Report Abuse

Stats

Comment

Sedekahmu Niscaya Berbalas!

Post a Comment

Sedekahmu Pasti Berbalas!

Pantai Nusa Dua Bali, pada suatu sore.

Kami sedang bokek berat. Ups, nggak bokek banget sebenarnya! Hanya saja, uang yang ada telah kami alokasikan untuk membayar sejumlah tagihan dan kebutuhan lain. Jadi, terpaksa bekal piknik kami sore itu hanyalah sehelai tikar dan beberapa botol air putih.
Padahal, mestinya bekal utama keluarga yang sedang piknik yaitu setumpuk masakan kecil. Karena ketika bersenang-senang tak lengkap rasanya tanpa camilan. Tapi, ya itu tadi. Keadaanlah yang mengharuskan kami lebih menahan diri.

Setelah menemukan daerah yang nyaman, kami menggelar tikar dan duduk santai. Tak berapa lama, seorang bapak, kira-kira tak jauh usianya dari suamiku, muncul dari kejauhan tepi pantai. Tersenyum ramah dia mengucap salam, hangat dan erat menyalami tangan suamiku. Ia menenteng sesuatu terbungkus kresek putih, yang pribadi diletakkannya di atas tikar kami. “Silahkan Pak, Bu,” ungkapnya ramah. Sudah niscaya itu isinya makanan. Tapi saya dan suami hanya senyum-senyum, mengira dia cuma basa-basi.

Setelah bercakap-cakap sebentar dengan suamiku, bapak itu lantas pamit hendak kembali ke daerah keluarganya duduk-duduk bersama.

“Lho, Pak, itu kok nggak dibawa?” tanya suamiku sambil menunjuk tas kresek beserta isinya yang teronggok di atas tikar.

“Nggak, Pak. Silahkan dinikmati …” katanya santai sambil melenggang pergi.

Aku dan suamiku saling berpandangan, hingga nyaris lupa mengucapkan terima kasih pada bapak yang gres pertama kali kami jumpa itu.

Kubuka tas kresek itu dan termangu melihat isinya. Serenteng kacang atom, sebungkus kacang rebus, beberapa biji apel dan belimbing, dua buah teh kotak ukuran jumbo, biskuit, wafer, dan entah apa lagi! Rasanya, belum pernah kami piknik membawa bekal sebanyak ini!

Sungguh rezeki tak terduga, lantaran gres beberapa menit sebelumnya saya memandang ombak di kejauhan dengan duka (lebay mode on :-)) sambil membayangkan alangkah nikmatnya jikalau ada sedikit masakan kecil yang memeriahkan piknik kami sore itu.

Aku menoleh terharu ke arah bapak yang baik hati itu, yang sekarang tengah asyik bercengkrama di kejauhan dengan istri dan anaknya. Dari dialog sekilas tadi dengan suamiku, kuketahui pekerjaannya yaitu berdagang. Ia membuka warung di Pasar Kuta. Kubayangkan, tentu hidupnya sangat sederhana. Apa yang mendorongnya memberi masakan begini banyak pada orang yang sama sekali tak dikenalnya?

Aku yakin, semua ini tak mungkin terjadi tanpa campur tangan Tuhan. Aku teringat pada buku yang pernah kubaca. Karya Yusuf Mansur, “The Miracle of Giving” judulnya. Pada salah satu bagiannya, sang ustadz sedekah mencontohkan sesuatu terkait sedekah dan hikmahnya.

Seseorang, ketika Jumatan, mengeluarkan uang seribu rupiah untuk dimasukkan ke kotak infak. Sepulang dari jumatan, orang tersebut makan di warung dan “kebetulan” bertemu dengan temannya. Tanpa diduga, si sahabat membayarinya makan siang seharga Rp 10.000.

Andai orang itu “kurang berilmu”, tentu dia menganggap pertemuan dengan si sahabat hanyalah kebetulan belaka. Sebaliknya, jikalau dia jeli dan “cukup berilmu”, maka dia kontan menyadari bahwa rezekinya siang itu (dibayari makan siang) tentu disebabkan sedekah Rp 1000-nya. Bukankah Allah membalas kebaikan kita 10-700 kali lipat (ada dalam Al Quran). Maka, menyadari hal itu, dia akan semakin bersyukur dan bertekad menambah kembali sedekahnya.

Dan dongeng yang dituturkan Yusuf Mansur di atas tolong-menolong masih mempunyai celah untuk dibantah. Apanya yang aneh? Bukankah masuk akal seorang sahabat mentraktir temannya makan? Tapi apa yang saya alami, tolong-menolong lebih “nggak masuk akal”. Karena kami sama sekali tak kenal dengan bapak yang memberi kami masakan itu. Teman bukan, saudara bukan. Jadi, mau beralasan apa lagi jikalau rezeki yang kami sanggup sore itu hanyalah sebuah kebetulan?

Ini tentu buah dari sedekah kami, entah yang mana. Seperti pernah ditulis seorang sahabat dalam note Facebooknya, “Mana mungkin Tuhan lupa membalas?” Mungkin ini akibat atas kengototan suamiku menyajikan hidangan terbaik ketika rumah kami menerima giliran daerah taklim, padahal keuangan kami ketika itu tengah pas-pasan. Atau kebaikan kecil lain yang pernah kami lakukan, dan telah kami lupakan saking kecilnya, entahlah!

( Oleh: Bunda Raihan )

Related Posts

Post a Comment