Report Abuse

Stats

Comment

Bab Iv - Dari Masa Kerasulan Hingga Islamnya Umar

Post a Comment

Percakapan Khadijah dengan Waraqa b. Naufal
MUHAMMAD sedang tidur. Khadijah menatapnya dengan hati penuh kasih dan harapan, kasih dan keinginan terhadap orang yang tadi mengajaknya bicara itu.

Setelah dilihatnya ia tidur nyenyak, nyenyak dan tenang sekali, ditinggalkannya orang itu perlahan-lahan. Ia keluar, dengan pikiran masih pada orang itu, orang yang pernah menggoncangkan hatinya. Pikirannya pada hari esok, pada hari yang akan memberikan keinginan baik kepadanya. Harapannya, suami itu akan menjadi nabi atas umat, yang kini tengah hanyut dalam kesesatan. Ia akan membimbing mereka dengan pedoman agama yang benar serta akan membawa mereka ke jalan yang lurus. Tetapi, sungguhpun begitu, menghadapi masa yang akan datang, ia merasa kuatir sekali, kuatir akan nasib suami yang setia dan penuh kasih-sayang itu. Dibayangkannya dalam hatinya apa yang telah diceritakan kepadanya itu. Dibayangkannya itu malaikat yang begitu indah, yang memperlihatkan diri di angkasa, setelah memberikan wahyu Tuhan kepadanya dan yang kemudian memenuhi seluruh ruangan itu. Selalu ia melihat malaikat itu kemana saja ia mengalihkan muka. Khadijah masih mengulangi kata-kata yang dibacakan dan sudah terpateri dalam dada Muhammad itu. 

Semua itu dibentangkan kembali oleh Khadijah di depan mata hatinya. Kadang terkembang senyum di bibir, lantaran suatu harapan; kadang kecut juga rasanya, lantaran takut akan nasib yang mungkin akan menimpa diri Al-Amin kelak. 

Tidak tahan ia tinggal seorang diri lama-lama. Pikirannya berpindah-pindah dari keinginan yang manis sedap kepada kesangsian dan harap-harap cemas. Terpikir olehnya akan mencurahkan segala isi hatinya itu kepada orang yang sudah dikenalnya bijaksana dan akan sanggup memberikan nasehat. 

Untuk itu, kemudian ia pergi menjumpai saudara sepupunya (anak paman), Waraqa b. Naufal. Seperti sudah disebutkan, Waraqa yaitu seorang penganut agama Nasrani yang sudah mengenal Bible dan sudah pula menterjemahkannya sebagian ke dalam bahasa Arab. Ia menceritakan apa yang pernah dilihat dan didengar Muhammad dan menceritakan pula apa yang dikatakan Muhammad kepadanya, dengan menyebutkan juga rasa kasih dan keinginan yang ada dalam dirinya. Waraqa menekur sebentar, kemudian katanya: "Maha Kudus Ia, Maha Kudus. Demi Dia yang memegang hidup Waraqa. Khadijah, percayalah, ia telah mendapatkan Namus Besar1 menyerupai yang pernah diterima Musa. Dan sungguh ia yaitu Nabi umat ini. Katakan kepadanya supaya tetap tabah." 

Khadijah pulang. Dilihatnya Muhammad masih tidur. Dipandangnya suaminya itu dengan rasa kasih dan penuh ikhlas, bercampur harap dan cemas. Dalam tidur yang demikian itu, tiba-tiba ia menggigil, napasnya terasa sesak dengan keringat yang sudah membasahi wajahnya. Ia terbangun, manakala didengarnya malaikat tiba membawakan wahyu kepadanya: 

"O orang yang berselimut! Bangunlah dan sampaikan peringatan. Dan agungkan Tuhanmu. Pakaianmupun bersihkan. Dan hindarkan perbuatan dosa. Jangan kau memberi, lantaran ingin mendapatkan lebih banyak. Dan demi Tuhanmu, tabahkan hatimu." (Qur'an 74: 1 - 7) 

Dipandangnya ia oleh Khadijah, dengan rasa kasih yang lebih besar. Didekatinya ia perlahan-lahan seraya dimintanya, supaya kembali ia tidur dan beristirahat. 

"Waktu tidur dan istirahat sudah tak ada lagi, Khadijah," jawabnya. "Jibril membawa perintah supaya saya memberi peringatan kepada umat manusia, mengajak mereka, dan supaya mereka beribadat hanya kepada Allah. Tapi siapa yang akan kuajak? Dan siapa pula yang akan mendengarkan?" 

Khadijah berusaha menenteramkan hatinya. Cepat-cepat ia menceritakan apa yang didengarnya dari Waraqa tadi. Dengan penuh gairah dan bersemangat sekali kemudian ia menyatakan dirinya beriman atas kenabiannya itu. Sudah sewajarnya apabila Khadijah cepat-cepat percaya kepadanya. Ia sudah mengenalnya benar. Selama hidupnya laki-laki itu selalu jujur, orang berjiwa besar ia dan selalu berbuat kebaikan dengan penuh rasa kasih-sayang. Selama dalam tahannuth, dilihatnya betapa besar kecenderungannya kepada kebenaran, dan hanya kebenaran semata-mata. Ia mencari kebenaran itu dengan persiapan jiwa, kalbu dan pikiran yang sudah begitu tinggi, membubung melampaui jangkauan yang akan sanggup dibayangkan manusia, insan yang menyembah patung dan membawakan kurban-kurban ke sana; mereka yang menganggap bahwa itu yaitu tuhan yang sanggup mendatangkan tragedi dan keuntungan. Mereka membayangkan, bahwa itu patut disembah dan diagungkan. Wanita itu sudah melihatnya betapa benar ia pada tahun-tahun masa tahannuth itu. Juga ia melihatnya betapa benar keadaannya tatkala pertama kali ia kembali dari gua Hira', setelah kerasulannya. Ia resah sekali. Dimintanya oleh Khadijah, apabila malaikat itu nanti tiba supaya diberitahukan kepadanya. 

Bilamana kemudian Muhammad melihat malaikat itu datang, didudukannya ia oleh Khadijah di paha kirinya, kemudian di paha kanan dan di pangkuannya. Malaikat itupun masih juga dilihatnya. Khadijah menghalau dan mencampakkan tutup mukanya. Waktu itu tiba-tiba Muhammad tidak lagi melihatnya. Khadijah tidak ragu lagi bahwa itu yaitu malaikat, bukan setan. 

Sesudah insiden itu, pada suatu hari Muhammad pergi akan mengelilingi Ka'bah. Di tempat itu Waraqa b. Naufal menjumpainya. Sesudah Muhammad menceritakan keadaannya, Waraqa berkata: "Demi Dia Yang memegang hidup Waraqa. Engkau yaitu Nabi atas umat ini. Engkau telah mendapatkan Namus Besar menyerupai yang pemah disampaikan kepada Musa. Pastilah kau akan didustakan orang, akan disiksa, akan diusir dan akan diperangi. Kalau hingga pada waktu itu saya masih hidup, pasti saya akan membela yang di pihak Allah dengan pembelaan yang sudah diketahuiNya pula." Lalu Waraqa mendekatkan kepalanya dan mencium ubun-ubun Muhammad. Muhammadpun segera mencicipi adanya kejujuran dalam kata-kata Waraqa itu, dan mencicipi pula betapa beratnya beban yang harus menjadi tanggungannya. 

Sekarang ia jadi memikirkan, bagaimana akan mengajak Quraisy supaya turut beriman; padahal ia tahu benar mereka sangat berpengaruh mempertahankan kebatilan itu. Mereka bersedia berperang dan mati untuk itu. Ditambah lagi mereka masih sekeluarga dan sanak famili yang dekat. 

Sungguhpun begitu, tetapi mereka dalam kesesatan. Sedang apa yang dianjurkannya kepada mereka, itulah yang benar. Ia mengajak mereka, semoga jiwa dan hati nurani mereka sanggup lebih tinggi sehingga sanggup bekerjasama dengan Allah Yang telah membuat mereka dan membuat nenek-moyang mereka; semoga mereka beribadat hanya kepadaNya, dengan penuh ikhlas, dengan jiwa yang bersih, untuk agama. Ia mengajak mereka supaya mereka mendekatkan diri kepada Allah dengan perbuatan yang baik, dengan memberikan kepada orang berdekatan, hak-hak mereka, begitu juga kepada orang yang dalam perjalanan; semoga mereka menjauhkan diri dari menyembah batu-batu yang mereka buat jadi berhala yang berdasarkan dugaan mereka akan mengampuni segala dosa mereka dari perbuatan angkara-murka yang mereka lakukan, dari menjalankan riba dan memakan harta anak piatu. Penyembahan mereka demikian itu membuat jiwa dan hati mereka lebih keras dan lebih membatu dari patung-patung itu. Ia memperingatkan mereka semoga mereka mau melihat ciptaan Tuhan yang ada di langit dan di bumi; supaya semua itu menjadi tamsil dalam jiwa mereka serta kemudian menyadari betapa dahsyat dan agungnya semua itu. Dengan kesadaran demikian mereka akan memahami kebesaran undang-undang Ilahi yang berlaku di langit dan di bumi. Selanjutnya, dengan ibadatnya itu akan memahami pula kebesaran Al Khalik Pencipta alam semesta ini, Yang Tunggal, tiada bersekutu. Dengan demikian mereka akan lebih tinggi, akan lebih luhur Mereka akan diisi oleh rasa kasih-sayang terhadap mereka yang belum mendapat petunjuk Tuhan, dan akan berusaha ke arah itu. Mereka akan berlaku baik terhadap semua anak piatu, terhadap semua orang yang malang dan lemah. Ya! Ke arah itulah Tuhan memerintahkannya, supaya ia mengajak mereka. 

Akan tetapi, itu jantung yang sudah begitu keras, jiwa yang sudah begitu kaku, sudah jadi kering dalam menyembah berhala menyerupai yang dilakukan oleh nenek-moyang mereka dahulu. Di tempat itu mereka berdagang, dan membuat Mekah menjadi sentra kunjungan penyembah berhala! Akan mereka tinggalkankah agama nenek-moyang mereka dan mereka lepaskan kedudukan kota mereka yang berarti suatu ancaman bilamana sudah tak ada lagi orang yang akan menyembah berhala? Lalu bagaimana pula akan membersihkan jiwa serupa itu dan melepaskan diri dari noda hawa-nafsu, hawa-nafsu yang akan menjerumuskan mereka, hingga kepada nafsu kebinatangannya, padahal ia sudah memperingatkan insan supaya mengatasi nafsunya, menempatkan diri di atas berhala-berhala itu? Kalau mereka sudah tidak mau percaya kepadanya, apalagi yang harus ia lakukan? Inilah yang menjadi problem besar itu. 

Wahyu Terhenti
Ia sedang menantikan bimbingan wahyu dalam menghadapi masalahnya itu, menantikan adanya penyuluh yang akan menerangi jalannya. Tetapi, wahyu itu kini terputus! Jibrilpun tidak tiba lagi kepadanya. Tempat di sekitarnya jadi sunyi, bisu. Ia merasa terasing dari orang, dan dari dirinya. Kembali ia merasa dalam ketakutan menyerupai sebelum turunnya wahyu. Konon Khadijah pernah menyampaikan kepadanya: "Mungkin Tuhan tidak menyukai engkau." 

Ia masih dalam ketakutan. Perasaan ini juga yang mendorongnya lagi akan pergi ke bukit-bukit dan menyendiri lagi dalam gua Hira'. Ia ingin membubung tinggi dengan seluruh jiwanya, menghadapkan diri kepada Tuhan, akan menanyakan: Kenapa ia kemudian ditinggalkan setelah dipilihNya? Kecemasan Khadijahpun tidak pula kurang rasanya. 

Ia mengharap mati benar-benar kalau tidak lantaran mencicipi adanya perintah yang telah diberikan kepadanya. Kembali lagi ia kepada dirinya, kemudian kepada Tuhannya. Konon katanya: Pernah terpikir olehnya akan membuang diri dari atas Hira' atau dari atas puncak gunung Abu Qubais. Apa gunanya lagi hidup kalau harapannya yang besar ini jadi kering kemudian berakhir ? 

Sementara ia sedang dalam kekuatiran demikian itu - setelah sekian usang terhenti - tiba-tiba tiba wahyu membawa firman Tuhan: 

"Demi pagi cerah yang gemilang. Dan demi malam bila senyap kelam. Tuhanmu tidak meninggalkan kau, juga tidak merasa benci. Dan sungguh, hari kemudian itu lebih baik buat kau daripada yang sekarang. Dan akan segera ada pemberian dari Tuhan kepadamu. Maka engkaupun akan bersenang hati. Bukankah Ia mendapati kau seorang piatu, kemudian diberiNya tempat berlindung? Dan Ia mendapati kau tak tahu jalan, kemudian diberiNya kau petunjuk? Karena itu, terhadap anak piatu, jangan kau bersikap bengis. Dan perihal orang yang meminta, jangan kau tolak. Dan perihal kurnia Tuhanmu, hendaklah kau sebarkan."(Qur'an, 93: 1-11) 

Maha Mulia Allah. Betapa damainya itu dalam jiwa. Betapa gembira dalam hati! Rasa cemas dan takut dalam diri Muhammad semuanya hilang sudah. Terbayang senyum di wajahnya. Bibirnyapun mengucapkan kata-kata syukur, kata-kata kudus dan penuh khidmat. Tidak lagi Khadijah merasa takut, bahwa Tuhan sudah tidak menyukai Muhammad dan iapun tidak lagi merasa takut dan gelisah. Bahkan Tuhan telah melindungi mereka berdua dengan rahmatNya. Segala rasa takut dan keraguan-raguan hilang sama sekali dari hatinya. Tak ada lagi bunuh diri. 

Yang ada kini ialah hidup dan usul kepada Allah, dan hanya kepada Allah semata. Hanya kepada Allah Yang Maha Besar menundukkan kepala. Segala yang ada di langit dan di bumi bersujud belaka kepadaNya. Hanya Dialah Yang Hak, dan yang selain itu batil adanya. Hanya kepadaNya hati insan dihadapkan, seluruh hidup kesana juga bergantung dan kepadaNya pula ruh akan kembali. "Sungguh, hari kemudian itu lebih baik buat kau daripada yang sekarang." 

Ya, hari kemudian tempat berkumpulnya jiwa dengan segala bentuknya yang penuh, yang tidak lagi kenal ruang dan waktu, dan semua cara hidup pertama yang rendah ini akan terlupakan adanya. Hari kemudian yang akan disinari cahaya pagi, berkilauan, dan malam yang gelap dan kelam. Bintang-bintang di langit, bumi dan gunung-gunung, semua akan dihubungi oleh jiwa yang pasrah menyerah. Kehidupan inilah yang akan menjadi tujuan. Inilah kebenaran yang sesungguhnya. Di luar itu hanya bayangan belaka, yang tiada berguna. Kebenaran inilah yang cahayanya disinari oleh jiwa Muhammad, dan yang gres akan dipantulkan kembali guna memikirkan bagaimana mengajak orang ingat kepada Tuhan. Dan guna mengajak orang kepada Tuhan, ia harus membersihkan pakaiannya serta menjauhi perbuatan mungkar. Ia harus sabar menghadapi segala gangguan demi menjaga dakwah kepada Kebenaran. Ia harus menuntun umat kepada ilmu yang belum mereka ketahui; jangan menolak orang meminta, jangan berlaku bengis terhadap anak piatu. Cukuplah Tuhan telah memilihnya sebagai pengemban amanat. Maka katakanlah itu. Cukup sudah, bahwa Tuhan telah menemukannya sebagai seorang piatu, kemudian dilindungiNya di bawah asuhan kakeknya Abd'l-Muttalib, dan pamannya, Abu Talib. Ia yang hidup miskin, telah diberi kekayaan dengan amanat Tuhan kepadanya. Dipermudah pula dengan Khadijah sebagai mitra semasa mudanya, mitra semasa dalam tahannuth, mitra semasa kerasulannya, mitra yang penuh cinta kasih, yang memberi nasehat dengan rasa kasih-sayangnya. Tuhan telah mendapatinya tak tahu jalan, kemudian diberiNya petunjuk berupa risalah. Cukuplah semua itu. Hendaklah ia mengajak orang kepada Kebenaran, berusaha sedapat mungkin. 

Begitulah ketentuan Tuhan terhadap seorang nabi yang telah dipilihNya. Ia tidak ditinggalkanNya, juga tidak dibenciNya. 

Tuhan telah mengajarkan Nabi bersembahyang, maka iapun bersembahyang, begitu juga Khadijah ikut pula sembahyang. Selain puteri-puterinya, tinggal bersama keluarga itu Ali bin Abi Talib sebagai anak muda yang belum balig. Pada waktu itu suku Quraisy sedang mengalami suatu krisis yang luarbiasa. Abu Talib yaitu keluarga yang banyak anaknya. Muhammad sekali berkata kepada Abbas, pamannya - yang pada masa itu yaitu yang paling bisa di antara Keluarga Hasyim: "Abu Talib saudaramu anaknya banyak. Seperti kaulihat, banyak orang yang mengalami krisis. Baiklah kita ringankan ia dari anak-anaknya itu. Aku akan mengambilnya seorang kaupun seorang untuk kemudian kita asuh." 

Karena itu Abbas kemudian mengasuh Ja'far dan Muhammad mengasuh Ali, yang tetap tinggal bersama hingga pada masa kerasulannya. 

Tatkala Muhammad dan Khadijah sedang sembahyang, tiba-tiba Ali menyeruak masuk. Dilihatnya kedua orang itu sedang ruku' dan sujud serta membaca beberapa ayat Qur'an yang hingga pada waktu itu sudah diwahyukan kepadanya. Anak ifu tertegun berdiri: "Kepada siapa kalian sujud?" tanyanya setelah sembahyang selesai. 

"Kami sujud kepada Allah," jawab Muhammad, "Yang mengutusku menjadi nabi dan memerintahkan saya mengajak insan menyembah Allah" 

Lalu Muhammadpun mengajak sepupunya itu beribadat kepada Allah semata tiada bersekutu serta mendapatkan agama yang dibawa nabi utusanNya dengan meninggalkan berhala-berhala semacam Lat dan 'Uzza. Muhammad kemudian membacakan beberapa ayat Qur'an. Ali sangat terpesona lantaran ayat-ayat itu luar biasa indahnya. 

Ia minta waktu akan berunding dengan ayahnya lebih dulu. Semalaman itu ia merasa gelisah. Tetapi besoknya ia memberi tahukan kepada suami-isteri itu, bahwa ia akan mengikuti mereka berdua, tidak perlu minta pendapat Abu Talib. "Tuhan mengakibatkan saya tanpa saya perlu berunding dengan Abu Talib. Apa gunanya saya harus berunding dengan ia untuk menyembah Allah." 

Makara Ali yaitu anak pertama yang mendapatkan Islam. Kemudian Zaid b. Haritha, bekas budak Nabi. Dengan demikian Islam masih terbatas hanya dalam lingkungan keluarga Muhammad: ia sendiri, isterinya, kemenakannya dan bekas budaknya. Masih juga ia berpikir-pikir, bagaimana akan mengajak kaum Quraisy itu. Tahu benar ia, betapa kerasnya mereka itu dan betapa pula kuatnya mereka berpegang pada berhala yang disembah-sembah nenek moyang mereka itu. 

Islamnya Abu Bakr

Pada waktu itu Abu Bakr b. Abi Quhafa dari kabilah Taim yaitu sahabat bersahabat Muhammad. Ia senang sekali kepadanya, lantaran sudah diketahuinya benar ia sebagai orang yang bersih, jujur dan sanggup dipercaya. Oleh lantaran itu orang remaja pertama yang diajaknya menyembah Allah Yang Esa dan meninggalkan penyembahan berhala, yaitu dia. Juga ia laki-laki pertama tempat ia membukakan isi hatinya akan segala yang dilihat serta wahyu yang diterimanya. Abu Bakr tidak ragu-ragu lagi memenuhi usul Muhammad dan beriman pula akan ajakannya itu. Jiwa yang mana lagi yang memang mendambakan kebenaran masih akan ragu-ragu meninggalkan penyembahan berhala dan untuk kemudian menyembah Allah Yang Esa! Jiwa yang mana lagi yang masih disebut jiwa besar di samping menyembah Allah masih mau menyembah kerikil yang bagaimanapun bentuknya! Jiwa yang mana lagi yang sudah higienis masih akan ragu-ragu membersihkan pakaian dan jiwanya, berderma kepada orang yang membutuhkan dan berbuat kebaikan kepada anak piatu! 

Keimanannya kepada Allah dan kepada RasulNya itu segera diumumkan oleh Abu Bakr di kalangan teman-temannya. Ia memang seorang laki-laki yang rupawan. "Menjadi kesayangan masyarakatnya dan amikal sekali. Dari kalangan Quraisy ia termasuk orang Quraisy yang berketurunan tinggi dan yang banyak mengetahui segala seluk-beluk bangsa itu, yang baik dan yang jahat. Sebagai pedagang dan orang yang berakhlak baik ia cukup terkenal. Kalangan masyarakatnya sendiri yang terkemuka mengenalnya dalam satu bidang saja. Mereka mengenalnya lantaran ilmunya, lantaran perdagangannya dan lantaran pergaulannya yang baik." 

Kaum Muslimin yang Mula-mula
Dari kalangan masyarakatnya yang dipercayai oleh Abu Bakr diajaknya mereka kepada Islam. Usman b. 'Affan, Abdurrahman b. 'Auf, Talha b. 'Ubaidillah, Sa'd b. Abi Waqqash dan Zubair bin'l-'Awwam mengikutinya pula menganut Islam. Kemudian menyusul pula Abu 'Ubaida bin'l-Djarrah, dan banyak lagi yang lain dari penduduk Mekah. Mereka yang sudah Islam itu kemudian tiba kepada Nabi menyatakan Islamnya, yang selanjutnya mendapatkan ajaran-ajaran agama itu dari Nabi sendiri. 

Mengetahui adanya permusuhan yang begitu bengis dari pihak Quraisy terhadap segala sesuatu yang melanggar paganisma, maka kaum Muslimin yang mula-mula masih sembunyi-sembunyi. Apabila mereka akan melaksanakan salat, mereka pergi ke celah-celah gunung di Mekah. Keadaan serupa ini berjalan selama tiga tahun, sementara Islam tambah meluas juga di kalangan penduduk Mekah. Wahyu yang tiba kepada Muhammad selama itu makin memperkuat dogma kaum Muslimin. 

Yang menambah pula dakwah itu berkembang bergotong-royong lantaran pola yang diberikan Muhammad sangat baik sekali: ia penuh bakti dan penuh kasih-sayang, sangat rendah hati dan penuh kejantanan, tutur-katanya lemah-lembut dan selalu berlaku adil; hak setiap orang masing-masing ditunaikan. Pandangannya terhadap orang yang Iemah, terhadap piatu, orang yang sengsara dan miskin yaitu pandangan seorang bapa yang penuh kasih, lemah-lembut dan mesra. Malam haripun, dalam ia bertahajud, malam ia tidak cepat tidur, membaca wahyu yang disampaikan kepadanya, renungannya selalu perihal langit dan bumi, mencari menerangkan dari segenap wujud ini, permohonannya selalu dihadapkan hanya kepada Allah. Dia. yang menyerapkan hidup semesta ini ke dalam dirinya dan kedalam jantung kehidupannya sendiri, yaitu suatu pola yang membuat mereka yang sudah beriman dan menyatakan diri Islam itu, makin besar cintanya kepada Islam dan makin kukuh pula imannya. Mereka sudah berketetapan hati meninggalkan anutan nenek-moyang mereka dengan menanggung segala siksaan kaum musyrik yang hatinya belum lagi disentuh iman. 

Saudagar-saudagar dan kaum darah biru Mekah yang sudah mengenal arti kesucian, sudah menyadari arti kebenaran, pengampunan dan arti rahmat, mereka beriman kepada pedoman Muhammad. Semua kaum yang lemah, semua orang yang sengsara dan semua orang yang tidak punya, beriman kepadanya. Ajaran Muhammad sudah tersebar di Mekah, orang sudah berbondong-bondong memasuki Islam, laki-laki dan wanita. 

Orang banyak bicara perihal Muhammad dan perihal ajaran-ajarannya. Akan tetapi penduduk Mekah yang masih berhati-hati, yang masih tertutup hatinya, pada mulanya tidak menghiraukannya. Mereka menduga, bahwa kata-katanya tidakkan lebih dari kata-kata pendeta atau ahli-ahli pikir semacam Quss, Umayya, Waraqa dan yang lain. Orang pasti akan kembali kepada kepercayaan nenek-moyangnya; yang kesannya akan menang ialah Hubal, Lat dan 'Uzza, begitu juga Isaf dan Na'ila yang dibawai kurban. Mereka lupa bahwa dogma yang murni tak sanggup dikalahkan, dan bahwa kebenaran pasti akan mendapat kemenangan. 

Ajakan Muhammad Kepada Keluarganya
Tiga tahun kemudian setelah kerasulannya, perintah Allah tiba supaya ia mengumumkan pedoman yang masih disembunyikan itu, perintah Allah supaya disampaikan. Ketika itu wahyu datang: 

"Dan berilah peringatan kepada keluarga-keluargamu yang dekat. Limpahkanlah kasih-sayang kepada orang-orang beriman yang mengikut kau. Kalaupun mereka tidak mau juga mengikuti kau, katakanlah, 'Aku lepas tangan dari segala perbuatan kamu.'" (Qur'an 26: 214-216) 

"Sampaikanlah apa yang sudah diperintahkan kepadamu, dan tidak usah kauhiraukan orang-orang musyrik itu."(Qur'an 15: 94) 

Muhammadpun mengundang makan keluarga-keluarga itu ke rumahnya, dicobanya bicara dengan mereka dan mengajak mereka kepada Allah. Tetapi Abu Talib, pamannya, kemudian menyetop pembicaraan itu. Ia mengajak orang-orang pergi meninggalkan tempat. Keesokan harinya sekali lagi Muhammad mengundang mereka. 

Selesai makan, katanya kepada mereka: "Saya tidak melihat ada seorang insan di kalangan Arab ini sanggup membawakan sesuatu ke tengah-tengah mereka lebih baik dari yang saya bawakan kepada kau sekalian ini. Kubawakan kepada kau dunia dan alam abadi yang terbaik. Tuhan telah menyuruh saya mengajak kau sekalian. Siapa di antara kau ini yang mau mendukungku dalam hal ini?" 

Mereka semua menolak, dan sudah berkemas-kemas akan meninggalkannya. Tetapi tiba-tiba Ali bangun - dikala itu ia masih anak-anak, belum lagi balig. 

"Rasulullah, saya akan membantumu," katanya. "Saya yaitu lawan siapa saja yang kautentang." 

Banu Hasyim tersenyum, dan ada pula yang tertawa terbahak-bahak. Mata mereka berpindah-pindah dari Abu Talib kepada anaknya. Kemudian mereka semua pergi meninggalkannya dengan ejekan. 

Sesudah itu Muhammad kemudian mengalihkan seruannya dari keluarga-keluarganya yang dekat kepada seluruh penduduk Mekah. Suatu hari ia naik ke Shafa2 dengan berseru: "Hai masyarakat Quraisy." Tetapi orang Quraisy itu kemudian membalas: "Muhammad bicara dari atas Shafa." Mereka kemudian tiba berduyun-duyun sambil bertanya-tanya, "Ada apa?" 

"Bagaimana pendapatmu sekalian kalau kuberitahukan kamu, bahwa pada permukaan bukit ini ada pasukan berkuda. Percayakah kamu?" 

"Ya," jawab mereka. "Engkau tidak pernah disangsikan. Belum pernah kami melihat engkau berdusta." 

"Aku mengingatkan kau sekalian, sebelum menghadapi siksa yang sungguh berat," katanya, "Banu Abd'l-Muttalib, Banu Abd Manaf, Banu Zuhra, Banu Taim, Banu Makhzum dan Banu Asad Allah memerintahkan saya memberi peringatan kepada keluarga-keluargaku terdekat. Baik untuk kehidupan dunia atau akhirat. Tak ada sesuatu bahagian atau laba yang sanggup kuberikan kepada kamu, selain kau ucapkan: Tak ada tuhan selain Allah." 

Atau menyerupai dilaporkan: Abu Lahab - seorang laki-laki berbadan gemuk dan cepat naik darah - kemudian berdiri sambil meneriakkan: "Celaka kau hari ini. Untuk ini kau kumpulkan kami?" 

Muhammad tak sanggup bicara. Dilihatnya pamannya itu. Tetapi kemudian setelah itu tiba wahyu membawa firman Tuhan: 

"Celakalah kedua tangan Abu Lahab, dan celakalah ia. Tak ada gunanya kekayaan dan usahanya itu. Api yang menjilat-jilat akan menggulungnya" (Qur'an 111: 1-5) 

Kemarahan Abu Lahab dan perilaku permusuhan kalangan Quraisy yang lain tidak sanggup merintangi tersebarnya dakwah Islam di kalangan penduduk Mekah itu. Setiap hari pasti akan ada saja orang yang Islam - menyerahkan diri kepada Allah. Lebih-lebih mereka yang tidak terpesona oleh imbas dunia perdagangan untuk sekedar melepaskan renungan akan apa yang telah diserukan kepada mereka. Mereka sudah melihat Muhammad yang berkecukupan, baik dari harta Khadijah atau hartanya sendiri. Tidak dipedulikannya harta itu, juga tidak akan memperbanyaknya lagi. Ia mengajak orang hidup dalam kasih-sayang, dengan lemah-lembut, dalam kemesraan dan tasamuh (lapang dada, toleransi). Ya, bahkan ia yang mendapatkan wahyu menyebutkan, bahwa memupuk-mupuk kekayaan yaitu suatu kutukan terhadap jiwa. 

"Kamu telah dilalaikan oleh perlombaan saling memperbanyak. Sampai nanti kau menuju kubur. Sekali lagi, jangan! Akan kau ketahui juga nanti. Jangan. Kalau kau mengetahui dengan meyakinkan. Niscaya akan kau lihat neraka. Kemudian, tentu akan kau lihat itu dengan mata yang meyakinkan. Hari itu kemudian gres kau akan ditanyai perihal kesenangan itu." (Qur'an 102: 1-8) 

Apalagi yang lebih baik daripada yang dianjurkan Muhammad itu! Bukankah ia menganjurkan kebebasan? Kebebasan mutlak yang tak ada batasnya. Kebebasan yang sungguh bernilai bagi setiap insan Arab itu, sama dengan nilai hidupnya sendiri! Ya! Bukankah orang mau melepaskan diri dari belenggu dengan dedikasi yang bagaimanapun selain pengabdiannya kepada Allah? Bukankah setiap belenggu itu harus dihancurkan? Tak ada Hubal, tak ada Lat, 'Uzza. Tak ada api Majusi, matahari orang Mesir, tak ada bintang penyembah bintang, tak ada hawariyin (pengikut-pengikut Isa), tak ada seorang manusiapun, atau malaikat ataupun jin yang akan menjadi batas antara Allah dengan manusia. Di hadapan Allah, hanya di hadapanNya Yang Tunggal tak bersekutu, insan akan dimintai pertanggung-jawabannya atas perbuatannya yang telah dilakukan, yang baik dan yang buruk. Hanya perbuatan insan itu sajalah yang menjadi perantaranya. Hati kecilnya yang akan menimbang semua perbuatan. Hanya itulah yang berkuasa atas dirinya. Dengan itulah dipertanggungkan dikala setiap jiwa mendapat jawaban sesuai dengan perbuatannya. Kebebasan mana lagi yang lebih luas daripada yang diajarkan Muhammad itu? Adakah Abu Lahab dan kawan-kawannya mengajarkan yang semacam itu - sedikit sekalipun? Ataukah mereka mengajarkan supaya insan tetap dalam perhambaan, dalam perbudakan, yang sudah ditimbuni oleh kepercayaan-kepercayaan khurafat dan takhayul, yang sudah menutupi mereka dari segala cahaya kebenaran? 

Quraisy Menghasut Penyair-penyairnya Terhadap Muhammad
Akan tetapi Abu Lahab, Abu Sufyan dan bangsawan-bangsawan Quraisy terkemuka lainnya, hartawan-hartawan yang gemar bersenang-senang, mulai merasakan, bahwa pedoman Muhammad itu merupakan ancaman besar bagi kedudukan mereka. Makara yang mula-mula harus mereka lakukan ialah menyerangnya dengan cara mendiskreditkannya, dan mendustakan segala apa yang dinamakannya kenabian itu. 

Langkah pertama yang mereka lakukan dalam hal ini ialah membujuk penyair-penyair mereka: Abu Sufyan bin'l-Harith, 'Amr bin'l-'Ash dan Abdullah ibn'z-Ziba'ra, supaya mengejek dan menyerangnya. Dalam pada itu penyair-penyair Muslimin juga tampil membalas serangan mereka tanpa Muhammad sendiri yang harus melayani. 

Sementara itu, selain penyair-penyair itu beberapa orang tampil pula meminta kepada Muhammad beberapa mujizat yang akan sanggup membuktikan kerasulannya: mujizat-mujizat menyerupai pada Musa dan Isa. Kenapa bukit-bukit Shafa dan Marwa itu tidak disulapnya menjadi emas, dan kitab yang dibicarakannya itu dalam bentuk tertulis diturunkan dari langit? Dan kenapa Jibril yang banyak dibicarakan oleh Muhammad itu tidak muncul di hadapan mereka? Kenapa ia tidak menghidupkan orang-orang yang sudah mati, menghalau bukit-bukit yang selama ini membuat Mekah terkurung karenanya? Kenapa ia tidak memancarkan mata air yang lebih sedap dari air sumur Zamzam, padahal ia tahu betapa besar hajat penduduk negerinya itu akan air? 

Tidak hanya hingga disitu saja kaum musyrikin itu mau mengejeknya dalam soal-soal mujizat, malahan ajukan mereka makin menjadi-jadi, dengan menanyakan: kenapa Tuhannya itu tidak memberikan wahyu perihal harga barang-barang dagangan supaya mereka sanggup mengadakan spekulasi buat hari depan? 

Debat mereka itu berkepanjangan. Tetapi wahyu yang tiba kepada Muhammad menjawab debat mereka. 

"Katakanlah: 'Aku tak berkuasa membawa kebaikan atau menolak ancaman untuk diriku sendiri, kalau tidak dengan kehendak Allah. Dan sekiranya saya mengetahui yang gaib-gaib, pasti kuperbanyak amal kebaikan itu dan bahayapun tidak menyentuhku. Tapi saya hanya memberi peringatan dan membawa gosip gembira bagi mereka yang beriman." (Qur'an 7: 188) 

Ya, Muhammad hanya mengingatkan dan membawa gosip gembira. Bagaimana mereka akan menuntutnya dengan hal-hal yang tak masuk akal. Sedang ia tidak mengharapkan dari mereka kecuali yang masuk akal, bahkan yang diminta dan diharuskan oleh akal?! Bagaimana mereka menuntutnya dengan hal-hal yang bertentangan dengan kodrat jiwa yang tinggi padahal yang diharapkannya dari mereka semoga mereka mau mendapatkan bunyi yang sesuai dengan kodrat jiwa yang tinggi itu?! Bagaimana pula mereka masih menuntutnya dengan beberapa mujizat, padahal kitab yang diwahyukan kepadanya itu dan yang memperlihatkan jalan yang benar itu yaitu mujizat dari segala mujizat? Kenapa mereka masih menuntut supaya kerasulannya itu diperkuat lagi dengan keanehan-keanehan yang tak masuk akal, yang setelah itu nanti merekapun akan ragu-ragu lagi, akan mengikutinyakah mereka atau tidak? 

Dan ini, yang mereka katakan tuhan-tuhan mereka itu, tidak lebih yaitu batu-batu atau kayu yang disangga atau berhala-berhala yang tegak di tengah-tengah padang pasir, yang tidak sanggup membawa kebaikan ataupun menolak bahaya. Sungguhpun begitu mereka menyembahnya juga, tanpa menuntut pembuktian sifat-sifat ketuhanannya. Dan kalaupun itu yang dituntut, pasti ia akan tetap kerikil atau kayu, tanpa hidup, tanpa gerak; untuk dirinyapun ia tak sanggup menolak ancaman atau membawa kebaikan. Dan kalau ada yang tiba menghancurkannya iapun takkan sanggup mempertahankan diri. 

Muhammad Menista Dewa-dewa Quraisy
Muhammadpun sudah terang-terangan menyebut berhala-berhala mereka, yang sebelum itu tidak pernah disebut-sebutnya. Ia mencelanya, yang juga sebelum itu tidak pernah dilakukan demikian. Hal ini menjadi soal besar bagi Quraisy dan dirasakan menusuk hati mereka. Tentang laki-laki itu, serta apa yang dihadapinya dari mereka dan dihadapi mereka dari dia, kini mulai sungguh-sungguh menjadi perhatian mereka. Sampai sebegitu jauh mereka gres hingga memperolok kata-katanya. Apabila mereka duduk-duduk di Dar'n Nadwa3, atau disekitar Ka'bah dengan berhala-berhala yang ada, membuallah mereka dengan perilaku tidak lebih dari senyuman mengejek dan berolok-olok. Akan tetapi, kalau yang dihina dan diejek itu kini dewa-dewa mereka yang mereka sembah dan disembah nenek-moyang mereka, termasuk Hubal, Lat, 'Uzza dan semua berhala, maka tidak lagi soalnya soal olok-olok dan cemoohan, melainkan sudah menjadi soal yang serius dan menentukan. Atau, andaikata orang itu hingga sanggup menghasut penduduk Mekah melawan mereka dan meninggalkan berhala-berhala mereka, hasil apa yang akan diperolehnya dari perdagangan Mekah itu? Dan bagaimana pula kedudukan mereka dalam arti agama? 

Abu Talib pamannya belum lagi menganut Islam. Tetapi tetap ia sebagai pelindung dan penjaga kemenakannya itu. Ia sudah menyatakan kesediaannya akan membelanya. Atas dasar itu pemuka-pemuka darah biru Quraisy - dengan diketahui oleh Abu Sufyan b. Harb - pergi menemui Abu Talib. 

"Abu Talib," kata mereka, "kemenakanmu itu sudah memaki berhala-berhala kita, mencela agama kita, tidak menghargai harapan-harapan kita dan menganggap sesat nenek-moyang kita. Soalnya sekarang, harus kauhentikan dia; kalau tidak biarlah kami sendiri yang akan menghadapinya. Oleh lantaran engkau juga menyerupai kami tidak sejalan, maka cukuplah engkau dari pihak kami menghadapi dia." 

Akan tetapi Abu Talib menjawab mereka dengan baik sekali. Sementara itu Muhammad juga tetap gigih menjalankan kiprah dakwahnya dan dakwa itupun mendapat pengikut bertambah banyak. 

Quraisy segera berkomplot menghadapi Muhammad itu. Sekali lagi mereka pergi menemui Abu Talib. Sekali ini disertai 'Umara bin'l-Walid bin'l-Mughira, seorang cowok yang gagah dan rupawan, yang akan diberikan kepadanya sebagai anak angkat, dan sebagai gantinya supaya Muhammad diserahkan kepada mereka. Tetapi inipun ditolak. Muhammad terus juga berdakwah, dan Quraisypun terus juga berkomplot. 

Untuk ketiga kalinya mereka mendatangi lagi Abu Talib. 
"Abu Talib'" kata mereka, "Engkau sebagai orang yang terhormat, terpandang di kalangan kami. Kami telah minta supaya menghentikan kemenakanmu itu, tapi tidak juga kaulakukan. Kami tidak akan tinggal membisu terhadap orang yang memaki nenek-moyang kita, tidak menghargai harapan-harapan kita dan mencela berhala-berhala kita - sebelum kausuruh ia membisu atau sama-sama kita lawan ia hingga salah satu pihak nanti binasa." 

Berat sekali bagi Abu Talib akan berpisah atau bermusuhan dengan masyarakatnya. Juga tak hingga hati ia menyerahkan atau membuat kemenakannya itu kecewa. Gerangan apa yang harus dilakukannya? 

Dimintanya Muhammad tiba dan diceritakannya maksud seruan Quraisy. Lalu katanya: "Jagalah aku, begitu juga dirimu. Jangan saya dibebani hal-hal yang tak sanggup kupikul." 

Muhammad menekur sejenak, menekur berhadapan dengan sebuah sejarah alam wujud ini, sejarah yang sedang tertegun tak tahu hendak ke mana tujuannya. Dalam kata-kata yang kemudian menguntai dari bibir laki-laki itu yaitu suatu keputusan bagi dunia: adakah dunia ini akan dalam kesesatan selalu dan terus dijerumuskan, kemudian tiba Majusi menekan Katolik yang sudah gagal dan kacau, dan dengan demikian paganisma dengan kebatilannya itu akan mengangkat kepala yang sudah rapuk dan busuk? Atau ia harus memancarkan terus sinar kebenaran itu, memproklamirkan kata-kata Tauhid, membebaskan pikiran insan dari belenggu perbudakan, membebaskannya dari rantai delusi dan mengangkatnya kemartabat yang lebih tinggi, sehingga jiwa insan itu sanggup mencapai korelasi dengan Zat Maha Tinggi? 

Utusan Quraisy Kepada Abu Talib
Pamannya, ini pamannya seolah sudah tak berdaya lagi membela dan memeliharanya. Ia sudah mau meninggalkan dan melepaskannya. Sedang kaum Muslimin masih lemah, mereka tak berdaya akan berperang, tidak sanggup mereka melawan Quraisy yang punya kekuasaan, punya harta, punya persiapan dan jumlah manusia. Sebaliknya ia tidak punya apa-apa selain kebenaran. Dan atas nama kebenaran sebagai pembelanya ia mengajak orang. Tak punya apa-apa ia selain imannya kepada kebenaran itu sebagai perlengkapan. Terserahlah apa jadinya! Hari kemudian itu baginya lebih baik daripada yang sekarang. Ia akan meneruskan misinya, akan mengajak orang menyerupai yang diperintahkan Tuhan kepadanya. Lebih baik mati ia membawa dogma kebenaran yang telah diwahyukan kepadanya daripada mengalah atau ragu-ragu. 

Karena itu, dengan jiwa yang penuh kekuatan dan kemauan, ia menoleh kepada pamannya seraya berkata: 

"Paman, demi Allah, kalaupun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan meletakkan bulan di tangan kiriku, dengan maksud supaya saya meninggalkan kiprah ini, sungguh tidak akan kutinggalkan, biar nanti Allah yang akan membuktikan kemenangan itu di tanganku, atau saya binasa karenanya." 

Ya, demikian besarnya kebenaran itu, demikian dahsyatnya dogma itu! Gemetar orang bau tanah ini mendengar jawaban Muhammad, tertegun ia. Ternyata ia berdiri di hadapan tenaga kudus dan kemauan yang begitu tinggi, di atas segala kemampuan tenaga hidup yang ada. 

Muhammad berdiri. Air matanya terasa menyumbat lantaran perilaku pamannya yang tiba-tiba itu, sekalipun tak terlintas kesangsian dalam hatinya sedikitpun akan jalan yang ditempuhnya itu. 

Seketika lamanya Abu Talib masih dalam keadaan terpesona. Ia masih dalam kebingungan antara tekanan masyarakatnya dengan perilaku kemanakannya itu. Tetapi kemudian dimintanya Muhammad tiba lagi, yang kemudian katanya: "Anakku, katakanlah sekehendakmu. Aku tidak akan menyerahkan engkau bagaimanapun juga!" 

Kedudukan Muhammad Terhadap Pamannya
Sikap dan kata-kata kemenakannya itu oleh Abu Talib disampaikan kepada Banu Hasyim dan Banu al-Muttalib. Pembicaranya perihal Muhammad itu terpengaruh oleh suasana yang dilihat dan dirasakannya dikala itu. Dimintanya supaya Muhammad dilindungi dari tindakan Quraisy. Mereka semua mendapatkan usul ini, kecuali Abu Lahab. Terang-terangan ia menyatakan permusuhannya. Ia menggabungkan diri pada pihak lawan mereka. Permintaan mereka supaya ia dilindungi itu sudah tentu lantaran terpengaruh oleh fanatisma golongan dan permusuhan usang antara Banu Hasyim dan Banu Umayya. Tetapi bukan fanatisma itu saja yang mendorong Quraisy bersikap demikian. Ajarannya itu sungguh berbahaya bagi kepercayaan yang biasa dilakukan oleh leluhur mereka. Kedudukan Muhammad di tengah-tengah mereka, pendiriannya yang teguh serta ajarannya pada kebaikan supaya orang hanya menyembah Zat Yang Tunggal, yang pada waktu itu memang sudah meluas juga di kalangan kabilah-kabilah Arab, bahwa agama Allah itu bukanlah menyerupai yang ada pada mereka sekarang, membuat mereka sanggup membenarkan juga perilaku kemenakan mereka itu, Muhammad, dalam menyatakan pendiriannya, menyerupai yang pernah dilakukan oleh Umayya b. Abi'sh-Shalt dan Waraqa b. Naufal dan yang lain. Kalau Muhammad memang benar - dan ini yang tidak sanggup mereka pastikan - maka kebenaran itu akan tampak juga dan merekapun akan mencicipi pula kemegahannya. Sebaliknya, kalau tidak atas dasar kebenaran, maka orangpun akan meninggalkannya menyerupai yang sudah terjadi sebelum itu. Akhirnya pedoman demikian ini tidak akan meninggalkan bekas dalam mengeluarkan mereka dari tradisi yang ada dan ia sendiripun akan diserahkan kepada musuh supaya dibunuh. 

Quraisy Menyiksa Kaum Muslimin
Terhadap gangguan Quraisy ia sanggup berlindung kepada goIongannya, menyerupai kepada Khadijah bila ia mengalami kesedihan. Baginya - dengan imannya yang sungguh-sungguh dan cinta-kasihnya yang besar - Khadijah yaitu lambang kejujuran yang sanggup menghilangkan segala kesedihan hatinya, yang sanggup menguatkan kembali setiap ciri kelemahan yang mungkin timbul lantaran siksaan musuh-musuhnya yang begitu keras menentangnya serta melaksanakan penyiksaan terus-menerus terhadap pengikut-pengikutnya. 

Sebelum itu bergotong-royong Quraisy memang tidak pernah mengenal hidup tenteram. Bahkan setiap kabilah itu eksklusif menyerbu kaum Muslimin yang ada di kalangan mereka: disiksa dan dipaksa melepaskan agamanya; sehingga di antara mereka ada yang mencampakkan budaknya, Bilal, ke atas pasir di bawah terik matahari yang membakar, dadanya ditindih dengan kerikil dan akan dibiarkan mati. Soalnya lantaran ia teguh bertahan dalam Islam! Dalam kekerasan semacam itu Bilal hanya berkata: "Ahad, Ahad, Hanya Yang Tunggal!" Ia memikul semua siksaan itu demi agamanya. 

Ketika pada suatu hari oleh Abu Bakr dilihatnya Bilal mengalami siksaan begitu rupa, ia dibelinya kemudian dibebaskan. Tidak sedikit budak-budak yang mengalami kekerasan serupa itu oleh Abu Bakr dibeli - diantaranya budak perempuan Umar bin'l-Khattab, dibelinya dari Umar (sebelum masuk Islam). Ada pula seorang perempuan yang disiksa hingga mati lantaran ia tidak mau meninggalkan Islam kembali kepada kepercayaan leluhurnya. 

Kaum Muslimin di luar budak-budak itu, dipukuli dan dihina dengan aneka macam cara. Muhammad juga tidak terkecuali mengalami gangguan-gangguan - meskipun sudah dilindungi oleh Banu Hasyim dan Banu al-Muttalib. Umm Jamil, isteri Abu Jahl, melemparkan najis ke depan rumahnya. Tetapi cukup Muhammad hanya membuangnya saja. Dan pada waktu sembayang, Abu Jahl melemparinya dengan isi perut kambing yang sudah disembelih untuk sesajen kepada berhala-berhala. Ditanggungnya gangguan demikian itu dan ia pergi kepada Fatimah, puterinya, supaya mencucikan dan membersihkannya kembali. Ditambah lagi, di samping semua itu, kaum Muslimin harus mendapatkan kata-kata biadab dan keji kemana saja mereka pergi. 

Cukup usang hal serupa itu berjalan. Tetapi kaum Muslimin tambah teguh terhadap agama mereka. Dengan dada terbuka mereka mendapatkan siksaan dan kekerasan itu - demi dogma dan dogma mereka. 

Perioda yang telah dilalui dalam hidup Muhammad a.s. ini yaitu perioda yang paling dahsyat yang pernah dialami oleh sejarah umat manusia. Baik Muhammad atau mereka yang menjadi pengikutnya, bukanlah orang-orang yang menuntut harta kekayaan, kedudukan atau kekuasaan, melainkan orang-orang yang menuntut kebenaran serta keyakinannya akan kebenaran itu. Muhammad yaitu orang yang mengharapkan bimbingan bagi mereka yang mengalami penderitaan, dan membebaskan mereka dari belenggu paganisma yang rendah, yang menyusup kedalam jiwa insan hingga ke lembah kehinaan yang sangat memalukan. 

Demi tujuan rohani yang luhur itulah - tidak untuk tujuan yang lain - ia mengalami siksaan. Penyair-penyair memakinya, orang-orang Quraisy berkomplot hendak membunuhnya di Ka'bah. Rumahnya dilempari batu, keluarga dan pengikut-pengikutnya diancam. Tetapi dengan semua itu malah ia makin tabah, makin gigih meneruskan dakwah. Jiwa kaum mukmin yang mengikutinya itu sudah padat oleh ucapannya: "Demi Allah, kalaupun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan meletakkan bulan di tangan kiriku, dengan maksud supaya saya meninggalkan kiprah ini, sungguh tidak akan kutinggalkan, biar nanti Allah yang akan membuktikan kemenangan itu; di tanganku atau saya binasa karenanya." 

Segala pengorbanan yang besar-besar itu tak ada artinya bagi mereka, mautpun sudah tak berarti lagi demi kebenaran, dan membimbing Quraisy ke arah itu. Kadang orang heran, dogma sudah begitu mempersonakan jiwa penduduk Mekah pada waktu agama ini belum lengkap, pada waktu ayat-ayat Qur'an yang turun masih sedikit. Kadang juga orang mengira, bahwa pribadi Muhammad, sifatnya yang lemah-lembut, keindahan akhlaknya serta kejujurannya yang sudah cukup dikenal, di samping kemauan yang keras dan pendiriannya yang teguh, yaitu alasannya yaitu dari semua itu. Sudah tentu ini juga ada pengaruhnya. Akan tetapi ada sebab-sebab lain yang juga patut diperhatikan yang tidak sedikit pula ikut memegang peranan. 

Muhammad tinggal dalam suatu kawasan yang merdeka mirip-mirip sebuah republik. Dari segi keturunan ia menempati puncak yang tinggi. Hartapun sudah cukup menyerupai yang dikehendakinya. Ia dari Keluarga Hasyim pula, juru kunci Ka'bah dan penguasa urusan air. Gelar-gelar keagamaan yang tinggi-tinggi ada pada mereka. Makara dalam keadaan itu ia tidak lagi membutuhkan harta kekayaan, pangkat atau sesuatu kedudukan politik atau agama. Dalam hal ini ia berbeda pula dengan para rasul dan nabi-nabi sebelumnya. Musa yang dilahirkan di Mesir bertemu dengan Firaun yang oleh penduduk sudah dituhankan, dan Firaun juga yang berkata: "Aku yaitu tuhanmu yang tertinggi," yang dibantu pula oleh pemuka-pemuka agama melaksanakan tekanan kepada orang dengan pelbagai macam kekejaman, pemerasan dan pemaksaan. Revolusi yang dilakukan Musa atas perintah Tuhan yaitu revolusi dalam struktur politik dan agama sekaligus. Bukankah keinginannya supaya Firaun dan orang yang menimba air dengan syaduf dari sungai Nil itu dihadapan Tuhan sama sederajat? Makara dimana ketuhanan Firaun itu dan dimana pula ketentuan yang berlaku! Harus dihancurkan semua itu dan revolusi itupun terlebih dulu harus bersifat politik. 

Oleh lantaran itu, dari semula pedoman Musa itu sudah mendapat perlawanan hebat dari Firaun. Dengan demikian, supaya orang mendapatkan seruannya itu, ia diperkuat oleh mujizat-mujizat. Ia melemparkan tongkatnya, dan tongkat itu menjadi seekor ular yang bergerak-gerak, menelan semua hasil pekerjaan tukang tukang sihir Firaun itu. Itupun tidak memberi hasil apa-apa buat Musa. Terpaksa ia meninggalkan Mesir tanah airnya. Dalam hijrahnya itupun diperkuat pula ia dengan sebuah mujizat yaitu terbelahnya jalan di tengah-tengah air lautan itu. 

Juga Isa, yang dilahirkan di Nazareth di bilangan Palestina, yang pada waktu itu merupakan wilayah Rumawi yang berada di bawah kekuasaan kaisar-kaisar dengan segala kekejamannya sebagai pihak penjajah dan kekuasaan dewa-dewa Rumawi, mengajak orang supaya sabar menghadapi kekejaman itu dan bertobat bagi yang menyesal dan macam-macam perasaan belaskasih lagi, yang oleh pihak penguasa justru dianggap pemberontakan terhadap kekuasaan mereka. Maka Isa juga diperkuat dengan mujizat-mujizat: menghidupkan orang mati dan menyembuhkan orang sakit; dan yang lain diperkuat oleh Ruh Kudus. Memang benar, bahwa inti ajaran-ajaran mereka itu intinya bertemu dengan inti ajaran-ajaran Muhammad juga, lepas dari detail yang bukan tempatnya untuk dijelaskan di sini. Akan tetapi motif yang aneka macam macam ini, dan yang terutama motif politik, yaitu yang menjadi tujuannya juga. 

Sebaliknya Muhammad, keadaannya menyerupai yang kita sebutkan di atas, sifat ajarannya yaitu intelektual dan spiritual. Dasarnya yaitu mengajak kepada kebenaran, kebaikan dan keindahan. Suatu usul yang berdiri sendiri dari mula hingga akhir. Karena jauhnya dari segala kontradiksi politik, struktur republik yang sudah ada di Mekah itu tidak pernah mengalami sesuatu kekacauan. 

Mungkin pembaca akan terkejut bila saya katakan, bahwa antara dakwah Muhammad dengan metoda ilmiah modern mempunyai persamaan yang besar sekali. Metoda ilmiah ini ialah mengharuskan kita - apabila kita hendak mengadakan suatu penyelidikan - terlebih dulu membebaskan diri dari segala prasangka, pandangan hidup dan kepercayaan yang sudah ada pada diri kita yang bekerjasama dengan penyelidikan itu. Di situlah kita memulai dengan mengadakan observasi dan eksperimen, mengadakan perbandingan yang sistematis, kemudian gres dengan silogisma yang sudah didasarkan kepada premisa-premisa tadi. Apabila semua itu sudah sanggup disimpulkan, maka kesimpulan demikian itu dengan sendirinya masih perlu dibahas dan diselidiki lagi. Tetapi bagaimanapun juga ini sudah merupakan suatu data ilmiah selama penyelidikan tersebut belum memperlihatkan kekeliruan. Metoda ilmiah demikian ini ialah yang terbaik yang pernah dicapai umat insan demi kemerdekaan berpikir. Metoda dan dasar-dasar dakwah demikian inilah pula yang menjadi pegangan Muhammad. 

Bagaimana pula mereka yang menjadi pengikutnya itu puas dan beriman sungguh-sungguh akan ajarannya? Segala kepercayaan usang terkikis habis dari jiwa mereka, dan kini mereka mulai memikirkan masa depan mereka. 

Waktu itu setiap kabilah Arab mempunyai berhala sendiri-sendiri. Mana pula gerangan berhala yang benar dan mana yang sesat? Di negeri-negeri Arab dan negeri-negeri sekitarnya dikala itu memang sudah ada penganut-penganut Sabian dan Majusi penyembah api, juga ada yang menyembah matahari. Mana diantara mereka itu yang benar dan mana pula yang sesat? 

Baiklah kita kesampingkan dulu semua ini, kita hapuskan jejaknya dari jiwa kita. Kita bebaskan dulu diri kita dari segala konsepsi dan kepercayaan lama. Baiklah kita renungkan. Merenungkan dan meninjau intinya sama. Yang pasti ialah bahwa seluruh alam ini satu sama lain saling berhubungan. Manusia, puak-puak dan bangsa-bangsa saling berhubungan. Manusia bekerjasama juga dengan binatang dan dengan benda, bumi kita bekerjasama dengan matahari, dengan bulan dan tata-surya lainnya. Dan semua itupun bekerjasama pula dengan undang-undang yang sudah tali-temali, tak sanggup ditukar-tukar atau diubah-ubah lagi. Matahari tidak seharusnya akan mengejar bulan, malampun takkan sanggup mendahului siang. Andaikata di antara isi alam ini ada yang berubah atau berganti, pasti akan berganti pulalah segala yang ada dalam alam ini. Andaikata matahari tidak lagi menyinari dan memanasi bumi, berdasarkan undang-undang yang sudah berjalan semenjak jutaan tahun yang lalu, pasti bumi dan langit ini sudah akan berubah pula. Dan oleh lantaran yang demikian ini tidak terjadi, maka atas semua itu sudah tentu ada zat yang menguasainya. Dari situ ia tumbuh, dengan itu ia berkembang dan ke situ pula ia kembali. Hanya kepada Zat ini sajalah semata insan menyerah. Demikian juga, segala yang ada dalam alam ini mengalah semata kepada Zat ini, persis menyerupai manusia. Baik manusia, alam, ruang dan waktu yaitu suatu kesatuan. Maka Zat itulah inti dan sumbernya. Jadi, hanya kepada Zat itu sajalah semata ibadat dilakukan. Hanya kepada Zat itu sajalah jantung dan jiwa insan dihadapkan. Ke dalam alam itu juga kita harus melihat dan merenungkan undang-undang alam yang kekal awet itu. Makara segala yang disembah insan selain Allah berupa berhala-berhala, raja-raja, firaun-firaun, api dan matahari, hanyalah suatu delusi batil saja, tidak sesuai dengan martabat dan kehormatan manusia, tidak sesuai dengan logika pikiran insan serta dengan kemampuan yang ada dalam dirinya; yang sanggup membuat kesimpulan atas undang-undang Tuhan terhadap ciptaanNya itu, dengan jalan merenungkannya. 

Inilah rasanya esensi pedoman Muhammad menyerupai yang diketahui kaum Muslimin yang mula-mula itu. Ajaran yang disampaikan wahyu kepada mereka melalui Muhammad itu yaitu puncak dari bahasa sastra yang telah menjadi mujizat dan akan terus berlaku demikian. Terpadunya kebenaran dan cara melukiskannya dengan keindahan yang luar biasa itu kini tampak di hadapan mereka. Di sini jiwa dan kalbu mereka meningkat lebih tinggi, bekerjasama dengan Zat Yang Maha Mulia. Lalu tiba Muhammad menuntun mereka bahwa kebaikan itulah jalan yang akan hingga ke tujuan. Mereka akan mendapat jawaban atas kebaikan itu bilamana mereka sudah menunaikan kewajiban dalam hidup dengan tekun. Setiap orang akan mendapat jawaban sesuai dengan perbuatannya. 

"Barangsiapa berbuat kebaikan seberat atompun akan dilihatnya; dan barangsiapa berbuat kejahatan seberat atompun akan dilihatnya pula." (Qur'an 99: 7-8) 

Dalam menjunjung pikiran insan ke tempat yang lebih tinggi kiranya tak ada yang lebih tinggi dari ini! Juga menghancurkan belenggu yang senantiasa mengikatnya itu! Terserah kepada manusia. Ia mau memahami ini, mau beriman dan mengerjakannya untuk mencapai puncak ketinggian martabat insan itu! Demi mencapai tujuan, segala pengorbanan terasa ringan bagi orang yang sudah beriman itu. 

Karena posisi Muhammad dan pengikut-pengikutnya yang begitu agung, Banu Hasyim dan Banu al-Muttalib tambah ketat menjaganya dari setiap gangguan. Pada suatu hari Abu Jahl bertemu dengan Muhammad, ia mengganggunya, memaki-makinya dan mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas dialamatkan kepada agama ini. Tetapi Muhammad tidak melayaninya. Ditinggalkannya ia tanpa diajak bicara. Hamzah, pamannya dan saudaranya sesusu, yang masih berpegang pada kepercayaan Quraisy, yaitu seorang laki-laki yang berpengaruh dan ditakuti. Ia mempunyai kegemaran berburu. Bila ia kembali dan berburu, terlebih dulu mengelilingi Ka'bah sebelum eksklusif pulang ke rumahnya. 

Hari itulah, bilamana ia tiba dan mengetahui bahwa kemenakannya itu mendapat gangguan Abu Jahl, ia meluap marah. Ia pergi ke Ka'bah, tidak lagi ia memberi salam kepada yang hadir di tempat itu menyerupai biasanya, melainkan terus masuk kedalam mesjid menemui Abu Jahl. Setelah dijumpainya, diangkatnya busurnya kemudian dipukulkannya keras-keras di kepalanya. Beberapa orang dan Banu Makhzum mencoba mau membela Abu Jahl. Tapi tidak jadi. Kuatir mereka akan timbul tragedi dan membahayakan sekali, dengan mengakui bahwa ia memang mencaci maki Muhammad dengan tidak semena-mena. 

Sesudah itulah kemudian Hamzah menyatakan masuk Islam. Ia berjanji kepada Muhammad akan membelanya dan akan berkurban di jalan Allah hingga tamat hayatnya. 

Pihak Quraisy merasa sesak dada melihat Muhammad dan kawan-kawannya makin hari makin kuat. Di samping itu, gangguan dan siksaan yang dialamatkan kepada mereka, tidak sanggup mengurangi dogma mereka dan menyatakannya terus-terang, tidak sanggup menghalangi mereka melaksanakan kewajiban agama. Terpikir oleh Quraisy akan membebaskan diri dari Muhammad, dengan cara menyerupai yang mereka bayangkan, memberikan segala keinginannya. Mereka rupanya lupa bahwa keagungan dakwah Islam, kemurnian esensi pedoman rohaninya yang begitu tinggi, berada di atas segala kontradiksi ambisi politik. 'Utba b. Rabi'a, seorang darah biru Arab terkemuka, mencoba membujuk Quraisy dikala mereka dalam tempat pertemuan dengan menyampaikan bahwa ia akan bicara dengan Muhammad dan akan memperlihatkan kepadanya hal-hal yang barangkali mau menerimanya. Mereka mau memberikan apa saja kehendaknya, asal ia sanggup dibungkam. 

Ketika itulah 'Utba bicara dengan Muhammad. 
"Anakku," katanya, "seperti kau ketahui, dari segi keturunan, engkau mempunyai tempat di kalangan kami. Engkau telah membawa soal besar ke tengah-tengah masyarakatmu, sehingga mereka cerai-berai karenanya. Sekarang, dengarkanlah, kami akan memperlihatkan beberapa masalah, kalau-kalau sebagian sanggup kauterima Kalau dalam hal ini yang kauinginkan yaitu harta, kamipun siap mengumpulkan harta kami, sehingga hartamu akan menjadi yang terbanyak di antara kami. Kalau kau menghendaki pangkat, kami angkat engkau di atas kami semua; kami takkan memutuskan suatu masalah tanpa ada persetujuanmu. Kalau kedudukan raja yang kauinginkan, kami nobatkan kau sebagai raja kami. Jika engkau dihinggapi penyakit saraf4 yang tak sanggup kautolak sendiri, akan kami usahakan pengobatannya dengan harta-benda kami hingga kau sembuh." 

Selesai ia bicara, Muhammad membacakan Surah as-Sajda (32 = Ha Mim). 'Utba membisu mendengarkan kata-kata yang begitu indah itu. Dilihatnya kini yang berdiri di hadapannya itu bukanlah seorang laki-laki yang didorong oleh ambisi harta, ingin kedudukan atau kerajaan, juga bukan orang yang sakit, melainkan orang yang mau memperlihatkan kebenaran, mengajak orang kepada kebaikan. Ia mempertahankan sesuatu dengan cara yang baik, dengan kata-kata penuh mujizat. 

Selesai Muhammad membacakan itu 'Utba pergi kembali kepada Quraisy. Apa yang dilihat dan didengarnya itu sangat mempesonakan dirinya. Ia terpesona lantaran kebesaran orang itu. Penjelasannya sangat menarik sekali. 

Persoalannya 'Utba ini tidak menyenangkan pihak Quraisy, juga pendapatnya supaya Muhammad dibiarkan saja, tidak menggembirakan mereka, sebaliknya kalau mengikutinya, maka kebanggaannya buat mereka. 

Maka kembali lagilah mereka memusuhi Muhammad dan sahabat-sahabatnya dengan menimpakan majemuk bencana, yang selama ini dalam kedudukannya itu ia berada dalam proteksi golongannya dan dalam penjagaan Abu Talib, Banu Hasyim dan Banu al-Muttalib. 



Kaum Muslimin Hijrah ke Abisinia

Gangguan terhadap kaum Muslimin makin menjadi-jadi, sampai-sampai ada yang dibunuh, disiksa dan semacamnya. Waktu itu Muhammad menyarankan supaya mereka terpencar-pencar. Ketika mereka bertanya kepadanya kemana mereka akan pergi, mereka diberi nasehat supaya pergi ke Abisinia yang rakyatnya menganut agama Kristen. "Tempat itu diperintah seorang raja dan tak ada orang yang dianiaya disitu. Itu bumi jujur; hingga nanti Allah membukakan jalan buat kita semua." 

Sebagian kaum Muslimin dikala itu kemudian berangkat ke Abisinia guna menghindari fitnah dan tetap berlindung kepada Tuhan dengan mempertahankan agama. Mereka berangkat dengan melaksanakan dua kali hijrah. Yang pertama terdiri dari sebelas orang laki-laki dan empat wanita. Dengan sembunyi-sembunyi mereka keluar dari Mekah mencari perlindungan. Kemudian mereka mendapat tempat yang baik di bawah Najasyi5. 

Bilamana kemudian tersiar gosip bahwa kaum Muslimin di Mekah sudah selamat dari gangguan Quraisy, merekapun kemudian kembali pulang, menyerupai yang akan diceritakan nanti. Tetapi setelah ternyata kemudian mereka mengalami kekerasan lagi dari Quraisy melebihi yang sudah-sudah, kembali lagi mereka ke Abisinia. Sekali ini terdiri dari delapan puluh orang laki-laki tanpa kaum isteri dan anak-anak. Mereka tinggal di Abisinia hingga setelah hijrah Nabi ke Yathrib. 
Hijrah ke Abisinia ini yaitu hijrah pertama dalam Islam6. 

Sudah pada tempatnya bagi setiap penulis sejarah Muhammad akan bertanya: Adakah tujuan hijrah yang dilakukan kaum Muslimin atas saran dan anjurannya itu lantaran akan melarikan diri dari orang-orang kafir Mekah beserta gangguan yang mereka lakukan, ataukah lantaran suatu tujuan politik Islam, yang di balik itu dimaksudkan oleh Muhammad dengan tujuan yang lebih luhur? Sudah pada tempatnya pula apabila penulis sejarah Muhammad itu akan bertanya perihal hal ini, setelah terbukti dari sejarah Nabi berbangsa Arab ini dalam seluruh fase kehidupannya, bahwa ia seorang politikus yang berpandangan jauh, seorang pembawa risalah dan moral jiwa yang begitu luhur, sublim dan agung yang tak ada taranya. Dan yang menjadi alasan dalam hal ini ialah apa yang disebutkan dalam sejarah, bahwa penduduk Mekah tidak suka hati ada kaum Muslimin yang pergi ke Abisinia. Bahkan mereka kemudian mengutus dua orang menemui Najasyi. Mereka membawa hadiah-hadiah berharga guna meyakinkan raja supaya sanggup mengembalikan kaum Muslimin itu ke tanah air mereka. Pada waktu itu penduduk Abisinia dan penguasanya yaitu orang-orang Nasrani. Dari segi agama orang-orang Quraisy tidak kuatir bahwa mereka akan ikut Muhammad. 

Disebabkan oleh rasa kegelisahan terhadap insiden itukah maka mereka kemudian mengutus orang, meminta supaya kaum Muslimin itu dikembalikan? Mereka menganggap, bahwa proteksi Najasyi terhadap mereka setelah mendengar keterangan mereka itu akan membawa imbas juga kepada penduduk jazirah Arab sehingga mereka akan mau mendapatkan agama Muhammad dan mau menjadi pengikutnya. Ataukah mereka kuatir, kalau kaum Muslimin menetap di Abisinia, mereka akan bertambah kuat, sehingga bila kelak mereka pulang kembali membantu Muhammad, mereka kembali dengan kekuatan, harta dan tenaga? 

Kedua orang utusan itu ialah 'Amr bin'l-'Ash dan Abdullah bin Abi Rabi'a. Kepada Najasyi dan kepada para pembesar istana mereka mempersembahkan hadiah-hadiah dengan maksud supaya mereka sudi mengembalikan orang-orang yang hijrah dari Mekah itu kepada mereka. 

"Paduka Raja," kata mereka, "mereka tiba ke negeri paduka ini yaitu budak-budak kami yang tidak punya malu. Mereka meninggalkan agama bangsanya dan tidak pula menganut agama paduka; mereka membawa agama yang mereka ciptakan sendiri, yang tidak kami kenal dan tidak juga paduka. Kami diutus kepada paduka oleh pemimpin-pemimpin masyarakat mereka, oleh orang-orang tua, paman mereka dan keluarga mereka sendiri, supaya paduka sudi mengembalikan orang-orang itu kepada mereka. Mereka lebih mengetahui betapa orang-orang itu mencemarkan dan memaki-maki." 

Sebenarnya kedua utusan itu telah mengadakan persetujuan dengan pembesar-pembesar istana kerajaan, setelah mereka mendapatkan hadiah-hadiah dari penduduk Mekah, bahwa mereka akan membantu perjuangan mengembalikan kaum Muslimin itu kepada pihak Quraisy. Pembicaraan mereka ini tidak hingga diketahui raja. Tetapi baginda menolak sebelum mendengar sendiri keterangan dari pihak Muslimin. Lalu dimintanya mereka itu tiba menghadap. 

"Agama apa ini yang hingga membuat tuan-tuan meninggalkan masyarakat tuan-tuan sendiri, tetapi tidak juga tuan-tuan menganut agamaku, atau agama lain?" tanya Najasyi setelah mereka datang. 

Yang diajak bicara dikala itu ialah Ja'far b. Abi Talib. 

"Paduka Raja," katanya, "ketika itu kami masyarakat yang bodoh, kami menyembah berhala, bangkaipun kami makan, segala kejahatan kami lakukan, memutuskan korelasi dengan kerabat, dengan tetanggapun kami tidak baik; yang berpengaruh menindas yang lemah. Demikian keadaan kami, hingga Tuhan mengutus seorang rasul dari kalangan kami yang sudah kami kenal asal-usulnya, ia jujur, sanggup diandalkan dan higienis pula. Ia mengajak kami menyembah hanya kepada Allah Yang Maha Esa, dan meninggalkan batu-batu dan patung-patung yang selama itu kami dan nenek-moyang kami menyembahnya. Ia menganjurkan kami untuk tidak berdusta untuk berlaku jujur serta mengadakan korelasi keluarga dan tetangga yang baik, serta menyudahi pertumpahan darah dan perbuatan terlarang lainnya. Ia melarang kami melaksanakan segala kejahatan dan memakai kata-kata dusta, memakan harta anak piatu atau mencemarkan wanita-wanita yang bersih. Ia minta kami menyembah Allah dan tidak mempersekutukanNya. Selanjutnya disuruhnya kami melaksanakan salat, zakat dan puasa. (Lalu disebutnya beberapa ketentuan Islam). Kami pun membenarkannya. Kami turut segala yang diperintahkan Allah. Lalu yang kami sembah hanya Allah Yang Tunggal, tidak mempersekutukan-Nya dengan apa dan siapa pun juga. Segala yang diharamkan kami jauhi dan yang dihalalkan kami lakukan. Karena itulah, masyarakat kami memusuhi kami, menyiksa kami dan menghasut supaya kami meninggalkan agama kami dan kembali menyembah berhala; supaya kami membenarkan segala keburukan yang pernah kami lakukan dulu. Oleh lantaran mereka memaksa kami, menganiaya dan menekan kami, mereka menghalang-halangi kami dari agama kami, maka kamipun keluar pergi ke negeri tuan ini. Tuan jugalah yang menjadi pilihan kami. Senang sekali kami berada di dekat tuan, dengan keinginan di sini takkan ada penganiayaan." 

"Adakah pedoman Tuhan yang dibawanya itu yang sanggup tuan-tuan bacakan kepada kami?" tanya Raja itu lagi. 

"Ya," jawab Ja'far; kemudian ia membacakan Surah Mariam dari pertama hingga pada firman Allah: 

"Lalu ia memberi isyarat menunjuk kepadanya. Kata mereka: Bagaimana kami akan bicara dengan anak yang masih muda belia? Dia (Isa) berkata: 'Aku yaitu hamba Allah, diberiNya saya Kitab dan dijadikanNya saya seorang nabi. DijadikanNya saya pembawa berkah dimana saja saya berada, dan dipesankanNya kepadaku melaksanakan sembahyang dan zakat selama hidupku. Dan berbaktilah saya kepada ibuku, bukan dijadikanNya saya orang congkak yang celaka. Bahagialah saya tatkala saya dilahirkan, tatkala saya mati dan tatkala saya hidup kembali!'" (Qur'an 19: 29-33) 

Setelah mendengar bahwa keterangan itu membenarkan apa yang tersebut dalam Injil, pemuka-pemuka istana itu terkejut: "Kata-kata yang keluar dari sumber yang mengeluarkan kata-kata Yesus Kristus'" kata mereka. 

Najasyi kemudian berkata: "Kata-kata ini dan yang dibawa oleh Musa, keluar dari sumber cahaya yang sama. Tuan-tuan (kepada kedua orang utusan Quraisy) pergilah. Kami takkan menyerahkan mereka kepada tuan-tuan!" 

Keesokan harinya 'Amr bin'l-'Ash kembali menghadap Raja dengan mengatakan, bahwa kaum Muslimin mengeluarkan tuduhan yang luar biasa terhadap Isa anak Mariam. "Panggillah mereka dan tanyakan apa yang mereka katakan itu." 

Setelah mereka datang, Ja'far berkata: "Tentang ia pendapat kami menyerupai yang dikatakan Nabi kami: 'Dia yaitu hamba Allah dan UtusanNya, RuhNya dan FirmanNya yang disampaikan kepada Perawan Mariam.'" 

Najasyi kemudian mengambil sebatang tongkat dan menggoreskannya di tanah. Dan dengan gembira sekali baginda berkata: 

"Antara agama tuan-tuan dan agama kami bergotong-royong tidak lebih dari garis ini." 

Setelah dari kedua belah pihak itu didengarnya, ternyatalah oleh Najasyi, bahwa kaum Muslimin itu mengakui Isa, mengenal adanya Katolik dan menyembah Allah. 

Selama di Abisinia itu kaum Muslimin merasa kondusif dan tenteram. Ketika kemudian disampaikan kepada mereka, bahwa permusuhan pihak Quraisy sudah berangsur reda, mereka kemudian kembali ke Mekah untuk pertama kalinya - dan Muhammadpun masih di Mekah. 

Akan tetapi, setelah kemudian ternyata, bahwa penduduk Mekah masih juga mengganggunya dan mengganggu sahabat-sahabatnya, merekapun kembali lagi ke Abisinia. Mereka terdiri dari delapan puluh orang tanpa perempuan dan anak-anak. Adakah kedua kali hijrah mereka itu hanya semata-mata melarikan diri dari gangguan ataukah meskipun dalam perencanaan Muhammad sendiri - mereka mempunyai tujuan politik? Sebaiknya jago sejarah akan sanggup mengungkapkan hal ini. 

Sudah pada tempatnya bagi penulis sejarah hidup Muhammad akan bertanya: bagaimana Muhammad sanggup tenang membiarkan sahabat-sahabatnya pergi ke Abisinia, padahal agama penduduk itu yaitu agama Nasrani, agama jago kitab, Nabi mereka Isa yang diakui kerasulannya oleh Islam? Lalu ia tidak kuatir mereka akan terpengaruhi menyerupai yang dilakukan oleh Quraisy walaupun dengan cara lain? Bagaimana pula ia akan merasa tenang terhadap godaan itu, mengingat Abisinia yaitu negeri makmur; yang tidak sama dengan Mekah; dan lebih sanggup mempengaruhi daripada Quraisy? Kenyataannya, dari kalangan Muslimin yang pergi ke Abisinia itu sudah ada seorang yang masuk Kristen. Kenyataan ini menunjukkan, bahwa kekuatiran akan adanya godaan ini seharusnya selalu ada pada Muhammad mengingat keadaannya yang masih lemah dan mereka yang menjadi pengikutnya masih menyangsikan kemampuannya melindungi diri mereka sendiri atau akan sanggup mengalahkan musuh mereka. Besar sekali dugaan bahwa hal demikian memang sudah terlintas dalam pikiran Muhammad, melihat tingkat kecerdasannya yang begitu tinggi dengan ketajaman pikiran dan pandangannya yang jauh, yang semuanya itu seimbang dengan jiwa besarnya, dengan kemurnian rohaninya, budi pekerti yang luhur serta perasaannya yang halus sekali itu. 

Tetapi sungguhpun begitu, dari segi ini ia yakin dan tenang sekali. Pada waktu itu - dan hingga pada waktu pembawa risalah itu wafat - inti pedoman Islam masih higienis sekali, kemurniannya masih belum ternodakan. Seperti pedoman Nasrani di Najran, Hira dan Syam, begitu juga paham Nasrani di Abisinia sudah dijangkiti oleh noda, perselisihan antara mereka yang menuhankan Ibu Mariam dengan mereka yang menuhankan Isa. Di samping ada lagi yang berlainan dengan kedua golongan itu, mereka yang masih mengambil dari sumber pedoman yang murni, yang tidak perlu dikuatirkan. 

Sebenarnya, kebanyakan agama-agama itu setelah beberapa generasi saja berjalan, sudah dijangkiti oleh semacam paganisma, meskipun bukan dari jenis rendahan, yang waktu itu berkembang di negeri-negeri Arab; tetapi bagaimanapun paganisma juga. 

Kedatangan Islam merupakan musuh berat buat paganisma dalam segala bentuk dan coraknya. Ditambah lagi, bahwa agama Nasrani waktu itu sudah mengakui adanya suatu golongan klas khusus di kalangan pemuka-pemuka agama - yang oleh Islam samasekali tidak dikenal - yang pada waktu itu merupakan golongan tertinggi dan paling suci. Juga pada waktu itu - dan dasar ini tetap berlaku - Islam merupakan agama yang menjunjung jiwa insan ke puncak tertinggi. Tak ada peluang yang akan sanggup menghubungkan insan dengan Tuhannya selain daripada baktinya dan perbuatan yang baik, dan orang harus menyayangi sesamanya menyerupai menyayangi dirinya. Tidak ada berhala-berhala, tidak ada pendeta-pendeta, tidak ada dukun-dukun dan tidak ada apapun yang akan merintangi jiwa insan itu untuk bekerjasama dengan seluruh wujud ini dengan perbuatan dan kelakuan yang baik. Allah juga yang akan membalas segala perbuatan itu dengan berlipat ganda. 

Dan ruh! Soal ruh yaitu urusan Tuhan. Ruh yang bekerjasama dengan kekekalan dan keabadian zaman. Segala perbuatan baik bagi ruh ini tak ada tabir yang akan menutupinya dari Tuhan, dan tak ada kekuasaan apapun selain Allah. Orang-orang yang kaya, yang berpengaruh atau yang jahat sanggup saja menyiksa jasad ini, sanggup saja memisahkannya dari segala kesenangan dan hawa nafsu dan sanggup saja menghancurkan semua itu, tetapi ruh atau jiwa itu takkan sanggup mereka kuasai selama yang bersangkutan mau menempatkannya lebih tinggi di atas segala kekuasaan materi dan waktu, dan tetap bekerjasama dengan seluruh alam ini. 

Manusia itu akan mendapat jawaban atas segala perbuatannya bilamana kelak setiap jiwa mendapatkan jawaban berdasarkan apa yang telah dikerjakannya. Ketika itu seorang ayah takkan sanggup menolong anaknya, dan seorang anak takkan pula sanggup menolong ayahnya sedikitpun. Ketika itu harta si kaya. sudah tak mempunyai kegunaan lagi, tidak juga si berpengaruh dengan kekuatannya, atau ahli-ahli teologi itu dengan ilmu ketuhanannya. Tetapi yang penting hanyalah perbuatan mereka, yang nanti akan menjadi saksi. Ketika itulah seluruh alam wujud berpadu semua dalam kekekalan dan keabadiannya. Tuhan tidak akan memperlakukan tidak adil terhadap siapapun. "Dan jawaban yang kau terima hanya berdasarkan apa yang kau perbuat." 

Bagaimana Muhammad akan merasa kuatir akan adanya godaan terhadap mereka yang sudah diajarkan semua arti ini, sudah ditanamkan ke dalam jiwa mereka dan sudah pula dogma dan dogma itu terpateri dalam lubuk hati mereka! Bagaimana pula ia akan merasa kuatir akan adanya godaan, sedang pola yang diberikannya itu hidup dihadapan mereka, dengan pribadinya yang begitu dicintai, sehingga kecintaan mereka kepadanya melebihi cintanya kepada diri sendiri kepada anak keluarganya! Pribadi, yang telah menempatkan dogma itu di atas semua raja di muka bumi ini, di langit, dengan matahari dan bulan, tatkala ia menyampaikan kepada pamannya: "Demi Allah, kalaupun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan meletakkan bulan di tangan kiriku, dengan maksud supaya saya meninggalkan kiprah ini, sungguh tidak akan kutinggalkan, biar nanti Allah yang akan membuktikan kemenangan itu di tanganku, atau saya binasa karenanya." 

Pribadi inilah, pribadi yang telah disinari cahaya dogma kebijaksanaan dan keadilan, kebaikan, kebenaran serta keindahan; di samping itu yaitu pribadi yang penuh rasa rendah hati, rasa kesetiaan serta keakraban dan kasih-sayang. 

Karena itulah, sedikitpun tidak goyah hatinya melepaskan sahabat-sahabatnya berangkat hijrah ke Abisinia. Keadaan mereka yang sudah merasa kondusif di dekat Najasyi, merasa tenang dengan agama mereka di tengah-tengah masyarakat yang tidak punya korelasi famili atau pertalian batin itu, membuat pihak Quraisy lebih menyadari, bahwa gangguan mereka terhadap kaum Muslimin - sebagai masyarakat dari sesama mereka, dari keluarga mereka dan seketurunan pula - yaitu suatu penganiayaan, suatu perbuatan kekerasan dan demoralisasi yang tak berkesudahan. Itu semua yaitu suatu tekanan dengan pelbagai macam siksaan kepada mereka yang sudah begitu berpengaruh jiwanya untuk mendapatkan siksaan demikian itu. Tetapi mereka kini sudah tidak lagi mendapat sesuatu gangguan. Mereka sudah menganggap, bahwa ketabahan menghadapi segala penderitaan itu yaitu suatu pendekatan kepada Tuhan, dan suatu ampunan. 

Islamnya Umar
Waktu itu 'Umar ibn'l-Khattab yaitu cowok yang gagah perkasa, berusia antara tiga puluh dan tiga puluh lima tahun. Tubuhnya berpengaruh dan tegap, penuh emosi dan cepat naik darah. Kesenangannya foya-foya dan minum-minuman keras. Tetapi terhadap keluarga ia bijaksana dan lemah-lembut. Dari kalangan Quraisy dialah yang paling keras memusuhi kaum Muslimin. 

Akan tetapi setelah ia mengetahui, bahwa mereka sudah hijrah ke Abisinia dan mengetahui pula rajanya memberikan proteksi kepada mereka, iapun merasa kesepian berpisah dengan mereka itu. Ia mencicipi betapa pedihnya hati, betapa pilunya perasaan mereka berpisah dengan tanah air. 

Tatkala itu Muhammad sedang berkumpul dengan sahabat-sahabatnya yang tidak ikut hijrah, dalam sebuah rumah di Shafa. Di antara mereka ada Hamzah pamannya, Ali bin Abi Talib sepupunya, Abu Bakr b. Abi Quhafa dan Muslimin yang lain. Pertemuan mereka ini diketahui 'Umar. Iapun pergi ketempat mereka, ia mau membunuh Muhammad. Dengan demikian bebaslah Quraisy dan kembali mereka bersatu, setelah mengalami perpecahan, setelah keinginan dan berhala-berhala mereka hina. 

Di tengah jalan ia bertemu dengan Nu'aim b. Abdullah. Setelah mengetahui maksudnya, Nuiaim berkata: 

"Umar, engkau menipu diri sendiri. Kaukira keluarga 'Abd Manaf. akan membiarkan kau merajalela begini setelah engkau membunuh Muhammad? Tidak lebih baik kau pulang saja ke rumah dan perbaiki keluargamu sendiri?!" 

Pada waktu itu Fatimah, saudaranya, beserta Sa'id b. Zaid suami Fatimah sudah masuk Islam. Tetapi setelah mengetahui hal ini dari Nu'aim, Umar cepat-cepat pulang dan eksklusif menemui mereka. Di tempat itu ia mendengar ada orang membaca Qur'an. Setelah mereka merasa ada orang yang sedang mendekati, orang yang membaca itu sembunyi dan Fatimah menyembunyikan kitabnya. 

"Aku mendengar bunyi bisik-bisik apa itu?!" tanya Umar. 

Karena mereka tidak mengakui, Umar membentak lagi dengan bunyi lantang: "Aku sudah mengetahui, kau menjadi pengikut Muhammad dan menganut agamanya!" katanya sambil menghantam Sa'id keras-keras. Fatimah, yang berusaha hendak melindungi suaminya, juga mendapat pukulan keras. Kedua suami isteri itu jadi panas hati. 

"Ya, kami sudah Islam! Sekarang lakukan apa saja," kata mereka. 

Tetapi Umar jadi gelisah sendiri setelah melihat darah di muka saudaranya itu. Ketika itu juga kemudian timbul rasa iba dalam hatinya. Ia menyesal. Dimintanya kepada saudaranya supaya kitab yang mereka baca itu diberikan kepadanya. Setelah dibacanya, wajahnya tiba-tiba berubah. Ia merasa menyesal sekali atas perbuatannya itu. Menggetar rasanya ia setelah membaca isi kitab itu. Ada sesuatu yang luarbiasa dan agung dirasakan, ada suatu seruan yang begitu luhur. Sikapnya jadi lebih bijaksana. 

Ia keluar membawa hati yang sudah lembut dengan jiwa yang tenang sekali. Ia eksklusif menuju ke tempat Muhammad dan sahabat-sahabatnya itu sedang berkumpul di Shafa. Ia minta ijin akan masuk, kemudian menyatakan dirinya masuk Islam. Dengan adanya Umar dan Hamzah dalam Islam, maka kaum Muslimin telah mendapat benteng dan perisai yang lebih kuat. 

Dengan Islamnya Umar ini kedudukan Quraisy jadi lemah sekali. Sekali lagi mereka mengadakan pertemuan guna menentukan langkah lebih lanjut. Sebenarnya insiden ini telah memperkuat kedudukan kaum Muslimin, telah memberikan unsur gres berupa kekuatan yang luarbiasa yang mengakibatkan kedudukan Quraisy terhadap kaum Muslimin dan kedudukan mereka terhadap Quraisy sudah tidak menyerupai dulu lagi. Keadaan kedua belah pihak ini kemudian diteruskan oleh suatu perkembangan politik baru, penuh dengan peristiwa-peristiwa, dengan pengorbanan-pengorbanan dan kekerasan-kekerasan gres lagi, yang hingga mengakibatkan terjadinya hijrah dan munculnya Muhammad sebagai politikus di samping Muhammad sebagai Rasul. 

Catatan kaki: 
[1] Pada umumnya kata 'namus besar' (an-namus'l-akbar) oleh beberapa penulis yang tiba kemudian diberi anotasi, bahwa kata namus berarti 'Jibril.' Mungkin ini didasarkan kepada (N) dan (LA) yang juga mengartikan demikian. Mengenai kata-kata ini Dr. Haekal tidak memberikan catatan. Demikian juga Ibn Ishaq dan ibn Hisyam. Salah seorang Orientalis - Montgomery Watt contohnya - memberikan catatan bahwa kata namus biasanya diambil dan bahasa Yunani nomos, dan ini berarti undang-undang atau kitab suci yang diwahyukan, (Muhammad at Mecca, p. 51). Sebaliknya pemakaian kata namus bukan istilah Qur'an, alasannya yaitu Qur'an memakai kata Taurat apabila yang dimaksud dengan namus itu undang-undang Nabi Musa (A). 

[2] Ash-Shafa ialah sebuah bukit dekat Mekah (A). 
[3] Semacam gedung pertemuan (A). 
[4] Menurut kepercayaan mereka penyakit yang disebabkan oleh gangguan jin, aslinya ra'i (A). 
[5] Dalam literatur Barat umumnya disebut Negus (A)
[6] Peristiwa ini terjadi dalam tahun 615 Masehi (tahun kelima setelah kerasulan) (A). 

Related Posts

Post a Comment