Report Abuse

Stats

Comment

Hewan Kurban

Post a Comment
Berikut goresan pena perihal Hewan Kurban yang ditulis oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Hallabi  Al Atsari. Hewan Kurban yaitu kambing yang disembelih sehabis melaksanakan shalat Idul Adha dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, alasannya yaitu Dia Yang Maha Suci dan Maha Tinggi berfirman: 
"Artinya : Katakanlah : sebetulnya shalatku, kurbanku (nusuk), hidup dan matiku yaitu untuk Allah Rabb semesta alam tidak ada sekutu bagi-Nya" [Al-An'am : 162]
Nusuk dalam ayat di atas yaitu menyembelih binatang dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala.[1]
Ulama berselisih pendapat perihal aturan kurban. Yang tampak paling rajih (tepat) dari dalil-dalil yang bermacam-macam yaitu hukumnya wajib. Berikut ini akan saya sebutkan untukmu -wahai saudaraku muslim- beberapa hadits yang dijadikan sebagai dalil oleh mereka yang mewajibkan :

PERTAMA
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu ia berkata : Bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Siapa yang mempunyai kelapangan (harta) tapi ia tidak menyembelih kurban maka jangan sekali-kali ia mendekati mushalla kami" [2]

Sisi pendalilannya yaitu ia melarang orang yang mempunyai kelapangan harta untuk mendekati mushalla jikalau ia tidak menyembelih kurban. Ini memperlihatkan bahwa ia telah meninggalkan kewajiban, seolah-olah tidak ada faedah mendekatkan diri kepada Allah bersamaan dengan meninggalkan kewajiban ini.

KEDUA
Dari Jundab bin Abdullah Al-Bajali, ia berkata : Pada hari raya kurban, saya menyaksikan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Siapa yang menyembelih sebelum melaksanakan shalat maka hendaklah ia mengulang dengan binatang lain, dan siapa yang belum menyembelih kurban maka sembelihlah" [3]

Perintah secara dhahir memperlihatkan wajib, dan tidak ada [4] perkara yang memalingkan dari dhahirnya.

KETIGA
Mikhnaf bin Sulaim menyatakan bahwa ia pernah menyaksikan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah pada hari Arafah, ia bersabda.

"Artinya : Bagi setiap keluarga wajib untuk menyembelih 'atirah[5] setiap tahun. Tahukah kalian apa itu 'atirah ? Inilah yang biasa dikatakan orang dengan nama rajabiyah" [6]

Perintah dalam hadits ini memperlihatkan wajib. Adapun 'atirah telah dihapus hukumnya (mansukh), dan pembatalan kewajiban 'atirah tidak mengharuskan dihapuskannya kewajiban kurban, bahkan hukumnya tetap sebagaimana asalnya.

Berkata Ibnul Atsir :

'Atirah hukumnya mansukh, hal ini hanya dilakukan pada awal Islam.[7]

Adapun orang-orang yang menyelisihi pendapat wajibnya kurban, maka syubhat mereka yang paling besar untuk memperlihatkan (bahwa) menyembelih kurban hukumnya sunnah yaitu sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Apabila masuk sepuluh hari (yang awal dari bulan Dzulhijjah -pen), kemudian salah seorang dari kalian ingin menyembelih kurban maka janganlah ia menyentuh sedikitpun dari rambutnya dan tidak pula kulitnya". [8]

Mereka berkata [9] :

"Dalam hadits ini ada dalil yang memperlihatkan bahwa menyembelih binatang kurban tidak wajib, alasannya yaitu ia Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Jika salah seorang dari kalian ingin menyembelih kurban ...." , seandainya wajib tentunya ia tidak menyandarkan hal itu pada cita-cita (iradah) seseorang".

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah telah membantah syubhat ini sehabis ia menguatkan pendapat wajibnya hukum, dengan perkataannya [10]

"Orang-orang yang menolak wajibnya menyembelih kurban tidak ada pada mereka satu dalil. Sandaran mereka yaitu sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Siapa yang ingin menyembelih kurban ....." Mereka Berkata : "Sesuatu yang wajib tidak akan dikaitkan dengan iradah (kehendak/keinginan) !" Ini merupakan ucapan yang global, alasannya yaitu kewajiban tidak disandarkan kepada cita-cita hamba maka dikatakan : "Jika engkau mau lakukanlah", tetapi terkadang kewajiban itu digandengkan dengan syarat untuk mengambarkan satu aturan dari hukum-hukum yang ada. Seperti firman Allah :

"Artinya : Apabila kalian hendak mengerjakan shalat maka basuhlah ...." [Al-Maidah : 6]

Dikatakan : Jika kalian ingin shalat. Dan dikatakan pula : Jika kalian ingin membaca Al-Qur'an maka berta'awudzlah (mintalah pinjaman kepada Allah). Thaharah (bersuci) itu hukumnya wajib dan membaca Al-Qur'an (Al-Fatihah-pent) di dalam shalat itu wajib.

Dalam ayat ini Allah berfirman :

"Artinya : Al-Qur'an itu hanyalah peringatan bagi semesta alam, (yaitu) bagi siapa di antara kalian yang ingin menempuh jalan yang lurus" [At-Takwir : 27]

Allah berfirman demikian sedangkan cita-cita untuk istiqamah itu wajib".

Kemudian ia rahimahullah berkata [11] :

Dan juga, tidaklah setiap orang diwajibkan padanya untuk menyembelih kurban. Kewajiban hanya dibebankan bagi orang yang mampu, maka dialah yang dimaksudkan ingin menyembelih kurban, sebagaimana ia berkata :
"Artinya : Siapa yang ingin menunaikan ibadah haji hendaklah ia bersegera menunaikannya ..... " [12]

Haji hukumnya wajib bagi orang yang mampu, maka sabda ia : "Siapa yang ingin menyembelih kurban ..." sama halnya dengan sabda ia : "Siapa yang ingin menunaikan ibadah haji ........"

Imam Al-'Aini [13] rahimahullah telah memperlihatkan balasan atas dalil mereka yang telah disebutkan -dalam rangka menjelaskan ucapan penulis kitab "Al-Hadayah"[14] yang berbunyi : "Yang dimaksudkan dengan iradah (keinginan/kehendak) dalam hadits yang diriwayatkan -wallahu a'lam- yaitu lawan dari sahwu (lupa) bukan takhyir (pilihan, boleh tidaknya -pent)". Al-'Aini rahimahullah menjelaskan :

"Yakni : Tidaklah yang dimaksudka takhyir antara meninggalkan dan kebolehan, maka jadilah seolah-olah ia berkata : "Siapa yang bermaksud untuk menyembelih binatang kurban di antara kalian", dan ini tidak memperlihatkan dinafikannya kewajiban, sebagaimana sabdanya :

"Artinya : Siapa yang ingin shalat maka hendaklah ia berwudlu" [15]

Dan sabda beliau.

"Artinya : Siapa diantara kalian ingin menunaikan shalat Jum'at maka hendaklah ia mandi" [16]

Yakni siapa yang bermaksud shalat Jum'at, (jadi) bukanlah takhyir ....

Adapun pengambilan dalil tidak wajibnya kurban dengan riwayat bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyembelih kurban untuk umatnya -sebagaimana diriwayatkan dalam "Sunan Abi Daud" (2810), "Sunan At-Tirmidzi" (1574) dan "Musnad Ahmad" (3/356) dengan sanad yang shahih dari Jabir- bukanlah pengambilan dalil yang sempurna alasannya yaitu Nabi melaksanakan hal itu untuk orang yang tidak bisa dari umatnya.

Bagi orang yang tidak bisa menyembelih kurban, maka gugurlah darinya kewajiban ini.

Wallahu a'lam


[Disalin dari kitab Ahkaamu Al-'iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthatharah, edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah oleh Syaikh Ali Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, terbitan Putsaka Al-Haura, hal. 47-53, penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Husein]
_________
Foote Note.
[1]. Lihat Minhajul Muslim (355-356)
[2]. Riwayat Ahmad (1/321), Ibnu Majah (3123), Ad-Daruquthni (4/277), Al-Hakim (2/349) dan (4/231) dan sanadnya hasan
[3]. Diriwayatkan oleh Bukhari (5562), Muslim (1960), An-Nasa'i (7/224), Ibnu Majah (3152), Ath-Thayalisi (936) dan Ahmad (4/312,3131).
[4]. Akan disebutkan bantahan-bantahan terhadap dalil yang digunakan oleh orang-orang yang beropini bahwa aturan menyembelih kurban yaitu sunnah, nantikanlah.
[5]. Berkata Abu Ubaid dalam "Gharibul Hadits" (1/195) : "Atirah yaitu sembelihan di bulan Rajab yang orang-orang jahiliyah mendekatkan diri kepada Allah dengannya, kemudian tiba Islam dan kebiasaan itu dibiarkan sampai dihapus setelahnya.
[6]. Diriwayatkan Ahmad (4/215), Ibnu Majah (3125) Abu Daud (2788) Al-Baghawi (1128), At-Tirmidzi (1518), An-Nasa'i (7/167) dan dalam sanadnya ada rawi berjulukan Abu Ramlah, dia majhul (tidak dikenal). Hadits ini mempunyai jalan lain yang diriwayatkan Ahmad (5/76) namun sanadnya lemah. Tirmidzi menghasankannya dalam "Sunannya" dan dikuatkan Al-Hafidzh dalam Fathul Bari (10/4), Lihat Al-Ishabah (9/151)
[7]. Jami ul-ushul (3/317) dan lihat 'Al-Adilah Al-Muthmainah ala Tsubutin naskh fii Kitab was Sunnah (103-105) dan "Al-Mughni" (8/650-651).
[8]. Diriwayatkan Muslim (1977), Abu Daud (2791), An-Nasa'i (7/211dan 212), Al-Baghawi (1127), Ibnu Majah (3149), Al-Baihaqi (9/266), Ahmad (6/289) dan (6/301 dan 311), Al-Hakim (4/220) dan Ath-Thahawi dalam "Syarhu Ma'anil Atsar" (4/181) dan jalan-jalan Ummu Salamah Radhiyallahu 'anha.
[9]. "Al-majmu" 98/302) dan Mughni Al-Muhtaj" (4/282) 'Syarhus Sunnah" (4/348) dan "Al-Muhalla" 98/3)
[10]. Majmu Al-Fatawa (22/162-163).
[11]. Sama dengan di atas
[12]. Diriwayatkan Ahmad (1/214,323, 355), Ibnu Majah (3883), Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah (1/114) dari Al-Fadl, namun pada isnadnya ada kelemahan. Akan tetapi ada jalan lain di sisi Abi Daud (1732), Ad-Darimi (2/28), Al-Hakim (1/448), Ahmad (1/225) dan padanya ada kelemahan juga, akan tetapi dengan dua jalan haditsnya hasan Insya Allah. Lihat 'Irwaul Ghalil" oleh ustadz kami Al-Albani (4/168-169)
[13]. Dalam 'Al-Binayah fi Syarhil Hadayah" (9/106-114)
[14]. Yang dimaksud yaitu kitab "Al-Hadayah Syarhul Bidayah" dalam fiqih Hanafiyah. Kitab ini termasuk di antara kitab-kitab yang biasa digunakan dalam madzhab ini. Sebagaimana dalam "Kasyfudh Dhunun" (2/2031-2040). Kitab ini merupakan karya Imam Ali bin Abi Bakar Al-Marghinani, wafat tahun (593H), biografinya bisa dilihat dalam 'Al-Fawaidul Bahiyah" (141).
[15]. Aku tidak menerima lafadh ibarat iin, dan apa yang setelahnya cukup sebagai pengambilan dalil.
[16]. Diriwayatkan dengan lafadh ini oleh Muslim (844) dan Ibnu Umar. Adapun Bukhari, ia meriwayatkannya dan Ibnu Umar dengan lafadh yang lain, nomor (877), 9894) dan (919)



Sumber : http://almanhaj.or.id

Related Posts

Post a Comment