Report Abuse

Stats

Comment

Penentuan Awal Puasa Dan Iedul Fitri

Post a Comment
Penentuan Awal Puasa dan Iedul Fitri

Penentuan Awal Puasa dan Iedul Fithri
Awal puasa ditentukan dengan tiga cara:

1. Ru’yah hilal (melihat bulan sabit pertama).
2. Persaksian atau kabar wacana ru’yah hilal.
3. Menyempurnakan bilangan hari bulan Sya’ban.

Tiga hal ini diambil dari hadits-hadits dibawah ini:

1. Hadits dari Abi Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Berpuasalah kalian alasannya yaitu melihatnya (hilal bulan Ramadhan) dan berbukalah alasannya yaitu melihatnya (hilal bulan Syawal). Jika (penglihatan) kalian terhalang awan, maka sempurnakanlah Sya’ban tiga puluh hari.” (HSR. Bukhari 4/106, dan Muslim 1081)

2. Hadits dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari kecuali seseorang diantara kalian yang biasa berpuasa (sunnat) pada waktu itu. Dan janganlah kalian berbuka hingga melihatnya (hilal Syawal). Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari lalu berbukalah (Iedul Fithri) dan satu bulan itu 29 hari.” (HR. Abu Dawud 2327, An-Nasa’I 1/302, At-Tirmidzi 1/133, Al-Hakim 1/425, dan di-Shahih-kan sanadnya oleh Al-Hakim dan disetujui oleh Adz-Dzahabi)

3. Hadits dari ‘Adi bin Hatim radhiallahu ‘anhu: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila tiba bulan Ramadhan, maka berpuasalah 30 hari kecuali sebelum itu kalian melihat hilal.” (HR. At-Thahawi dalam Musykilul Atsar 105, Ahmad 4/377, Ath-Thabrani dalam Al-Kabir 17/171 dan lain-lain)

4. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Puasalah alasannya yaitu melihatnya (hilal) dan berbukalah alasannya yaitu melihatnya. Jika awan menghalangi kalian sempurnakanlah tiga puluh hari. Jika dua orang saksi mempersaksikan (mengaku melihat hilal) maka berpuasalah dan berbukalah kalian karenanya.” (HR. An-Nasa’I 4/132, Ahmad 4/321, Ad-Daruquthni, 2/167, dari Abdurrahman bin Zaid bin Al-Khattab dari sahabat-sahabat Rasulullah, sanadnya Hasan. Demikian keterangan Syaikh Salim Al-Hilali serta Syaikh Ali Hasan. Lihat Shifatus Shaum Nabi, hal. 29)

Hadits-hadits semisal itu diantaranya dari Aisyah, Ibnu Umar, Thalhah bin Ali, Jabir bin Abdillah, Hudzaifah dan lain-lain radliallahu ‘anhum. Syaikh Al-Albani membawakan riwayat-riwayat mereka serta takhrij-nya dalam Irwa’ul Ghalil hadits ke 109.

Isi dan makna hadits-hadits diatas menunjukkan bahwa awal bulan berkat dan Iedul Fithri ditetapkan dengan tiga masalah diatas. Tentang persaksian atau kabar dari seseorang berdalil dengan hadits yang keempat dengan syarat pembawa gosip yaitu orang Islam yang adil (dapat dipercaya alasannya yaitu kelurusan perilakunya dan pengetahuannya), sebagaimana tertera dalam riwayat Ahmad dan Daraquthni. Sama saja saksinya dua orang atau satu orang, sebagaimana telah dinyatakan oleh Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma ketika dia berkata: “Manusia sedang melihat-lihat (munculnya) hilal. Aku beritahukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa saya melihatnya. Maka dia berpuasa dan memerintahkan insan untuk berpuasa.” (HR. Abu Dawud 2342, Ad-Darimi 2/4, Ibnu Hibban 871, Al-Hakim 1/423 dan Al-Baihaqi, sanadnya Shahih sebagaimana diterangkan oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam At-Talkhisul Kabir 2/187)

Perbedaan Mathla’ (Tempat Muncul Hilal)


Hadits-hadits diatas menunjukan dengan terperinci bahwa dalam mengetahui masuk dan berakhirnya bulan berkat yaitu dengan ru’yah hilal (melihat bulan sabit pertama), bukan dengan hisab (perhitungan kalender). Dan konteks kalimatnya kepada semua kaum muslimin (di seluruh daerah dan negeri) bukan hanya kepada satu negeri atau kampung tertentu.

Maka, bagaimana cara mengkompromikan hadits-hadits diatas dengan hadits Kuraib atau hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhum yang berbunyi: “Kuraib mengabarkan bahwa Ummu Fadhl bintul Harits mengutusnya kepada Muawiyyah di Syam. Kuraib berkata: "Aku hingga di Syam lalu saya memenuhi keperluannya dan diumumkan wacana hilal Ramadhan, sedangkan saya masih berada di Syam. Kami melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian saya tiba di Madinah pada final bulan. Maka Ibnu Abbas bertanya kepadaku lalu dia sebutkan wacana hilal : "Kapan kau melihat Hilal?" Akupun menjawab: "Aku melihatnya pada malam Jum’at." Beliau bertanya lagi: "Engkau melihatnya pada malam Jum’at?" Aku menjawab: "Ya, orang-orang melihatnya dan merekapun berpuasa, begitu pula Muawiyyah." Dia berkata: "Kami melihatnya pada malam Sabtu, kami akan berpuasa menyempurnakan tiga puluh hari atau kami melihatnya (hilal)." Aku bertanya: "Tidakkah cukup bagimu ru'yah dan puasa Muawiyyah?" Beliau menjawab: "Tidak! Begitulah Rasulullah memerintahkan kami.” (HR. Muslim 1087, At-Tirmidzi 647 dan Abu Dawud 1021. Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi di-Shahih-kan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi 1/213)

Dalam hadits Kuraib diatas dan hadits-hadits sebelumnya para ulama berselisih pendapat. Perselisihan ini disebutkan dalam Fathul Bari Juz. 4 hal. 147. Ibnu Hajar berkata: Para Ulama berbeda pendapat wacana hal ini atas beberapa pendapat :

Pendapat Pertama:

Setiap negeri memiliki ru’yah atau mathla’. Dalilnya dengan hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dalam Shahih Muslim. Ibnul Mundzir menceritakan hal ini dari Ikrimah, Al-Qasim Salim dan Ishak, At-Tirmidzi menyampaikan bahwa keterangan dari jago ilmu dan tidak menyatakan hal ini kecuali beliau. Al-Mawardi menyatakan bahwa pendapat ini yaitu salah satu pendapat madzab Syafi’i.

Pendapat Kedua:

Apabila suatu negeri melihat hilal, maka seluruh negeri harus mengikutinya. Pendapat ini masyhur dari kalangan madzhab Malikiyah. Tetapi Ibnu Abdil Barr menyampaikan bahwa ijma’ telah menyelisihinya. Beliau menyampaikan bahwa para ulama sepakat bahwa ru’yah tidak sama pada negara yang berjauhan menyerupai antara Khurasan (negara di Rusia) dan Andalus (negeri Spanyol).

Al-Qurthubi berkata bahwa para syaikh mereka telah menyatakan bahwa apabila hilal tampak terang disuatu tempat lalu diberitakan kepada yang lain dengan persaksian dua orang, maka hal itu mengharuskan mereka semua berpuasa

Sebagian pengikut madzhab Syafi’i beropini bahwa apabila negeri-negeri berdekatan, maka hukumnya satu dan kalau berjauhan ada dua: 1. Tidak wajib mengikuti, berdasarkan kebanyakan mereka. 2. Wajib mengikuti. Hal ini dipilih oleh Abu Thayib dan sekelompok ulama. Hal ini dikisahkan oleh Al-Baghawi dari Syafi’i.

Sedangkan dalam memilih jarak (jauh) ada beberapa pendapat:

    Dengan perbedaan mathla’. Ini ditegaskan oleh ulama Iraq dan dibenarkan oleh An-Nawawi dalam Ar-Raudlah dan Syarhul Muhadzab.
    Dengan jarak meng-qashar shalat. Hal ini ditegaskan Imam Al-Baghawi dan dibenarkan oleh Ar-Rafi’i dalam Ash-Shaghir dan An-Nawawi dalam Syarhul Muslim.
    Dengan perbedaan iklim.
    Pendapat As-Sarkhasi: “Keharusan ru’yah bagi setiap negeri yang tidak samar atas mereka hilal.”
    Pendapat Ibnul Majisyun: “Tidak harus berpuasa alasannya yaitu persaksian orang lain...” Berdalil dengan wajibnya puasa dan beriedul fithri bagi orang yang melihat hilal sendiri walaupun orang lain tidak berpuasa dengan beritanya.

Imam Syaukani menambahkan: “Tidak harus sama kalau berbeda dua arah, yakni tinggi dan rendah yang mengakibatkan salah satunya gampang melihat hilal dan yang lain sulit atau bagi setiap negeri memiliki iklim. Hal ini diceritakan oleh Al-Mahdi dalam Al-Bahr dari Imam Yahya dan Hadawiyah.”

Hujjah ucapan-ucapan diatas yaitu hadits Kuraib dan segi pengambilan dalil yaitu perbuatan Ibnu Abbas bahwa dia tidak bederma (berpuasa) dengan ru’yah penduduk Syam dan dia berkata pada final hadits : “Demikian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh kami.” Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma menghapal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa penduduk suatu negeri tidak harus bederma dengan ru’yah negeri lain. Demikian pendalilan mereka.

Adapun berdasarkan jumhur ulama yaitu tidak adanya perbedaan mathla’ (tempat munculnya hilal). Oleh alasannya yaitu itu kapan saja penduduk suatu negeri melihat hilal, maka wajib atas seluruh negeri berpuasa alasannya yaitu sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ”Puasalah kalian alasannya yaitu melihat hilal dan berbukalah alasannya yaitu melihatnya.” Ucapan ini umum meliputi seluruh ummat manusia. Makara siapa saja dari mereka melihat hilal dimanapun tempatnya, maka ru’yah itu berlaku bagi mereka semuanya.” (Fiqhus Sunah 1/368)

As-Shan’ani rahimahullah berkata, “Makna ucapan “karena melihatnya” yaitu apabila ru’yah didapati diantara kalian. Hal ini menunjukkan bahwa ru’yah pada suatu negeri yaitu ru’yah bagi semua penduduk negeri dan hukumnya wajib.” (Subulus Salam 2/310)

Imam As-Syaukani membantah pendapat-pendapat yang menyatakan bersama-sama ru’yah hilal berkaitan dengan jarak, iklim dan negeri dalam kitabnya Nailul Authar 4/195.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa berkata: “Orang-orang yang menyatakan bahwa ru’yah tidak dipakai bagi semuanya (negeri-negeri) menyerupai kebanyakan pengikut-pengikut madzhab Syafi’i, diantaranya mereka ada yang membatasi dengan jarak qashar shalat, ada yang membatasi dengan perbedaan mathla’ menyerupai Hijaz dengan Syam, Iraq dengan Khurasan, kedua-duanya lemah (dha’if) alasannya yaitu jarak qashar shalat tidak berkaitan dengan hilal...."

Apabila seseorang menyaksikan pada malam ke 30 bulan Sya’ban di suatu tempat, erat maupun jauh, maka wajib puasa. Demikian juga kalau menyaksikan hilal pada waktu siang menjelang maghrib maka harus imsak (berpuasa) untuk waktu yang tersisa, sama saja baik satu iklim atau banyak iklim.” (Majmu’ Fatawa Juz 25 hal 104-105)

Shidiq Hasan Khan berkata: “Apabila penduduk suatu negeri melihat hilal, maka seluruh negeri harus mengikutinya. Hal itu dari segi pengambilan dalil hadits-hadits yang terperinci mengenai puasa, yaitu “karena melihat hilal dan berbuka (iedul fithri) alasannya yaitu hilal” (Hadits Abu Hurairah dan lain-lain). Hadits-hadits tersebut berlaku untuk semua ummat, maka barangsiapa diantara mereka melihat hilal dimana saja tempatnya, jadilah ru’yah itu untuk semuanya ...” (Ar-Raudhah An-Nadiyah 1/146).

Bolehkah Ber-Iedul Fithri Sendiri Menyelisihi Kaum Muslimin?

Sekarang timbul permasalahan yaitu seseorang yang melihat hilal (bulan sabit awal Ramadhan atau awal Syawal) sendirian secara jelas, apakah dia harus beriedul fithri/berpuasa sendiri atau bersama manusia? Dalam permasalahan ini ada tiga pendapat, sebagaimana yang dirinci oleh Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa 25/114:

Pendapat Pertama: Wajib atasnya berpuasa (bila melihat hilal Ramadhan) dan ber’iedul fithri (bila melihat hilal Syawal) secara sembunyi-sembunyi. Inilah madzhab Syafi’i.

Pendapat Kedua: Dia harus berpuasa (bila melihat hilal Ramadhan) tetapi tidak ber’iedul fithri (bila melihat hilal Syawal) kecuali ketika bersama manusia. Pendapat ini masyhur dari madzhab Maliki dan Hanafi.

Pendapat Ketiga: Dia berpuasa dan ber’iedul fithri bersama manusia. Inilah pendapat yang paling terperinci alasannya yaitu sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (yang artinya): "Puasa kalian yaitu pada hari kalian semua berpuasa dan berbuka kalian (Iedul Fithri) yaitu pada hari kalian semua berbuka (tidak berpuasa) dan (Iedul) Adha kalian yaitu hari kalian berkurban." (HR. Tirmidzi 2/37 dan dia berkata “hadits gharib hasan”. Syaikh Al-Albani berkata: “Sanadnya jayyid (bagus) dan rawi-rawinya semuanya tsiqah (terpercaya). Lihat Silsilah Al-Hadits As-Shahihah 1/440). Demikian keterangan Syaikhul Islam.

Bertolak dari hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu diatas, para ulama pun berkomentar. Di antaranya Imam At-Tirmidzi berkata setelah membawakan hadits ini: "Sebagian ahlu ilmi (ulama) mentafsirkan hadits ini bahwa puasa dan Iedul Fithri bersama lebih banyak didominasi manusia."

Imam As-Shan’ani berkata: "Dalam hadits itu terdapat dalil bahwa hari Ied ditetapkan bersama manusia. Orang yang mengetahui hari Ied dengan ru’yah sendirian wajib baginya untuk mencocoki lainnya dan mengharuskan dia untuk mengikuti mereka didalam shalat Iedul Fithri dan Iedul Adha." (Subulus Salam 2/72)

Abul Hasan As-Sindi setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah pada riwayat Tirmidzi, berkata dalam Shahih Ibnu Majah: “Yang terperinci maknanya yaitu bahwa perkara-perkara (berpuasa dan berhari raya) ini bukan untuk perorangan, tidak boleh bersendirian dalam hal itu. Perkaranya tetap diserahkan kepada imam dan jamaah. Atas dasar ini, kalau seseorang melihat hilal sedangkan imam menolak persaksiannya, maka seharusnya tidak diakui dan wajib atasnya untuk mengikuti jamaah pada yang demikian itu.”

Syaikh Al-Albani menegaskan: “Makna inilah yang terambil dari hadits tersebut. Diperkuat makna ini dengan hujjah Aisyah terhadap Masruq melarang puasa pada hari Arafah alasannya yaitu khawatir pada dikala itu hari nahr (10 Dzulhijah). Aisyah menunjukan kepadanya bahwa pendapatnya tidak dianggap dan wajib atasnya untuk mengikuti jama’ah. Aisyah berkata: “Nahr (Iedul Adha) yaitu hari orang-orang menyembelih kurban dan Iedul Fithri yaitu hari orang-orang berbuka.” (Silsilah Al-Hadits As-Shahihah 1/443-444)

Akan tetapi kalau seseorang tinggal disuatu tempat yang tidak ada orang kecuali dia, apabila ia melihat hilal, maka wajib berpuasa alasannya yaitu dia sendirian di sana. Sebagaimana perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa 25/117.

Terkadang seorang Imam meremehkan ketika disampaikan penetapan hilal dengan menolak persaksian orang yang adil, sanggup jadi alasannya yaitu tidak mau membahas wacana keadilannya atau alasannya yaitu politik dan sebagainya dari alasan-alasan yang tidak syar’i, maka bagaimana hukumnya?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam hal ini mengatakan: “Apa yang sudah menjadi ketetapan sebuah aturan tidak berbeda keadaannya pada orang yang diikuti dalam ru’yah hilal. Sama saja dia seorang mujtahid yang benar atau salah, atau melampaui batas. Tentang persoalan apabila hilal tidak tampak dan tidak diumumkan padahal insan sangat bersemangat mencarinya telah tersebut dalam As-Shahihah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda wacana para imam: "Mereka (para imam) shalat bersama kalian, kalau mereka benar maka pahala bagi kalian dan mereka, dan kalau salah maka pahala bagi kalian dan dosa atas mereka.” Maka kesalahan dan pelampauan batas yaitu tanggung jawab mereka bukan tanggung jawab kaum muslimin yang tidak salah dan tidak melampaui batas.” (Majmu’ Fatawa, 25/206)

Jika timbul pertanyaan bagaimana aturan puasa pada hari mendung, pada dikala hilal terhalang oleh awan sedangkan pada waktu itu malam yang ke 30 dari bulan Sya’ban?

Dalam permasalahan ini, Abdullah bin Abdurrahman Ali Bassam menunjukan dalam kitab dia Taudlihul Ahkam 1/139 sebagai berikut: “Pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Ahmad yaitu wajib puasa pada waktu itu. Pengikut-pengikut dia membela madzhabnya dan membantah hujjah orang yang menyelisihinya. Pendapat ini berdalil dengan hadits Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma yang ada dalam Shahihain bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Apabila kalian melihat hilal (Ramadhan), maka puasalah dan apabila melihatnya (hilal Syawal) maka berbukalah. Jika mendung atas kalian maka kira-kirakanlah.” Dengan persempit bulan Sya’ban menjadi 29 hari.

Sedangkan Imam Malik, Syafi’I dan Hanafi beropini bahwa tidak disyari’atkannya puasa pada waktu itu, alasannya yaitu pada waktu itu yaitu waktu keraguan yang tidak boleh puasa padanya. Mereka berdalil dengan hadits Ammar yang diriwayatkan oleh Ashabus Sunan: “Barang siapa berpuasa pada hari yang diragukan, maka dia sungguh telah bermaksiat kepada Abul Qasim (Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam).” Pendapat inilah pendapat Imam Ahmad yang sebenarnya.

Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughni bahwa riwayat dari Imam Ahmad menyatakan bahwa pada waktu itu puasa tidak wajib dan kalau dia puasa, maka tidak dianggap puasa Ramadhan. Inilah pendapat kebanyakan ahlul ilmi (ulama).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan : “Tidak berpuasa (pada dikala itu) yaitu madzhab Imam Ahmad. Imam Ahmad juga menyampaikan bahwa berpuasa pada hari yang diragukan yaitu mendahului Ramadhan dengan puasa satu hari. Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang hal itu. Yang masih diragukan yaitu wacana wajibnya berpuasa pada hari itu, padahal tidak wajib dilakukan bahkan yang disunnahkan yaitu meninggalkannya …. Kalau dikatakan boleh dua perkara, maka sunnah untuk berbuka itu lebih utama.”

Beliau (Ibnu Taimiyyah) berkata dalam Al-Furu: “Aku tidak mendapat dari Ahmad bahwa dia menegaskan wajibnya dan memerintahkannya, maka janganlah (pendapat diatas) dinisbatkan (dihubungkan) kepadanya.”

Syaikh Muhammad bin Hasan berkata: “Tidak diragukan lagi bahwa para peneliti dari kalangan madzhab Hambali dan selainnya beropini wacana tidak wajibnya berpuasa bahkan dimakruhkan atau diharamkan.”

Syaikh Abdul Lathief bin Ibrahim barkata bahwa orang yang melarang puasa (pada waktu diatas) memiliki hujjah hadits-hadits, diantaranya hadits Ammar: “Tidak boleh puasa pada waktu ragu.” At-Tirmidzi menyampaikan bahwa berdasarkan hadits ini para ulama dari kalangan shahabat dan tabi’in beramal.” Demikian klarifikasi Syaikh Ali Bassam.

Dari keterangan diatas menunjukkan bahwa malam ke-30 dari bulan Sya’ban apabila tidak terlihat hilal alasannya yaitu terhalang oleh awan dan selainnya yaitu waktu yang diragukan padanya puasa. Oleh alasannya yaitu itu Imam As-Shan’ani menegaskan: “Ketahuilah bahwa hari yang diragukan yaitu hari ke 30 dari bulan Sya’ban apabila tidak terlihat hilal pada malam itu, alasannya yaitu ada awan yang menghalangi atau selainnya. Bisa jadi dikala itu bulan Ramadhan atau Sya’ban. Dan makna hadits Ammar dan selainnya menunjukkan atas haramnya puasa (pada dikala itu).” (Subulus Salam 2/308)

Kalau sudah terperinci bahwa hari yang diragukan, maka tidak sepantasnya bagi seorang muslim untuk berpuasa sebelum Ramadhan satu atau dua hari dengan alasan ihtiyath (berhati-hati) kecuali kalau hari itu bertepatan dengan hari puasa (yang biasa ia lakukan).

Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kalian dahului Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari, kecuali orang yang biasa berpuasa (sunnat bertepatan pada hari itu), maka puasalah.” (HR. Muslim)

Shilah bin Zufar dari Amar berkata: “Barangsiapa berpuasa pada hari yang diragukan, maka sungguh dia telah bermaksiat kepada Abul Qasim shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Lihat Shifatus Shaum Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karya Syaikh Ali Hasan dan Syaikh Salim Al-Hilali hal.28).

Hukum Hilal Yang Diketahui Pada Akhir Siang

Dari Umair bin Anas bin Malik dari pamannya dari kalangan shahabat bersama-sama ada sekelompok pengendara datang. Mereka mempersaksikan bahwa telah melihat hilal kemarin. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan mereka untuk berbuka (Iedul Fithri) dan pergi pagi-pagi ke tanah lapang keesokan harinya. (HR. Ahmad dan Abu Dawud, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Sunan Tirmidzi 1/214, hadits ke 1026).

Hadits ini sebagai dalil bagi orang yang berkata bersama-sama shalat Ied boleh dilakukan pada hari kedua, apabila tidak terperinci waktu Ied kecuali setelah keluar waktu shalatnya. Pendapat ini yaitu pendapat Al-Auza’I, At-Tsauri, Ahmad, Ishaq, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad, Syafi’i, dan lain-lain. Dhahir hadits diatas menunjukkan bahwa shalat pada hari yang kedua itu yaitu penunaian bukan qadla.” Demikian keterangan Imam Asy-Syaukani dalam Nailul Authar 3/310.

Imam As-Shan’ani menyatakan: “Hadits diatas sebagai dalil bahwa shalat Ied dilaksanakan hari kedua tatkala waktu Ied diketahui dengan terperinci setelah keluar (habis) waktu shalat (ied).” (Subulus Salam 2/133)

Demikian keterangan para ulama wacana persoalan diatas yang menunjukkan bolehnya shalat Iedul Fithri pada hari kedua. Semoga goresan pena yang diambil dari kitab-kitab para ulama ini bermanfaat bagi kita. Kesempurnaan itu hanya mutlak milik Allah Ta’ala sedangkan makhluk tempat khilaf dan kekurangan. Wallahu a’lam bisshawab.

Related Posts

Post a Comment