Sadarkah Saudaraku bahwa kematian itu faktual dan yang hidup akan mendapatkan simpulan hidupnya, Kecuali ALLAH SWT. YANG MAHA HIDUP.
janganlah engkau menyayangi yang ada di dunia ini lebih cinta kau dengan ALLAH SWT kelak kau akan tergolong orang-orang merugi.
 |
TAK ADA YANG ABADI |
"Setiap yang bernyawa akan mencicipi mati. Dan hanya pada hari simpulan zaman sajalah diberikan dengan tepat balasanmu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh, ia memperoleh kemenangan. Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya," (QS Ali 'Imran [3]: 185).
Al Maut (kematian) senantiasa tiba tiba-tiba, tanpa kompromi, tidak sanggup diprediksi, dan tak peduli kondisi yang didatanginya.
Baru-baru ini, seorang akseptor Kejurnas Karate tiba-tiba jatuh tersungkur meninggal dunia di tengah pertandingan. Seorang tersangka korupsi didatangi kematian selesai ia joging di dalam penjara. Seorang pejabat mendadak wafat ketika serah terima jabatan.
Ada pula yang menghadap Allah swt ketika lelap tidur, bersujud dalam shalat, dan sesudah bertarung melawan penyakit. Sebagian lagi wafat dalam peperangan, kecelakaan atau tragedi alam.
Kematian itu sunnatullah
Ayat di atas menegaskan bahwa kematian yaitu sunnatullah. Setiap orang niscaya akan merasakannya. Ada jutaan wasilah (cara) dan alasannya yaitu kematian yang setiap ketika mengintai seseorang dan tak sanggup dihindari.
Allah berfirman, "Di mana pun kau berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kau di dalam benteng yang tinggi dan kokoh..." (QS An-Nisaa' [4]: 78).
Dalam kajian Imam Ibnu Katsir rahimahullah disebutkan, Allah Ta'ala memberitahu kepada semua makhluk-Nya bahu-membahu tiap-tiap yang berjiwa akan mencicipi mati. "Semua yang ada di bumi itu akan binasa, tetapi wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan tetap kekal," (QS Ar-Rahmaan [55]: 26-27).
Maka, hanya Allah yang Mahahidup dan tetap kekal. Dia-lah Yang Mahaakhir sebagaimana Dia Yang Mahaawal. Di dalam ayat tersebut terdapat takziyah untuk semua umat insan bahwa tidak ada seorang pun di muka bumi yang kekal (Tafsir Ibnu Katsir, I/386).
Sementara Sayyid Quthb rahimahullah dalam Fi Zhilali'l Qur'an (I/532-533) ketika menafsirkan ayat tersebut menyampaikan, ada sebuah hakikat/kenyataan yang harus tertancap berpengaruh dalam jiwa. Yaitu bahwa kehidupan di muka bumi ini temporer, terikat oleh ajal, kemudian datanglah keberakhirannya, tidak sanggup tidak.Orang-orang shalih akan mati, demikian pula orang-orang thalih (lawan shalih/buruk). Begitu juga para mujahid (pejuang), orang-orang yang malas berjuang, mereka yang memuliakan dirinya (dan konsisten) dengan akidah, dan orang-orang yang menghinakan dirinya kepada orang yang diperbudak (oleh nafsu dan kekuasaan). Anak-anak, orangtua, orang yang sakit, yang sehat, yang berpengaruh fisiknya, yang lemah, semuanya akan mati.
“Setiap yang berjiwa akan mencicipi mati.” Setiap jiwa akan mencicipi “tegukan” ini dan meninggalkan kehidupan fana. Tidak ada yang berbeda antara satu jiwa dengan jiwa yang lain dalam mencicipi tegukan dari ”gelas” yang meliputi/mengelilingi semua jiwa. Pembedanya hanyalah nilainya (value) dan kawasan persinggahan terakhirnya.
”Dan hanya pada hari simpulan zaman sajalah diberikan dengan tepat balasanmu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh, ia memperoleh kemenangan."
Penyebutan penyempurnaan ganjaran atas ketaatan dan kemaksiatan di sini memberi arahan perihal sebagian ganjaran yang baik maupun yang jelek yang hingga kepada insan di dunia atau di alam kubur, sebagaimana sabda Rasulullah saw, "Sesungguhnya kuburan itu sanggup menjadi taman dari taman nirwana atau galian dari galian neraka," (HR Tirmidzi no. 2460, katanya, "Ini hadits gharib, kami tidak mengenalnya kecuali dari jalur periwatan ini").
Inilah nilai yang menjadi pembeda satu dengan yang lain. Inilah kawasan persinggahan terakhir yang membedakan seseorang dengan orang lain. Nilai kekal nan awet yang berhak untuk diraih dengan perjuangan keras, susah payah dan pengorbanan. Tempat persinggahan terakhir yang seram yang berhak mendapatkan seribu perhitungan dan pertimbangan.
Penggunaan lafaz "Zuhziha" dalam ayat tersebut, berdasarkan Sayyid Quthb, menunjukkan bahwa neraka itu mempunyai jaadzibiyyah (daya tarik/magnet) yang menarik keras siapa saja yang mendekat kepadanya dan masuk ke dalam ruang lingkupnya. Bukankah maksiat juga mempunyai daya tarik yang menggiurkan?!
Karena itu, kita butuh orang yang menggerakkan dan menjauhkan kita bertahap supaya selamat dari daya tarik neraka yang dahsyat itu! Maka, barangsiapa yang dijauhkan dari ruang lingkup neraka dan diselamatkan dari daya tarik/magnetnya dan dimasukkan ke dalam surga, maka benar-benar ia telah beruntung, sukses dan berbahagia (Lihat Fii Zhilali'l Qur'an I/533).
Dunia, sementara dan memperdaya
Setelah menjelaskan kematian itu niscaya menimpa setiap jiwa, ayat di atas ditutup dengan kenyataan bahwa "Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya.” ini sebuah warning bahwa dunia yang kita singgahi dengan segala pernak-perniknya; kelezatan fisik baik berupa makanan, minuman dan relasi biologis suami isteri, maupun kelezatan non fisik menyerupai kedudukan, jabatan dan kekuasaan, semua itu betul-betul mataa'un (kesenangan), namun bukan kesenangan hakiki.
Ia hanya menyerupai barang komoditi yang dibeli secara tertipu dan terperdaya, tidak usang kemudian terkuak keburukan dan kebusukannya. Hanya kebanyakan insan selama ini tertipu dan terperdaya sehingga mengganggap dunia itu segala-galanya yang pantas diraih dengan menghalalkan segala cara. Padahal ia kesenangan yang menipu, fana, hina, hangus dan akan ditinggalkan, tidak sanggup dibawa ke liang lahat.
Allah swt berfirman, "Sedangkan kau (orang-orang kafir) menentukan kehidupan dunia, padahal kehidupan darul abadi itu lebih baik dan lebih kekal," (QS Al-A'laa [87]: 16-17).
Firman-Nya pula, "Dan apa saja [maksudnya: hal-hal yang bekerjasama dengan duniawi seperti, kekayaan, jabatan, keturunan] yang diberikan kepada kamu, maka itu yaitu kesenangan hidup duniawi dan perhiasannya; sedang apa yang di sisi Allah yaitu lebih baik dan lebih kekal. Tidakkah kau mengerti?" (QS Al-Qashash [28]: 60).
Rasulullah juga telah mengingatkan dalam sabdanya, "Demi Allah, tidaklah perbandingan dunia dengan darul abadi itu kecuali menyerupai (ketika) salah seorang kalian memasukkan jarinya ini–Yahya, perawi hadits, memberi arahan dengan jari telunjuknya–ke dalam sumur (lalu diangkat), maka perhatikanlah apa yang kembali (masih melekat di jari)!" (HR Muslim no. 7376).
Maka, pantaskah kita menghabiskan seluruh potensi dan energi kita hanya untuk dunia yang seremeh dan sehina itu dengan mengorbankan darul abadi kita?
Post a Comment
Post a Comment