daerah kerjanya.

Bisa dibayangkan betapa sedih, kecewa dan bingungnya ia ketika itu. Andaikata bisa, mungkin ia akan menangis sejadi-jadinya. Bahkan mungkin ia akan protes kepada yang kuasa yang telah “mengijinkan” insiden itu terjadi. Karena ia telah bekerja dengan keringatnya tanpa kenal lelah dengan penghasilan yang halal demi keluarga tercinta.

Waktu satu bulan sungguh terasa sangat usang untuk menunggu honor tersebut. Tapi apa mau dikata honor pertamanya sudah harus ia relakan untuk tidak ia miliki ketika itu. Bagaimana kalau insiden itu terjadi pada diri kita? Sanggupkah kita menerimanya dengan ikhlas?

Apa yang ia lakukan selanjutnya? Ia duduk melongo tanpa bisa berkata apa-apa sambil memandang istri dan anaknya, mengapa hal ini harus terjadi pada dirinya? Dalam kondisi ibarat itu dengan hati terasa pedih ia mencoba tegar dan berpikir praktis. Biarlah uangnya hilang, toh insiden sudah terjadi, mau diapa lagi….?”

Akhirnya diambilnya keputusan untuk tetap berusaha kalau-kalau dompet tersebut masih mungkin untuk ditemukan, walaupun secara kebijaksanaan sangat kecil kemungkinannya untuk mendapatkan kembali uangnya tersebut. Ia berusaha mengambil pesan yang tersirat dari insiden itu meskipun dengan perasaan yang tidak karuan sedihnya.

Keputusan segera diambilnya, yaitu tetap berusaha untuk mencoba mendapatkan kembali dompetnya alasannya yaitu di dalamnya ada beberapa surat berharga, diantaranya stnk kendaraan bermotor, ktp, dan beberapa surat penting lainnya.

Akhirnya untuk mendapatkan kembali surat-surat yang hilang tersebut ia menulis surat pembaca pada sebuah surat kabar, yang intinya: biarlah uang itu hilang, asal surat-suratnya sanggup kembali, dan ia berharap kalau ada orang yang menemukan dompet itu, ia minta tolong supaya di antarkan ke alamat yang tertera dalam ktp tersebut.

Apa yang dilakukan hari-hari berikutnya? Setiap hari ia membaca surat kabar, kalau-kalau ada isu perihal dompetnya yang hilang. Ketemukah dompet tersebut? ternyata tidak!

Lalu dimanakah keindahannya insiden itu? Keindahannya ialah terletak pada keharusannya ia membaca surat kabar tersebut. Seolah-olah Allah menyuruh beliau untuk membaca surat kabar setiap hari, dengan cara “mengijinkan” seseorang untuk mengambil dompetnya…

Lalu apa yang terjadi hari berikutnya? Dengan membaca surat kabar setiap hari, tanpa terasa suatu ketika ia menemukan suatu goresan pena pada disiplin ilmu yang dikuasainya yang berdasarkan pendapatnya hal itu kurang tepat, balasannya ia mencoba menulis untuk mengulas dan menyanggahnya.

Waktu berjalan dengan cepat. Ia telah lupa pada dompetnya yang hilang, dan ketika itu ia asyik menulis sesuai dengan kemampuannya yang sesuai pula dengan disiplin ilmunya.

Hal ini berlangsung beberapa bulan semenjak terjadinya insiden naas tersebut. Selanjutnya ia sering menulis dan menanggapi goresan pena orang lain hingga berulang-ulang sehingga ia menjadi seorang penulis. Meskipun masih pemula, pada surat kabar tersebut. Lalu?

Karena kemampuannya menulis dinilai cukup baik, oleh pimpinan perusahaan ia dipanggil dan ditawari untuk bekerja diperusahaan tersebut dengan honor pertama Rp 750.000,- Tujuh belas kali lipat lebih tinggi dibanding uangnya yang telah hilang waktu itu.

Itulah rupanya jawaban Allah atas insiden yang menimpa seseorang, bila sabar menerimanya. Allah “meminjam” 1 bagian, dan sekarang dikembalikan menjadi tujuh belas kali lipat lebih.

Waktu berjalan terus tanpa terasa, dan pada ketika saya menulis ini, ia telah mencapai sukses gemilang dengan penghasilan yang ribuan kali lipat dibanding uang yang hilang dulu.

Apakah ini merupakan puncak keindahan dari insiden yang terjadi di hari “naas” itu, atau bahkan Allah Yang Maha kuasa akan mengatakan pada sesuatu yang lebih indah lagi….wallahu’alam.

Yang pasti, ukuran sukses yang paling besar yaitu hati yang damai, dan senang yang tercapai. Saya yakin setiap orang pernah mengalami insiden yang senada dengan insiden diatas. Hanya saja mungkin skala dan situasinya yang berbeda.

Marilah kita renungkan perjalanan hidup kita masing-masing, niscaya kita pernah mengalami suatu kejadian, dimana insiden tersebut kita sangka sesuatu yang menyusahkan, merugikan, dan menyedihkan.

Tetapi hal itu akan menjelma sesuatu yang indah, apabila seseorang sabar menerimanya. Akhirnya muncullah pesan yang tersirat yang sangat besar yang tiada tersangka sebelumnya.

Sungguh, Allah Maha Perencana dari segala macam insiden dan peristiwa. Setiap insiden yang sudah terjadi, bagi seorang muslim merupakan ketetapan Allah yang sangat indah. Karena disitulah letak ukuran dan ujian kualitas taqwa seseorang…

***

Dari Sahabat

Related Posts

Post a Comment