Report Abuse

Stats

Comment

Bab Iii - Nabi Muhammad Saw. Dari Kelahiran - Perkawinannya

Post a Comment

Sejarah Nabi Muhammad SAW.

Perkawinan Abdullah dengan Aminah
Usia Abd'l-Muttalib sudah hampir mencapai tujuhpuluh tahun atau lebih tatkala Abraha mencoba menyerang Mekah dan menghancurkan Rumah Purba. Ketika itu umur Abdullah anaknya sudah duapuluh empat tahun, dan sudah tiba masanya dikawinkan.
Pilihan Abd'l-Muttalib jatuh kepada Aminah bint Wahb bin Abd Manaf bin Zuhra, - pemimpin suku Zuhra ketika itu yang sesuai pula usianya dan mempunyai kedudukan terhormat. Maka pergilah anak-beranak itu hendak mengunjungi keluarga Zuhra. Ia dengan anaknya menemui Wahb dan melamar puterinya. Sebagian penulis sejarah berpendapat, bahwa ia pergi menemui Uhyab, paman Aminah, lantaran waktu itu ayahnya sudah meninggal dan ia di bawah asuhan pamannya. Pada hari perkawinan Abdullah dengan Aminah itu, Abd'l-Muttalib juga kawin dengan Hala, puteri pamannya. Dari perkawinan ini lahirlah Hamzah, paman Nabi dan yang seusia dengan dia.

Abdullah dengan Aminah tinggal selama tiga hari di rumah Aminah, sesuai dengan adab kebiasaan Arab bila perkawinan dilangsungkan di rumah keluarga pengantin puteri. Sesudah itu mereka pindah gotong royong ke keluarga Abd'l-Muttalib. Tak seberapa usang kemudian Abdullahpun pergi dalam suatu perjuangan perdagangan ke Suria dengan meninggalkan isteri yang dalam keadaan hamil. Tentang ini masih terdapat beberapa keterangan yang berbeda-beda: adakah Abdullah kawin lagi selain dengan Aminah; adakah perempuan lain yang tiba memberikan diri kepadanya? Rasanya tak ada gunanya mengusut keterangan-keterangan semacam ini. Yang niscaya ialah Abdullah yaitu seorang cowok yang tegap dan tampan. Bukan hal yang luar biasa bila ada perempuan lain yang ingin menjadi isterinya selain Aminah. Tetapi setelah perkawinannya dengan Aminah itu hilanglah impian yang lain walaupun untuk sementara. Siapa tahu, barangkali mereka masih menunggu ia pulang dari perjalanannya ke Syam untuk menjadi isterinya di samping Aminah. 

Dalam perjalanannya itu Abdullah tinggal selama beberapa bulan. Dalam pada itu ia pergi juga ke Gaza dan kembali lagi. Kemudian ia singgah ke tempat saudara-saudara ibunya di Medinah sekadar beristirahat setelah merasa letih selama dalam perjalanan. Sesudah itu ia akan kembali pulang dengan kafilah ke Mekah. Akan tetapi kemudian ia menderita sakit di tempat saudara-saudara ibunya itu. Kawan-kawannyapun pulang lebih dulu meninggalkan dia. Dan merekalah yang memberikan isu sakitnya itu kepada ayahnya setelah mereka hingga di Mekah. 

Abdullah Wafat
Begitu isu hingga kepada Abd'l-Muttalib ia mengutus Harith - anaknya yang sulung - ke Medinah, supaya membawa kembali bila ia sudah sembuh. Tetapi sesampainya di Medinah ia mengetahui bahwa Abdullah sudah meninggal dan sudah dikuburkan pula, sebulan setelah kafilahnya berangkat ke Mekah. Kembalilah Harith kepada keluarganya dengan membawa perasaan pilu atas selesai hidup adiknya itu. Rasa sedih dan sedih menimpa hati Abd'l-Muttalib, menimpa hati Aminah, lantaran ia kehilangan seorang suami yang selama ini menjadi impian kebahagiaan hidupnya. Demikian juga Abd'l-Muttalib sangat sayang kepadanya sehingga penebusannya terhadap Sang Berhala yang demikian rupa belum pernah terjadi di kalangan masyarakat Arab sebelum itu. 

Peninggalan Abdullah setelah wafat terdiri dari lima ekor unta, sekelompok ternak kambing dan seorang budak perempuan, yaitu Umm Ayman - yang kemudian menjadi pengasuh Nabi. Boleh jadi peninggalan serupa itu bukan berarti suatu tanda kekayaan; tapi tidak juga merupakan suatu kemiskinan. Di samping itu umur Abdullah yang masih dalam usia muda belia, sudah bisa bekerja dan berusaha mencapai kekayaan. Dalam pada itu ia memang tidak mewarisi sesuatu dari ayahnya yang masih hidup itu. 

Muhammad Lahir
Aminah sudah hamil, dan kemudian, menyerupai perempuan lain iapun melahirkan. Selesai bersalin dikirimnya isu kepada Abd'l Muttalib di Ka'bah, bahwa ia melahirkan seorang anak laki-laki. Alangkah gembiranya orang bau tanah itu setelah mendapatkan berita. Sekaligus ia teringat kepada Abdullah anaknya. Gembira sekali hatinya lantaran ternyata pengganti anaknya sudah ada. Cepat-cepat ia menemui menantunya itu, diangkatnya bayi itu kemudian dibawanya ke Ka'bah. Ia diberi nama Muhammad. Nama ini tidak umum di kalangan orang Arab tapi cukup dikenal. Kemudian dikembalikannya bayi itu kepada ibunya. Kini mereka sedang menantikan orang yang akan menyusukannya dari Keluarga Sa'd (Banu Sa'd), untuk kemudian menyerahkan anaknya itu kepada salah seorang dari mereka, sebagaimana sudah menjadi adab kaum aristokrat Arab di Mekah. 

Mengenai tahun ketika Muhammad dilahirkan, beberapa andal berlainan pendapat. Sebagian besar menyampaikan pada Tahun Gajah (570 Masehi). Ibn Abbas menyampaikan ia dilahirkan pada Tahun Gajah itu. Yang lain beropini kelahirannya itu limabelas tahun sebelum insiden gajah. Selanjutnya ada yang menyampaikan ia dilahirkan beberapa hari atau beberapa bulan atau juga beberapa tahun setelah Tahun Gajah. Ada yang menaksir tiga puluh tahun, dan ada juga yang menaksir hingga tujuhpuluh tahun. 

Juga para andal berlainan pendapat mengenai bulan kelahirannya. Sebagian besar menyampaikan ia dilahirkan bulan Rabiul Awal. Ada yang berkata lahir dalam bulan Muharam, yang lain beropini dalam bulan Safar, sebagian lagi menyatakan dalam bulan Rajab, sementara yang lain menyampaikan dalam bulan Ramadan. 

Kelainan pendapat itu juga mengenai hari bulan ia dilahirkan. Satu pendapat menyampaikan pada malam kedua Rabiul Awal, atau malam kedelapan, atau kesembilan. Tetapi pada umumnya mengatakan, bahwa ia dilahirkan pada tanggal duabelas Rabiul Awal. Ini yaitu pendapat Ibn Ishaq dan yang lain. 

Selanjutnya terdapat perbedaan pendapat mengenai waktu kelahirannya, yaitu siang atau malam, demikian juga mengenai tempat kelahirannya di Mekah. Caussin de Perceval dalam Essai sur l'Histoire des Arabes menyatakan, bahwa Muhammad dilahirkan bulan Agustus 570, yakni Tahun Gajah, dan bahwa ia dilahirkan di Mekah di rumah kakeknya Abd'l-Muttalib. 

Pada hari ketujuh kelahirannya itu Abd'l-Muttalib minta disembelihkan unta. Hal ini kemudian dilakukan dengan mengundang makan masyarakat Quraisy. Setelah mereka mengetahui bahwa anak itu diberi nama Muhammad, mereka bertanya-tanya mengapa ia tidak suka menggunakan nama nenek moyang. "Kuinginkan ia akan menjadi orang yang Terpuji1 bagi Tuhan di langit dan bagi makhlukNya di bumi," jawab Abd'l Muttalib. 

Disusukan Oleh Keluarga Sa'd
Aminah masih menunggu akan menyerahkan anaknya itu kepada salah seorang Keluarga Sa'd yang akan menyusukan anaknya, sebagaimana sudah menjadi kebiasaan bangsawan-bangsawan Arab di Mekah. Adat demikian ini masih berlaku pada bangsawan-bangsawan Mekah. Pada hari kedelapan setelah dilahirkan anak itupun dikirimkan ke pedalaman dan gres kembali pulang ke kota setelah ia berumur delapan atau sepuluh tahun. Di kalangan kabilah-kabilah pedalaman yang populer dalam menyusukan ini di antaranya ialah kabilah Banu Sa'd. Sementara masih menunggu orang yang akan menyusukan itu Aminah menyerahkan anaknya kepada Thuwaiba, budak perempuan pamannya, Abu Lahab. Selama beberapa waktu ia disusukan, menyerupai Hamzah yang juga kemudian disusukannya. Makara mereka yaitu saudara susuan. 

Sekalipun Thuwaiba hanya beberapa hari saja menyusukan, namun ia tetap memelihara korelasi yang baik sekali selama hidupnya. Setelah perempuan itu meninggal pada tahun ketujuh setelah ia hijrah ke Medinah, untuk meneruskan korelasi baik itu ia menanyakan ihwal anaknya yang juga menjadi saudara susuan. Tetapi kemudian ia mengetahui bahwa anak itu juga sudah meninggal sebelum ibunya. 

Akhirnya tiba juga wanita-wanita Keluarga Sa'd yang akan menyusukan itu ke Mekah. Mereka memang mencari bayi yang akan mereka susukan. Akan tetapi mereka menghindari bawah umur yatim. Sebenarnya mereka masih mengharapkan sesuatu jasa dari sang ayah. Sedang dari bawah umur yatim sedikit sekali yang sanggup mereka harapkan. Oleh lantaran itu di antara mereka itu tak ada yang mau mendatangi Muhammad. Mereka akan menerima hasil yang tidak mengecewakan bila mendatangi keluarga yang sanggup mereka harapkan. 

Akan tetapi Halimah bint Abi-Dhua'ib yang pada mulanya menolak Muhammad, menyerupai yang lain-lain juga, ternyata tidak menerima bayi lain sebagai gantinya. Di samping itu lantaran ia memang seorang perempuan yang kurang mampu, ibu-ibu lainpun tidak menghiraukannya. Setelah sepakat mereka akan meninggalkan Mekah. Halimah berkata kepada Harith bin Abd'l-'Uzza suaminya: "Tidak senang saya pulang bersama dengan teman-temanku tanpa membawa seorang bayi. Biarlah saya pergi kepada anak yatim itu dan akan kubawa juga." 

"Baiklah," jawab suaminya. "Mudah-mudahan lantaran itu Tuhan akan memberi berkah kepada kita." 

Halimah kemudian mengambil Muhammad dan dibawanya pergi gotong royong dengan teman-temannya ke pedalaman. Dia bercerita, bahwa semenjak diambilnya anak itu ia merasa menerima berkah. Ternak kambingnya gemuk-gemuk dan susunyapun bertambah. Tuhan telah memberkati semua yang ada padanya. 

Selama dua tahun Muhammad tinggal di sahara, disusukan oleh Halimah dan diasuh oleh Syaima', puterinya. Udara sahara dan kehidupan pedalaman yang kasar menyebabkannya cepat sekali menjadi besar, dan menambah indah bentuk dan pertumbuhan badannya. Setelah cukup dua tahun dan tiba masanya disapih, Halimah membawa anak itu kepada ibunya dan setelah itu membawanya kembali ke pedalaman. Hal ini dilakukan lantaran kehendak ibunya, kata sebuah keterangan, dan keterangan lain menyampaikan lantaran kehendak Halimah sendiri. Ia dibawa kembali supaya lebih matang, juga memang dikuatirkan dari adanya serangan wabah Mekah. 

Dua tahun lagi anak itu tinggal di sahara, menikmati udara pedalaman yang jernih dan bebas, tidak terikat oleh sesuatu ikatan jiwa, juga tidak oleh ikatan materi. 

Kisah Dua Malaikat dan Pembedahan Dada
Pada masa itu, sebelum usianya mencapai tiga tahun, ketika itulah terjadi dongeng yang banyak dikisahkan orang. Yakni, bahwa sementara ia dengan saudaranya yang sebaya sesama bawah umur itu sedang berada di belakang rumah di luar pengawasan keluarganya, tiba-tiba anak yang dari Keluarga Sa'd itu kembali pulang sambil berlari, dan berkata kepada ibu-bapanya: "Saudaraku yang dari Quraisy itu telah diambil oleh dua orang pria berbaju putih. Dia dibaringkan, perutnya dibedah, sambil di balik-balikan." 

Dan ihwal Halimah ini ada juga diceritakan, bahwa mengenai diri dan suaminya ia berkata: "Lalu saya pergi dengan ayahnya ke tempat itu. Kami jumpai ia sedang berdiri. Mukanya pucat-pasi. Kuperhatikan dia. demikian juga ayahnya. Lalu kami tanyakan: "Kenapa kau, nak?" Dia menjawab: "Aku didatangi oleh dua orang pria berpakaian putih. Aku di baringkan, kemudian perutku di bedah. Mereka mencari sesuatu di dalamnya. Tak tahu saya apa yang mereka cari." 

Halimah dan suaminya kembali pulang ke rumah. Orang itu sangat ketakutan, kalau-kalau anak itu sudah kesurupan. Sesudah itu, dibawanya anak itu kembali kepada ibunya di Mekah. Atas insiden ini Ibn Ishaq membawa sebuah Hadis Nabi setelah kenabiannya. Tetapi dalam menceritakan insiden ini Ibn Ishaq nampaknya hati-hati sekali dan menyampaikan bahwa lantaran dikembalikannya kepada ibunya bukan lantaran dongeng adanya dua malaikat itu, melainkan - menyerupai dongeng Halimah kepada Aminah - ketika ia di bawa pulang oleh Halimah setelah disapih, ada beberapa orang Nasrani Abisinia memperhatikan Muhammad dan menanyakan kepada Halimah ihwal anak itu. Dilihatnya belakang anak itu, kemudian mereka berkata: 

"Biarlah kami bawa anak ini kepada raja kami di negeri kami. Anak ini akan menjadi orang penting. Kamilah yang mengetahui keadaannya." Halimah kemudian cepat-cepat menghindarkan diri dari mereka dengan membawa anak itu. Demikian juga dongeng yang dibawa oleh Tabari, tapi ini masih di ragukan; lantaran ia menyebutkan Muhammad dalam usianya itu, kemudian kembali menyebutkan bahwa hal itu terjadi tidak usang sebelum kenabiannya dan usianya empatpuluh tahun. 


Lima Tahun Selama Tinggal Di Pedalaman

Baik kaum Orientalis maupun beberapa kalangan kaum Muslimin sendiri tidak merasa puas dengan dongeng dua malaikat ini dan menganggap sumber itu lemah sekali. Yang melihat kedua pria (malaikat) dalam dongeng penulis-penulis sejarah itu hanya bawah umur yang gres dua tahun lebih sedikit umurnya. Begitu juga umur Muhammad waktu itu. Akan tetapi sumber-sumber itu sependapat bahwa Muhammad tinggal di tengah-tengah Keluarga Sa'd itu hingga mencapai usia lima tahun. Andaikata insiden itu terjadi ketika ia berusia dua setengah tahun, dan ketika itu Halimah dan suaminya mengembalikannya kepada ibunya, tentulah terdapat pertentangan dalam dua sumber dongeng itu yang tak sanggup diterima. Oleh lantaran itu beberapa penulis berpendapat, bahwa ia kembali dengan Halimah itu untuk ketiga kalinya. 

Dalam hal ini Sir William Muir tidak mau menyebutkan dongeng ihwal dua orang berbaju putih itu, dan hanya menyebutkan, bahwa kalau Halimah dan suaminya sudah menyadari adanya suatu gangguan kepada anak itu, maka mungkin saja itu yaitu suatu gangguan krisis urat-saraf, dan kalau hal itu tidak hingga mengganggu kesehatannya ialah lantaran bentuk tubuhnya yang baik. Barangkali yang lainpun akan berkata: Baginya tidak diharapkan lagi akan ada yang harus membelah perut atau dadanya, lantaran semenjak dilahirkan Tuhan sudah mempersiapkannya supaya menjalankan risalahNya. Dermenghem berpendapat, bahwa dongeng ini tidak mempunyai dasar kecuali dari yang diketahui orang dari teks ayat yang berbunyi: "Bukankah sudah Kami lapangkan dadamu? Dan sudah Kami lepaskan beban dari kau? Yang telah memberati punggungmu?" (Qur'an 94: 1-3) 

Apa yang telah diisyaratkan Qur'an itu yaitu dalam arti rohani semata, yang maksudnya ialah membersihkan (menyucikan) dan mencuci hati yang akan mendapatkan Risalah Kudus, kemudian meneruskannya seikhlas-ikhlasnya, dengan menanggung segala beban lantaran Risalah yang berat itu. 

Dengan demikian apa yang diminta oleh kaum Orientalis dan pemikir-pemikir Muslim dalam hal ini ialah bahwa peri hidup Muhammad yaitu sifatnya insan semata-mata dan bersifat peri kemanusiaan yang luhur. Dan untuk memperkuat kenabiannya itu memang tidak perlu ia harus bersandar kepada apa yang biasa dilakukan oleh mereka yang suka kepada yang ajaib-ajaib. Dengan demikian mereka beralasan sekali menolak jawaban penulis-penulis Arab dan kaum Muslimin ihwal peri hidup Nabi yang tidak masuk nalar itu. Mereka beropini bahwa apa yang dikemukakan itu tidak sejalan dengan apa yang diminta oleh Qur'an supaya merenungkan ciptaan Tuhan, dan bahwa undang-undang Tuhan takkan ada yang berubah-ubah. Tidak sesuai dengan lisan Qur'an ihwal kaum Musyrik yang tidak mau mendalami dan tidak mau mengerti juga. 

Muhammad tinggal pada Keluarga Sa'd hingga mencapai usia lima tahun, menghirup jiwa kebebasan dan kemerdekaan dalam udara sahara yang lepas itu. Dari kabilah ini ia berguru mempergunakan bahasa Arab yang murni, sehingga pernah ia menyampaikan kepada teman-temannya kemudian: "Aku yang paling fasih di antara kau sekalian. Aku dari Quraisy tapi diasuh di tengah-tengah Keluarga Sa'd bin Bakr." 

Lima tahun masa yang ditempuhnya itu telah memberikan kenangan yang indah sekali dan kekal dalam jiwanya. Demikian juga Ibu Halimah dan keluarganya tempat ia menumpahkan rasa kasih sayang dan hormat selama hidupnya itu. 

Penduduk kawasan itu pernah mengalami suatu masa paceklik setelah perkawinan Muhammad dengan Khadijah. Bilamana Halimah kemudian mengunjunginya, sepulangnya ia dibekali dengan harta Khadijah berupa unta yang dimuati air dan empat puluh ekor kambing. Dan setiap ia tiba dibentangkannya pakaiannya yang paling berharga untuk tempat duduk Ibu Halimah sebagai tanda penghormatan. Ketika Syaima, puterinya berada di bawah tawanan gotong royong pihak Hawazin setelah Ta'if dikepung, kemudian dibawa kepada Muhammad, ia segera mengenalnya. Ia dihormati dan dikembalikan kepada keluarganya sesuai dengan keinginan perempuan itu. 

Sesudah lima tahun, kemudian Muhammad kembali kepada ibunya. Dikatakan juga, bahwa Halimah pernah mencari tatkala ia sedang membawanya pulang ketempat keluarganya tapi tidak menjumpainya. Ia mendatangi Abd'l-Muttalib dan memberitahukan bahwa Muhammad telah sesat jalan ketika berada di hulu kota Mekah. Lalu Abd'l-Muttalibpun menyuruh orang mencarinya, yang alhasil dikembalikan oleh Waraqa bin Naufal, demikian setengah orang berkata. 

Di Bawah Asuhan Abd'l-Muttalib

Kemudian Abd'l-Muttalib yang bertindak mengasuh cucunya itu. Ia memeliharanya sungguh-sungguh dan mencurahkan segala kasih-sayangnya kepada cucu ini. Biasanya buat orang bau tanah itu - pemimpin seluruh Quraisy dan pemimpin Mekah - diletakkannya hamparan tempat ia duduk di bawah naungan Ka'bah, dan anak-anaknya kemudian duduk pula sekeliling hamparan itu sebagai penghormatan kepada orang tua. Tetapi apabila Muhammad yang tiba maka didudukkannya ia di sampingnya diatas hamparan itu sambil ia mengelus-ngelus punggungnya. Melihat betapa besarnya rasa cintanya itu paman-paman Muhammad tidak mau membiarkannya di belakang dari tempat mereka duduk itu. 

Lebih-lebih lagi kecintaan kakek itu kepada cucunya ketika Aminah kemudian membawa anaknya itu ke Medinah untuk diperkenalkan kepada saudara-saudara kakeknya dari pihak Keluarga Najjar. 

Dalam perjalanan itu dibawanya juga Umm Aiman, budak perempuan yang ditinggalkan ayahnya dulu. Sesampai mereka di Medinah kepada anak itu diperlihatkan rumah tempat ayahnya meninggal dulu serta tempat ia dikuburkan. Itu yaitu yang pertama kali ia mencicipi sebagai anak yatim. Dan barangkali juga ibunya pernah menceritakan dengan panjang lebar ihwal ayah tercinta itu, yang setelah beberapa waktu tinggal bersama-sama, kemudian meninggal dunia di tengah-tengah pamannya dari pihak ibu. Sesudah Hijrah pernah juga Nabi menceritakan kepada sahabat-sahabatnya kisah perjalanannya yang pertama ke Medinah dengan ibunya itu. Kisah yang penuh cinta pada Medinah, kisah yang penuh sedih pada orang yang ditinggalkan keluarganya. 

Aminah Wafat
Sesudah cukup sebulan mereka tinggal di Medinah, Aminah sudah berkemas-kemas akan pulang. Ia dan rombongan kembali pulang dengan dua ekor unta yang membawa mereka dari Mekah. Tetapi di tengah perjalanan, ketika mereka hingga di Abwa'2 ibunda Aminah menderita sakit, yang kemudian meninggal dan dikuburkan pula di tempat itu. 

Anak itu oleh Umm Aiman dibawa pulang ke Mekah, pulang menangis dengan hati yang pilu, sebatang kara. Ia makin merasa kehilangan; sudah ditakdirkan menjadi anak yatim. Terasa olehnya hidup yang makin sunyi, makin sedih. Baru beberapa hari yang kemudian ia mendengar dari Ibunda keluhan sedih kehilangan Ayahanda semasa ia masih dalam kandungan. Kini ia melihat sendiri dihadapannya, ibu pergi untuk tidak kembali lagi, menyerupai ayah dulu. Tubuh yang masih kecil itu kini dibiarkan memikul beban hidup yang berat, sebagai yatim-piatu. 

Lebih-lebih lagi kecintaan Abd'l-Muttalib kepadanya. Tetapi sungguhpun begitu, kenangan sedih sebagai anak yatim-piatu itu bekasnya masih mendalam sekali dalam jiwanya sehingga di dalam Qur'anpun disebutkan, ketika Allah mengingatkan Nabi akan nikmat yang dianugerahkan kepadanya itu: "Bukankah engkau dalam keadaan yatim-piatu? Lalu diadakanNya orang yang akan melindungimu? Dan menemukan kau kehilangan pedoman, kemudian ditunjukkanNya jalan itu?" (Qur'an, 93: 6-7) 

Abd'l-Muttalib Wafat

Kenangan yang memilukan hati ini barangkali akan terasa agak meringankan juga sedikit, sekiranya Abd'l-Muttalib masih sanggup hidup lebih usang lagi. Tetapi orang bau tanah itu juga meninggal, dalam usia delapanpuluh tahun, sedang Muhammad waktu itu gres berumur delapan tahun. Sekali lagi Muhammad dirundung kesedihan lantaran selesai hidup kakeknya itu, menyerupai yang sudah dialaminya ketika ibunya meninggal. Begitu sedihnya dia, sehingga selalu ia menangis sambil mengantarkan keranda mayat hingga ketempat peraduan terakhir. 

Bahkan setelah itupun ia masih tetap mengenangkannya sekalipun setelah itu, di bawah asuhan Abu Talib pamannya ia menerima perhatian dan pemeliharaan yang baik sekali, menerima proteksi hingga masa kenabiannya, yang terus demikian hingga pamannya itupun alhasil meninggal. 

Sebenarnya selesai hidup Abd'l-Muttalib ini merupakan pukulan berat bagi Keluarga Hasyim semua. Di antara anak-anaknya itu tak ada yang menyerupai dia: mempunyai keteguhan hati, kewibawaan, pandangan yang tajam, terhormat dan kuat di kalangan Arab semua. Dia menyediakan kuliner dan minuman bagi mereka yang tiba berziarah, memberikan dukungan kepada penduduk Mekah bila mereka menerima bencana. Sekarang ternyata tak ada lagi dari anak-anaknya itu yang akan sanggup meneruskan. Yang dalam keadaan miskin, tidak bisa melaksanakan itu, sedang yang kaya hidupnya kikir sekali. Oleh lantaran itu maka Keluarga Umaya yang kemudian tampil ke depan akan mengambil tampuk pimpinan yang memang semenjak dulu diinginkan itu, tanpa menghiraukan bahaya yang tiba dari pihak Keluarga Hasyim. 

Di Bawah Asuhan Abu Talib
Pengasuhan Muhammad di pegang oleh Abu Talib, sekalipun ia bukan yang tertua di antara saudara-saudaranya. Saudara tertua yaitu Harith, tapi ia tidak seberapa mampu. Sebaliknya Abbas yang mampu, tapi ia kikir sekali dengan hartanya. Oleh lantaran itu ia hanya memegang urusan siqaya (pengairan) tanpa mengurus rifada (makanan). Sekalipun dalam kemiskinannya itu, tapi Abu Talib mempunyai perasaan paling halus dan terhormat di kalangan Quraisy. Dan tidak pula mengherankan kalau Abd'l-Muttalib menyerahkan asuhan Muhammad kemudian kepada Abu Talib. 

Abu Talib menyayangi kemenakannya itu sama menyerupai Abd'l-Muttalib juga. Karena kecintaannya itu ia mendahulukan kemenakan daripada anak-anaknya sendiri. Budi pekerti Muhammad yang luhur, cerdas, suka berbakti dan baik hati, itulah yang lebih menggoda pamannya. Pernah pada suatu ketika ia akan pergi ke Syam membawa dagangan - ketika itu usia Muhammad gres duabelas tahun - mengingat sulitnya perjalanan menyeberangi padang pasir, tak terpikirkan olehnya akan membawa Muhammad. Akan tetapi Muhammad yang dengan tulus menyatakan akan menemani pamannya itu, itu juga yang menghilangkan perilaku ragu-ragu dalam hati Abu Talib. 

Pergi Ke Suria Dalam Usia Duabelas Tahun
Anak itu kemudian turut serta dalam rombongan kafilah, hingga hingga di Bushra di sebelah selatan Syam. Dalam buku-buku riwayat hidup Muhammad diceritakan, bahwa dalam perjalanan inilah ia bertemu dengan rahib Bahira, dan bahwa rahib itu telah melihat tanda-tanda kenabian padanya sesuai dengan petunjuk cerita-cerita Kristen. Sebagian sumber menceritakan, bahwa rahib itu menasehatkan keluarganya supaya jangan terlampau dalam memasuki kawasan Syam, lantaran dikuatirkan orang-orang Yahudi yang mengetahui tanda-tanda itu akan berbuat jahat terhadap dia. 

Dalam perjalanan itulah sepasang mata Muhammad yang indah itu melihat luasnya padang pasir, menatap bintang-bintang yang berkilauan di langit yang jernih cemerlang. Dilaluinya daerah-daerah Madyan, Wadit'l-Qura serta peninggalan bangunan-bangunan Thamud. Didengarnya dengan telinganya yang tajam segala dongeng orang-orang Arab dan penduduk pedalaman ihwal bangunan-bangunan itu, ihwal sejarahnya masa lampau. Dalam perjalanan ke kawasan Syam ini ia berhenti di kebun-kebun yang lebat dengan buab-buahan yang sudah masak, yang akan menciptakan ia lupa akan kebun-kebun di Ta'if serta segala dongeng orang ihwal itu. Taman-taman yang dilihatnya dibandingkannya dengan dataran pasir yang gersang dan gunung-gunung tandus di sekeliling Mekah itu. Di Syam ini juga Muhammad mengetahui berita-berita ihwal Kerajaan Rumawi dan agama Kristennya, didengarnya isu ihwal Kitab Suci mereka serta oposisi Persia dari penyembah api terhadap mereka dan persiapannya menghadapi perang dengan Persia. 

Sekalipun usianya gres dua belas tahun, tapi ia sudah mempunyai persiapan kebesaran jiwa, kecerdasan dan ketajaman otak, sudah mempunyai tinjauan yang begitu dalam dan ingatan yang cukup kuat serta segala sifat-sifat semacam itu yang diberikan alam kepadanya sebagai suatu persiapan akan mendapatkan risalah (misi) maha besar yang sedang menantinya. Ia melihat ke sekeliling, dengan perilaku menyelidiki, meneliti. Ia tidak puas terhadap segala yang didengar dan dilihatnya. Ia bertanya kepada diri sendiri: Di manakah kebenaran dari semua itu? 

Tampaknya Abu Talib tidak banyak membawa harta dari perjalanannya itu. Ia tidak lagi mengadakan perjalanan demikian. Malah sudah merasa cukup dengan yang sudah diperolehnya itu. Ia menetap di Mekah mengasuh anak-anaknya yang banyak sekalipun dengan harta yang tidak seberapa. Muhammad juga tinggal dengan pamannya, mendapatkan apa yang ada. Ia melaksanakan pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh mereka yang seusia dia. Bila tiba bulan-bulan suci, kadang ia tinggal di Mekah dengan keluarga, kadang pergi bersama mereka ke pekan-pekan yang berdekatan dengan 'Ukaz, Majanna dan Dhu'l-Majaz, mendengarkan sajak-sajak yang dibawakan oleh penyair-penyair Mudhahhabat dan Mu'allaqat3. Pendengarannya terpesona oleh sajak-sajak yang fasih melukiskan lagu cinta dan puisi-puisi kebanggaan, melukiskan nenek moyang mereka, peperangan mereka, kemurahan hati dan jasa-jasa mereka. Didengarnya ahli-ahli pidato di antaranya orang-orang Yahudi dan Nasrani yang membenci paganisma Arab. Mereka bicara ihwal Kitab-kitab Suci Isa dan Musa, dan mengajak kepada kebenaran berdasarkan keyakinan mereka. Dinilainya semua itu dengan hati nuraninya, dilihatnya ini lebih baik daripada paganisma yang telah menghanyutkan keluarganya itu. Tetapi tidak sepenuhnya ia merasa lega. 

Dengan demikian semenjak muda-belia takdir telah mengantarkannya ke jurusan yang akan membawanya ke suatu ketika bersejarah, ketika mula pertama datangnya wahyu, tatkala Tuhan memerintahkan ia memberikan risalahNya itu. Yakni risalah kebenaran dan petunjuk bagi seluruh umat manusia. 

Perang Fijar
Kalau Muhammad sudah mengenal seluk-beluk jalan padang pasir dengan pamannya Abu Talib, sudah mendengar para penyair, ahli-ahli pidato membacakan sajak-sajak dan pidato-pidato dengan keluarganya dulu di pekan sekitar Mekah selama bulan-bulan suci, maka ia juga telah mengenal arti memanggul senjata, ketika ia mendampingi paman-pamannya dalam Perang Fijar. Dan Perang Fijar itulah di antaranya yang telah menjadikan dan ada sangkut-pautnya dengan peperangan di kalangan kabilah-kabilah Arab. Dinamakan Al-Fijar4 ini lantaran ia terjadi dalam bulan-bulan suci, pada waktu kabilah-kabilah seharusnya dihentikan berperang. Pada waktu itulah pekan-pekan dagang diadakan di 'Ukaz, yang terletak antara Ta'if dengan Nakhla dan antara Majanna dengan Dhu'l-Majaz, tidak jauh dari 'Arafat. Mereka di sana saling tukar menukar perdagangan, berlumba dan berdiskusi, setelah itu kemudian berziarah ke tempat berhala-berhala mereka di Ka'bah. Pekan 'Ukaz yaitu pekan yang paling populer di antara pekan-pekan Arab lainnya. Di tempat itu penyair-penyair terkemuka membacakan sajak-sajaknya yang terbaik, di tempat itu Quss (bin Sa'ida) berpidato dan di tempat itu pula orang-orang Yahudi, Nasrani dan penyembah-penyembah berhala masing-masing mengemukakan pandangan dengan bebas, lantaran bulan itu bulan suci. 

Akan tetapi Barradz bin Qais dari kabilah Kinana tidak lagi menghormati bulan suci itu dengan mengambil kesempatan membunuh 'Urwa ar-Rahhal bin 'Utba dari kabilah Hawazin. Kejadian ini disebabkan oleh lantaran Nu'man bin'l-Mundhir setiap tahun mengirimkan sebuah kafilah dari Hira ke 'Ukaz membawa muskus, dan sebagai gantinya akan kembali dengan membawa kulit hewan, tali, kain tenun sulam Yaman. Tiba-tiba Barradz tampil sendiri dan membawa kafilah itu ke bawah pengawasan kabilah Kinana. Demikian juga 'Urwa kemudian tampil pula sendiri dengan melintasi jalan Najd menuju Hijaz. 

Adapun pilihan Nu'man terhadap 'Urwa (Hawazin) ini telah menjadikan kejengkelan Barradz (Kinana), yang kemudian mengikutinya dari belakang, kemudian membunuhnya dan mengambil kabilah itu. Sesudah itu kemudian Barradz memberitahukan kepada Basyar bin Abi Hazim, bahwa pihak Hawazin akan menuntut balas kepada Quraisy. Fihak Hawazin segera menyusul Quraisy sebelum masuknya bulan suci. Maka terjadilah perang antara mereka itu. Pihak Quraisy mundur dan menggabungkan diri dengan pihak yang menang di Mekah. Pihak Hawazin memberi peringatan bahwa tahun depan perang akan diadakan di 'Ukaz. 

Perang demikian ini berlangsung antara kedua belah pihak selama empat tahun terus-menerus dan berakhir dengan suatu perdamaian model pedalaman, yaitu yang menderita korban insan lebih kecil harus membayar ganti sebanyak jumlah kelebihan korban itu kepada pihak lain. Maka dengan demikian Quraisy telah membayar kompensasi sebanyak duapuluh orang Hawazin. Nama Barradz ini kemudian menjadi peribahasa yang menggambarkan kemalangan. Sejarah tidak memberikan kepastian mengenai umur Muhammad pada waktu Perang Fijar itu terjadi. Ada yang menyampaikan umurnya limabelas tahun, ada juga yang menyampaikan duapuluh tahun. Mungkin lantaran perbedaan ini lantaran perang tersebut berlangsung selama empat tahun. Pada tahun permulaan ia berumur limabelas tahun dan pada tahun berakhirnya perang itu ia sudah memasuki umur duapuluh tahun. 

Juga orang berselisih pendapat mengenai kiprah yang dipegang Muhammad dalam perang itu. Ada yang menyampaikan tugasnya mengumpulkan bawah umur panah yang tiba dari pihak Hawazin kemudian di berikan kepada paman-pamannya untuk dibalikkan kembali kepada pihak lawan. Yang lain lagi berpendapat, bahwa ia sendiri yang ikut melemparkan panah. Tetapi, selama peperangan tersebut telah berlangsung hingga empat tahun, maka kebenaran kedua pendapat itu sanggup saja diterima. Mungkin pada mulanya ia mengumpulkan bawah umur panah itu untuk pamannya dan kemudian ia sendiripun ikut melemparkan. Beberapa tahun setelah kenabiannya Rasulullah menyebutkan ihwal Perang Fijar itu dengan berkata: "Aku mengikutinya bersama dengan paman-pamanku, juga ikut melemparkan panah dalam perang itu; lantaran saya tidak suka kalau tidak juga saya ikut melaksanakan." 

Sesudah Perang Fijar Quraisy mencicipi sekali peristiwa yang menimpa mereka dan menimpa Mekah seluruhnya, yang disebabkan oleh perpecahan, setelah Hasyim dan 'Abd'l-Muttalib wafat, dan masing-masing pihak berkeras mau jadi yang berkuasa. Kalau tadinya orang-orang Arab itu menjauhi, kini mereka berebut mau berkuasa. Atas proposal Zubair bin 'Abd'l-Muttalib di rumah Abdullah bin Jud'an diadakan pertemuan dengan mengadakan jamuan makan, dihadiri oleh keluarga-keluarga Hasyim, Zuhra dan Taym. Mereka sepakat dan berjanji atas nama Tuhan Maha Pembalas, bahwa Tuhan akan berada di pihak yang teraniaya hingga orang itu tertolong. Muhammad menghadiri pertemuan itu yang oleh mereka disebut Hilf'l-Fudzul. Ia mengatakan, "Aku tidak suka mengganti fakta yang kuhadiri di rumah Ibn Jud'an itu dengan jenis unta yang baik. Kalau kini saya diajak niscaya kukabulkan." 

Seperti kita lihat, Perang Fijar itu berlangsung hanya beberapa hari saja tiap tahun. Sedang selebihnya masyarakat Arab kembali ke pekerjaannya masing-masing. Pahit-getirnya peperangan yang tergores dalam hati mereka tidak akan menghalangi mereka dari acara perdagangan, menjalankan riba, minum minuman keras serta pelbagai macam kesenangan dan hiburan sepuas-puasnya 

Adakah juga Muhammad ikut serta dengan mereka dalam hal ini? Ataukah sebaliknya perasaannya yang halus, kemampuannya yang terbatas serta asuhan pamannya membuatnya jadi menjauhi semua itu, dan melihat segala kemewahan dengan mata garang tapi tidak mampu? Bahwasanya ia telah menjauhi semua itu, sejarah cukup menjadi saksi. Yang terang ia menjauhi itu bukan lantaran tidak bisa mencapainya. Mereka yang tinggal di pinggiran Mekah, yang tidak mempunyai mata pencarian, hidup dalam kemiskinan dan kekurangan, ikut hanyut juga dalam hiburan itu. Bahkan di antaranya lebih gila lagi dari pemuka-pemuka Mekah dan bangsawan-bangsawan Quraisy dalam menghanyutkan diri ke dalam kesenangan demikian itu. 

Akan tetapi jiwa Muhammad yaitu jiwa yang ingin melihat, ingin mendengar, ingin mengetahui. Dan seolah tidak ikut sertanya ia berguru menyerupai yang dilakukan teman-temannya dari bawah umur aristokrat mengakibatkan ia lebih keras lagi ingin mempunyai pengetahuan. Karena jiwanya yang besar, yang kemudian pengaruhnya tampak berkilauan menerangi dunia, jiwa besar yang selalu mendambakan kesempurnaan, itu jugalah yang mengakibatkan ia menjauhi foya-foya, yang biasa menjadi target utama pemduduk Mekah. Ia mendambakan cahaya hidup yang akan lahir dalam segala manifestasi kehidupan, dan yang akan dicapainya hanya dengan dasar kebenaran. Kenyataan ini dibuktikan oleh julukan yang diberikan orang kepadanya dan bawaan yang ada dalam dirinya. Itu sebabnya, semenjak masa ia kanak-kanak tanda-tanda kesempurnaan, kedewasaan dan kejujuran hati sudah tampak, sehingga penduduk Mekah semua memanggilnya Al-Amin (artinya 'yang sanggup dipercaya'). 

Menggembala Kambing
Yang mengakibatkan ia lebih banyak merenung dan berpikir, ialah pekerjaannya menggembalakan kambing semenjak dalam masa mudanya itu. Dia menggembalakan kambing keluarganya dan kambing penduduk Mekah. Dengan rasa gembira ia menyebutkan saat-saat yang dialaminya pada waktu menggembala itu. Di antaranya ia berkata: "Nabi-nabi yang diutus Allah itu gembala kambing." Dan katanya lagi: "Musa diutus, ia gembala kambing, Daud diutus, ia gembala kambing, saya diutus, juga gembala kambing keluargaku di Ajyad." 

Gembala kambing yang berhati terang itu, dalam udara yang bebas lepas di siang hari, dalam kemilau bintang bila malam sudah bertahta, menemukan suatu tempat yang serasi untuk pemikiran dan permenungannya. Ia menerawang dalam suasana alam demikian itu, lantaran ia ingin melihat sesuatu di balik semua itu. Dalam pelbagai manifestasi alam ia mencari suatu penafsiran ihwal penciptaan semesta ini. Ia melihat dirinya sendiri. Karena hatinya yang terang, jantungnya yang hidup, ia melihat dirinya tidak terpisah dari alam semesta itu. Bukankah juga ia menghirup udaranya, dan kalau tidak demikian berarti kematian? Bukankah ia dihidupkan oleh sinar matahari, bermandikan cahaya bulan dan kehadirannya bekerjasama dengan bintang-bintang dan dengan seluruh alam? Bintang-bintang dan semesta alam yang tampak membentang di depannya, bekerjasama satu dengan yang lain dalam susunan yang sudah ditentukan, matahari tiada seharusnya sanggup mengejar bulan atau malam akan mendahului siang. Apabila kelompok kambing yang ada di depan Muhammad itu memintakan kesadaran dan perhatiannya supaya jangan ada serigala yang akan menerkam domba itu, jangan hingga - selama tugasnya di pedalaman itu - ada domba yang sesat, maka kesadaran dan kekuatan apakah yang menjaga susunan alam yang begitu kuat ini? 

Pemikiran dan permenungan demikian menciptakan ia jauh dari segala pemikiran nafsu insan duniawi. Ia berada lebih tinggi dari itu sehingga adanya hidup palsu yang sia-sia akan tampak terang di hadapannya. Oleh lantaran itu, dalam perbuatan dan tingkah-lakunya Muhammad terhindar dari segala penodaan nama yang sudah diberikan kepadanya oleh penduduk Mekah, dan memang begitu adanya: Al-Amin. 

Semua ini dibuktikan oleh keterangan yang diceritakannya kemudian, bahwa ketika itu ia sedang menggembala kambing dengan seorang kawannya. Pada suatu hari hatinya berkata, bahwa ia ingin bermain-main menyerupai pemuda-pemuda lain. Hal ini dikatakannya kepada kawannya pada suatu senja, bahwa ia ingin turun ke Mekah, bermain-main menyerupai para cowok di gelap malam, dan dimintanya kawannya menjagakan kambing ternaknya itu. Tetapi sesampainya di ujung Mekah, perhatiannya tertarik pada suatu pesta perkawinan dan ia hadir di tempat itu. Tetapi tiba-tiba ia tertidur. Pada malam berikutnya tiba lagi ia ke Mekah, dengan maksud yang sama. Terdengar olehnya irama musik yang indah, seolah turun dari langit. Ia duduk mendengarkan. Lalu tertidur lagi hingga pagi. 

Makara apakah gerangan efek segala daya penarik Mekah itu terhadap kalbu dan jiwa yang begitu padat oleh pikiran dan renungan? Gerangan apa pula artinya segala daya penarik yang kita gambarkan itu yang juga tidak disenangi oleh mereka yang martabatnya jauh di bawah Muhammad? 

Karena itu ia terhindar dari cacat. Yang sangat terasa benar nikmatnya, ialah bila ia sedang berpikir atau merenung. Dan kehidupan berpikir dan merenung serta kesenangan bekerja sekadarnya menyerupai menggembalakan kambing, bukanlah suatu cara hidup yang membawa kekayaan berlimpah-limpah baginya. Dan memang tidak pernah Muhammad mempedulikan hal itu. Dalam hidupnya ia memang menjauhkan diri dari segala efek materi. Apa gunanya ia mengejar itu padahal sudah menjadi bawaannya ia tidak pernah tertarik? Yang diperlukannya dalam hidup ini asal ia masih sanggup menyambung hidupnya. 

Bukankah ia juga yang pernah berkata: "Kami yaitu golongan yang hanya makan bila merasa lapar, dan bila sudah makan tidak hingga kenyang?" Bukankah ia juga yang sudah dikenal orang hidup dalam kekurangan selalu dan minta supaya orang bergembira menghadapi penderitaan hidup? Cara orang mengejar harta dengan serakah hendak memenuhi hawa nafsunya, sama sekali tidak pernah dikenal Muhammad selama hidupnya. Kenikmatan jiwa yang paling besar, ialah mencicipi adanya keindahan alam ini dan mengajak orang merenungkannya. Suatu kenikmatan besar, yang hanya sedikit saja dikenal orang. Kenikmatan yang dirasakan Muhammad semenjak masa pertumbuhannya yang mula-mula yang telah diperlihatkan dunia semenjak masa mudanya yaitu kenangan yang selalu hidup dalam jiwanya, yang mengajak orang hidup tidak hanya mementingkan dunia. Ini dimulai semenjak selesai hidup ayahnya ketika ia masih dalam kandungan, kemudian selesai hidup ibunya, kemudian selesai hidup kakeknya. Kenikmatan demikian ini tidak memerlukan harta kekayaan yang besar, tetapi memerlukan suatu kekayaan jiwa yang kuat. sehingga orang sanggup mengetahui: bagaimana ia memelihara diri dan menyesuaikannya dengan kehidupan batin. 

Andaikata pada waktu itu Muhammad dibiarkan saja begitu, tentu takkan tertarik ia kepada harta. Dengan keadaannya itu ia akan tetap bahagia, menyerupai halnya dengan gembala-gembala pemikir, yang telah menggabungkan alam ke dalam diri mereka dan telah pula mereka berada dalam pelukan kalbu alam. 

Akan tetapi Abu Talib pamannya - menyerupai sudah kita sebutkan tadi -hidup miskin dan banyak anak. Dari kemenakannya itu ia mengharapkan akan sanggup memberikan pelengkap rejeki yang akan diperoleh dari pemilik-pemilik kambing yang kambingnya digembalakan. Suatu waktu ia mendengar berita, bahwa Khadijah binti Khuwailid mengupah orang-orang Quraisy untuk menjalankan perdagangannya. Khadijah yaitu seorang perempuan pedagang yang kaya dan dihormati, mengupah orang yang akan memperdagangkan hartanya itu. Berasal dari Keluarga (Banu) Asad, ia bertambah kaya setelah dua kali ia kawin dengan keluarga Makhzum, sehingga ia menjadi seorang penduduk Mekah yang terkaya. Ia menjalankan dagangannya itu dengan dukungan ayahnya Khuwailid dan beberapa orang kepercayaannya. Beberapa pemuka Quraisy pernah melamarnya, tetapi ditolaknya. Ia yakin mereka itu melamar hanya lantaran memandang hartanya. Sungguhpun begitu usahanya itu terus dikembangkan. 

Ke Suria Membawa Dagangan Khadijah
Tatkala Abu Talib mengetahui, bahwa Khadijah sedang menyiapkan perdagangan yang akan dibawa dengan kafilah ke Syam, ia memanggil kemenakannya - yang ketika itu sudah berumur duapuluh lima tahun. 

"Anakku," kata Abu Talib, "aku bukan orang berpunya. Keadaan makin menekan kita juga. Aku mendengar, bahwa Khadijah mengupah orang dengan dua ekor anak unta. Tapi saya tidak oke kalau akan menerima upah semacam itu juga. Setujukah kau kalau hal ini kubicarakan dengan dia?" 

"Terserah paman," jawab Muhammad. 

Abu Talibpun pergi mengunjungi Khadijah: 

"Khadijah, setujukah kau mengupah Muhammad?" tanya Abu Talib. "Aku mendengar engkau mengupah orang dengan dua ekor anak unta Tapi buat Muhammad saya tidak oke kurang dari empat ekor." 

"Kalau permintaanmu itu buat orang yang jauh dan tidak kusukai, akan kukabulkan, apalagi buat orang yang akrab dan kusukai." Demikian jawab Khadijah. 

Kembalilah sang paman kepada kemenakannya dengan menceritakan insiden itu. "Ini yaitu rejeki yang dilimpahkan Tuhan kepadamu," katanya. 

Setelah menerima nasehat paman-pamannya Muhammad pergi dengan Maisara, budak Khadijah. Dengan mengambil jalan padang pasir kafilah itupun berangkat menuju Syam, dengan melalui Wadi'l-Qura, Madyan dan Diar Thamud serta daerah-daerah yang dulu pernah dilalui Muhammad dengan pamannya Abu Talib tatkala umurnya gres duabelas tahun. 

Perjalanan sekali ini telah menghidupkan kembali kenangannya ihwal perjalanan yang pertama dulu itu. Hal ini menambah ia lebih banyak bermenung, lebih banyak berpikir ihwal segala yang pernah dilihat, yang pernah didengar sebelumnya: ihwal peribadatan dan kepercayaan-kepercayaan di Syam atau di pasar-pasar sekeliling Mekah. 

Setelah hingga di Bushra ia bertemu dengan agama Nasrani Syam. Ia bicara dengan rahib-rahib dan pendeta-pendeta agama itu, dan seorang rahib Nestoria juga mengajaknya bicara. Barangkali ia atau rahib-rahib lain pernah juga mengajak Muhammad berdebat ihwal agama Isa, agama yang waktu itu sudah berpecah-belah menjadi beberapa golongan dan sekta-sekta - menyerupai sudah kita uraikan di atas. 

Dengan kejujuran dan kemampuannya ternyata Muhammad bisa benar memperdagangkan barang-barang Khadijah, dengan cara perdagangan yang lebih banyak menguntungkan daripada yang dilakukan orang lain sebelumnya. Demikian juga dengan aksara yang manis dan perasaannya yang luhur ia sanggup menarik kecintaan dan penghormatan Maisara kepadanya. Setelah tiba waktunya mereka akan kembali, mereka membeli segala barang dagangan dari Syam yang kira-kira akan disukai oleh Khadijah. 

Dalam perjalanan kembali kafilah itu singgah di Marr'-z-Zahran. Ketika itu Maisara berkata: "Muhammad, cepat-cepatlah kau menemui Khadijah dan ceritakan pengalamanmu. Dia akan mengerti hal itu." 

Muhammad berangkat dan tengah hari sudah hingga di Mekah. Ketika itu Khadijah sedang berada di ruang atas. Bila dilihatnya Muhammad di atas unta dan sudah memasuki halaman rumahnya. ia turun dan menyambutnya. Didengarnya Muhammad bercerita dengan bahasa yang begitu fasih ihwal perjalanannya serta keuntungan yang diperolehnya, demikian juga mengenai barang-barang Syam yang dibawanya. Khadijah gembira dan tertarik sekali mendengarkan. Sesudah itu Maisarapun tiba pula yang kemudian bercerita juga ihwal Muhammad, betapa halusnya wataknya, betapa tingginya budi-pekertinya. Hal ini menambah pengetahuan Khadijah di samping yang sudah diketahuinya sebagai cowok Mekah yang besar jasanya. 

Perkawinannya Dengan Khadijah
Dalam waktu singkat saja kegembiraan Khadijah ini telah berkembang menjadi rasa cinta, sehingga ia - yang sudah berusia empatpuluh tahun, dan yang sebelum itu telah menolak lamaran pemuka-pemuka dan pembesar-pembesar Quraisy - tertarik juga hatinya mengawini cowok ini, yang tutur kata dan pandangan matanya telah menembusi kalbunya. Pernah ia membicarakan hal itu kepada saudaranya yang perempuan - kata sebuah sumber, atau dengan sahabatnya, Nufaisa bint Mun-ya - kata sumber lain. Nufaisa pergi menjajagi Muhammad seraya berkata: "Kenapa kau tidak mau kawin?" 

"Aku tidak punya apa-apa sebagai persiapan perkawinan," jawab Muhammad. 

"Kalau itu disediakan dan yang melamarmu itu cantik, berharta, terhormat dan memenuhi syarat, tidakkah akan kauterima?" 

"Siapa itu?" 

Nufaisa menjawab hanya dengan sepatah kata: "Khadijah." 

"Dengan cara bagaimana?" tanya Muhammad. Sebenarnya ia sendiri berkenan kepada Khadijah sekalipun hati kecilnya belum lagi memikirkan soal perkawinan, mengingat Khadijah sudah menolak undangan hartawan-hartawan dan bangsawan-bangsawan Quraisy. 

Setelah atas pertanyaan itu Nufaisa mengatakan: "Serahkan hal itu kepadaku," maka iapun menyatakan persetujuannya. Tak usang kemudian Khadijah memilih waktunya yang kelak akan dihadiri oleh paman-paman Muhammad supaya sanggup bertemu dengan keluarga Khadijah guna memilih hari perkawinan. 

Kemudian perkawinan itu berlangsung dengan diwakili oleh paman Khadijah, Umar bin Asad, lantaran Khuwailid ayahnya sudah meninggal sebelum Perang Fijar. Hal ini dengan sendirinya telah membantah apa yang biasa dikatakan, bahwa ayahnya ada tapi tidak menyetujui perkawinan itu dan bahwa Khadijah telah memberikan minuman keras sehingga ia mabuk dan dengan begitu perkawinannya dengan Muhammad kemudian dilangsungkan. 

Di sinilah dimulainya lembaran gres dalam kehidupan Muhammad. Dimulainya kehidupan itu sebagai suami-isteri dan ibu-bapa, suami-isteri yang serasi dan sedap dari kedua belah pihak, dan sebagai ibu-bapa yang telah mencicipi pedihnya kehilangan anak sebagaimana pernah dialami Muhammad yang telah kehilangan ibu-bapa semasa ia masih kecil. 

Catatan kaki: 
[1] Muhammad atau Mahmud artinya yang terpuji (A). 
[2] Abwa' ialah sebuah desa antara Medinah dengan Juhfa, jaraknya 23 mil (37 km) dari Medinah. 

[3] Al-Mu'allaqat nama yang diberikan kepada tujuh buah kumpulan puisi Arab pra Islam yang dianggap terbaik, oleh tujuh penyair: Imr'l-Qais, Tarafa, Zuhair, Labid, 'Antara, 'Amr ibn Kulthum dan Harith ibn Hilizza. Mu'allaqat berarti 'yang digantungkan' yakni sajak-sajak yang ditulis dengan tinta emas (almudhahhab) di atas kain lina (A). 
[4] Pelanggaran terhadap ketentuan yang berlaku (A). 

Related Posts

Post a Comment