Report Abuse

Stats

Comment

Dunia Islam : Memahami Takdir Allah

Post a Comment

Kaum muslimin yang semoga dimuliakan oleh Allah ta’ala, salah satu rukun kepercayaan yang wajib diimani oleh setiap muslim ialah beriman kepada takdir baik maupun buruk.

Perlu diketahui bahwa beriman kepada takdir ada empat tingkatan :

Beriman kepada ilmu Allah yang ajali sebelum segala sesuatu itu ada. Di antaranya seseorang harus beriman bahwa amal perbuatannya telah diketahui (diilmui) oleh Allah sebelum dia melakukannya.

Mengimani bahwa Allah telah menulis takdir di Lauhul Mahfuzh.
Mengimani masyi’ah (kehendak Allah) bahwa segala sesuatu yang terjadi ialah lantaran kehendak-Nya.

Mengimani bahwa Allah telah membuat segala sesuatu. Allah ialah Pencipta satu-satunya dan selain-Nya ialah makhluk termasuk juga amalan manusia.

Dalil dari tingkatan pertama dan kedua di atas ialah firman Allah ta’ala

Apakah kau tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; sebenarnya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat gampang bagi Allah. (QS Al-Hajj ayat 70)

Kemudian dalil dari tingkatan ketiga di atas ialah firman Allah

Dan kau tidak sanggup menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam. (QS At Takwir ayat 29)

Sedangkan untuk tingkatan keempat, dalilnya ialah firman Allah

Padahal Allah-lah yang membuat kau dan apa yang kau perbuat itu”. QS. Ash-Shaffaat ayat 96

Macam-Macam Takdir

Takdir umum meliputi segala yang ada.
Takdir ini dicatat di Lauhul Mahfuzh. Dan Allah telah mencatat takdir segala sesuatu sampai hari kiamat. Takdir ini umum bagi seluruh makhluk. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya yang pertama kali diciptakan Allah ialah qalam (pena). Allah berfirman kepada qalam tersebut, “Tulislah”. Kemudian qalam berkata, “Wahai Rabbku, apa yang akan saya tulis?” Allah berfirman, “Tulislah takdir segala sesuatu yang terjadi sampai hari kiamat.” (HR. Abu Daud. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud).

Takdir yang merupakan rincian dari takdir yang umum.
Takdir ‘Umri yaitu takdir sebagaimana terdapat pada hadits Ibnu Mas’ud, di mana janin yang sudah ditiupkan ruh di dalam rahim ibunya akan ditetapkan mengenai 4 hal:

1. Rizki
2. Ajal
3. Amal dan
4. Sengsara atau berbahagia.

Takdir Tahunan yaitu takdir yang ditetapkan pada malam lailatul qadar mengenai insiden dalam setahun. Allah ta’ala berfirman,

“Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” (QS. Ad Dukhan ayat 4).

Ibnu Abbas mengatakan, “Pada malam lailatul qadar, ditulis pada ummul kitab segala kebaikan, keburukan, rizki dan kematian yang terjadi dalam setahun.” (Lihat Ma’alimut Tanzil, Tafsir Al Baghowi)

Seorang muslim harus beriman dengan takdir yang umum dan terperinci ini. Barangsiapa yang mengingkari sedikit saja dari keduanya, maka dia tidak beriman kepada takdir. Dan berarti dia telah mengingkari salah satu rukun kepercayaan yang wajib diimani.

1. Salah Dalam Menyikapi Takdir

Dalam menyikapi takdir Allah, ada yang mengingkari takdir dan ada pula yang terlalu hiperbola dalam menetapkannya.

Yang pertama ini dikenal dengan Qodariyyah. Dan di dalamnya ada dua kelompok lagi. Kelompok pertama ialah yang paling ekstrem. Mereka mengingkari ilmu Allah terhadap segala sesuatu dan mengingkari pula apa yang telah Allah tulis di Lauhul Mahfuzh. Mereka menyampaikan bahwa Allah memerintah dan melarang, namun Allah tidak mengetahui siapa yang taat dan berbuat maksiat. Perkara ini gres saja diketahui, tidak didahului oleh ilmu Allah dan takdirnya. Namun kelompok menyerupai ini sudah musnah dan tidak ada lagi.

Kelompok kedua ialah yang memutuskan ilmu Allah, namun meniadakan masuknya perbuatan hamba pada takdir Allah. Mereka menganggap bahwa perbuatan hamba ialah makhluk yang bangkit sendiri, Allah tidak menciptakannya dan tidak pula menghendakinya. Inilah madzhab mu’tazilah.

Kebalikan dari Qodariyyah ialah kelompok yang hiperbola dalam memutuskan takdir sehingga hamba seakan-akan dipaksa tanpa memiliki kemampuan dan ikhtiyar (usaha) sama sekali. Mereka menyampaikan sebenarnya hamba itu dipaksa untuk menuruti takdir. Oleh lantaran itu, kelompok ini dikenal dengan Jabariyyah.

Keyakinan dua kelompok di atas ialah keyakinan yang salah sebagaimana ditunjukkan dalam banyak dalil. Di antaranya ialah firman Allah,

“(yaitu) bagi siapa di antara kau yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kau tidak sanggup menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” QS. At Takwir ayat 28-29

Ayat ini secara tegas membantah pendapat yang salah dari dua kelompok di atas. Pada ayat, “(yaitu) bagi siapa di antara kau yang mau menempuh jalan yang lurus” merupakan bantahan untuk jabariyyah lantaran pada ayat ini Allah memutuskan adanya kehendak (pilihan) bagi hamba. Kaprikornus insan tidaklah dipaksa dan mereka berkehendak sendiri. Kemudian pada ayat selanjutnya, “Dan kau tidak sanggup menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam” merupakan bantahan untuk qodariyyah yang menyampaikan bahwa kehendak insan itu bangkit sendiri dan diciptakan oleh dirinya sendiri tanpa tergantung pada kehendak Allah. Ini perkataan yang salah lantaran pada ayat tersebut, Allah mengaitkan kehendak hamba dengan kehendak-Nya.

2. Keyakinan yang Benar Dalam Mengimani Takdir

Keyakinan yang benar ialah bahwa semua bentuk ketaatan, maksiat, kekufuran dan kerusakan terjadi dengan ketetapan Allah lantaran tidak ada pencipta selain Dia. Semua perbuatan hamba yang baik maupun yang jelek ialah termasuk makhluk Allah. Dan hamba tidaklah dipaksa dalam setiap yang dia kerjakan, bahkan hambalah yang menentukan untuk melakukannya.

As Safariny mengatakan, “Kesimpulannya bahwa mazhab ulama-ulama terdahulu (salaf) dan Ahlus Sunnah yang hakiki ialah meyakini bahwa Allah membuat kemampuan, kehendak, dan perbuatan hamba. Dan hambalah yang menjadi pelaku perbuatan yang dia lakukan secara hakiki. Dan Allah menyebabkan hamba sebagai pelakunya, sebagaimana firman-Nya (yang artinya),

“Dan kau tidak sanggup menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” QS. At Takwir ayat 29

Maka dalam ayat ini Allah memutuskan kehendak hamba dan Allah mengabarkan bahwa kehendak hamba ini tidak terjadi kecuali dengan kehendak-Nya. Inilah dalil yang tegas yang dipilih oleh Ahlus Sunnah.”

Sebagian orang ada yang salah paham dalam memahami takdir. Mereka menyangka bahwa seseorang yang mengimani takdir itu hanya pasrah tanpa melaksanakan alasannya ialah sama sekali. Contohnya ialah seseorang yang meninggalkan istrinya berhari-hari untuk berdakwah keluar kota. Kemudian dia tidak meninggalkan sedikit pun harta untuk kehidupan istri dan anaknya. Lalu dia mengatakan, “Saya pasrah, biarkan Allah yang akan memberi rizki pada mereka”. Sungguh ini ialah suatu kesalahan dalam memahami takdir.

Ingatlah bahwa Allah memerintahkan kita untuk mengimani takdir-Nya, di samping itu Allah juga memerintahkan kita untuk mengambil alasannya ialah dan melarang kita bermalas-malasan. Apabila kita telah mengambil sebab, namun kita mendapat hasil yang sebaliknya, maka kita dilarang berputus asa dan bersedih lantaran hal ini sudah menjadi takdir dan ketentuan Allah. Oleh lantaran itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Bersemangatlah dalam hal yang bermanfaat bagimu. Dan minta tolonglah pada Allah dan janganlah malas. Apabila kau tertimpa sesuatu, janganlah kau berkata: ‘Seandainya saya berbuat demikian, tentu tidak akan begini atau begitu’, tetapi katakanlah: ‘Qodarollahu wa maa sya’a fa’al’ (Ini telah ditakdirkan oleh Allah dan Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya) lantaran ucapan’seandainya’ akan membuka (pintu) setan.” (HR. Muslim)

3. Buah Beriman Kepada Takdir

Di antara buah dari beriman kepada takdir dan ketetapan Allah ialah hati menjadi hening dan tidak pernah risau dalam menjalani hidup ini. Seseorang yang mengetahui bahwa petaka itu ialah takdir Allah, maka dia yakin bahwa hal itu niscaya terjadi dan mustahil seseorang pun lari darinya.

Dari Ubadah bin Shomit, ia pernah menyampaikan pada anaknya, “Engkau tidak dikatakan beriman kepada Allah sampai engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang jelek dan engkau harus mengetahui bahwa apa saja yang akan menimpamu tidak akan luput darimu dan apa saja yang luput darimu tidak akan menimpamu. Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Takdir itu demikian. Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak beriman menyerupai ini, maka dia akan masuk neraka.” (Shohih. Lihat Silsilah Ash Shohihah no. 2439)

Maka apabila seseorang memahami takdir Allah dengan benar, tentu dia akan menyikapi segala petaka yang ada dengan tenang. Hal ini niscaya berbeda dengan orang yang tidak beriman pada takdir dengan benar, yang sudah barang tentu akan merasa duka dan gelisah dalam menghadapi musibah. Semoga kita dimudahkan oleh Allah untuk sabar dalam menghadapi segala cobaan yang merupakan takdir Allah.

Related Posts

Post a Comment