Anak yaitu anugerah dari Allah bagi setiap keluarga. Setiap orang berkeluarga menginginkan adanya keberadaan anak. Bahkan, keberadaan anak di anggap sebagai pelengkap kebahagiaan sebuah keluarga.sehingga masuk akal setiap orang sangat menginginkan diberi karunia ini.
Namun sesudah memiliki anak, tidak jarang ada keluarga yang tidak menemukan kebahagiaan. Justru sebaliknya, banyak problem yang muncul sesudah adanya anak. Terkadang, ada anak yang menjadi ujian bagi keluarga untuk memperoleh kebahagiaan. Bahkan, ada juga anak yang disebut sebagai musuh bagi keluarga sehingga menjauhkan keluarga tersebut dari Allah.
Pada postingan kali ini, aku akan mengetengahkan pembahasan wacana tipologi anak dalam al-Qur’an.
Pengertian Anak
Dalam al-Qur’an, anak diistilahkan dengan banyak sekali kata sesuai dengan maksud yang ditujunya. Paling tidak, ada beberapa istilah yaitu al-waladu, al-thiflu, al-shabiyyu dan al-ibnu.
Al-Raghib al-Ashfahaniy mendefinisikan al-walad dengan al-maulûd (yang dilahirkan). Dari kata ini muncul istilah untuk Bapak dengan sebutan wâlid, Ibu wâlidah dan kedua orang renta disebut wâlidani.[1] Maka dalam pengertian ini, anak yaitu setiap orang yang terlahir ke dunia. Ketika belum lahir, belum disebut anak. Atau dalam bahasa lain, anak dengan istilah ini yaitu anak secara umum.
Adapun istilah al-thiflu diartikan dengan al-waladu mâ dâma nâiman (anak yang belum dewasa).[2] Dalam pengertian ini, anak yaitu setiap orang yang belum dewasa. Istilah yang hampir sama dengan istilah al-thiflu yaitu al-shabiyyu. Istilah al-shabiyyu digunakan untuk sebutan bagi setiap orang yang belum dewasa, dalam hal ini ditandai dengan mimpi berair (man lam yablugh al-huluma).[3]
Sedangkan istilah al-ibn berasal dari kata banâ (membuat/ membangun, menopang/ membentuk). Penggunaan istilah ini berarti bahwa anak dibentuk/ dibangun/ ditopang/ dibuat oleh ayahnya. Dari istilah ini juga dipakaikan secara umum bahwa setiap anak yang diberi pelengkap dengan sesuatu seperti ia berasal/berdasakan kepada hal itu. Contoh anak kampung (anak yang berasal dari kampung), anak sekolah (anak yang dididik di sekolah), anak Minang (anak yang berasal dari suku Minang), anak jalanan (anak yang hidup di jalanan) dan banyak teladan lain terkait ini.[4]
Istilah pertama mengacu kepada pengertian bahwa anak yaitu setiap insan yang terlahir ke dunia melalui proses kelahiran/ persalinan. Dalah hal ini adanya anak disebut juga lantaran adanya orang tua. Sedangkan istilah kedua dan ketiga mengacu kepada anak dalam kapasitas aturan yang dikaitkan dengan jangka waktu tertentu. Inilah yang disebut dengan masa belum dewasa atau masa kanak-kanak. Sedangkan istilah keempat mengacu kepada pengertian anak saat dikaitkan kapasitasnya kepada orang renta baik dari segi keberadaannya, maupun tanggung jawab dan kewajiban orang renta terhadapnya.
Anak sebagai perhiasan orang tua
Firman Allah
Namun sesudah memiliki anak, tidak jarang ada keluarga yang tidak menemukan kebahagiaan. Justru sebaliknya, banyak problem yang muncul sesudah adanya anak. Terkadang, ada anak yang menjadi ujian bagi keluarga untuk memperoleh kebahagiaan. Bahkan, ada juga anak yang disebut sebagai musuh bagi keluarga sehingga menjauhkan keluarga tersebut dari Allah.
Pada postingan kali ini, aku akan mengetengahkan pembahasan wacana tipologi anak dalam al-Qur’an.
Pengertian Anak
Dalam al-Qur’an, anak diistilahkan dengan banyak sekali kata sesuai dengan maksud yang ditujunya. Paling tidak, ada beberapa istilah yaitu al-waladu, al-thiflu, al-shabiyyu dan al-ibnu.
Al-Raghib al-Ashfahaniy mendefinisikan al-walad dengan al-maulûd (yang dilahirkan). Dari kata ini muncul istilah untuk Bapak dengan sebutan wâlid, Ibu wâlidah dan kedua orang renta disebut wâlidani.[1] Maka dalam pengertian ini, anak yaitu setiap orang yang terlahir ke dunia. Ketika belum lahir, belum disebut anak. Atau dalam bahasa lain, anak dengan istilah ini yaitu anak secara umum.
Adapun istilah al-thiflu diartikan dengan al-waladu mâ dâma nâiman (anak yang belum dewasa).[2] Dalam pengertian ini, anak yaitu setiap orang yang belum dewasa. Istilah yang hampir sama dengan istilah al-thiflu yaitu al-shabiyyu. Istilah al-shabiyyu digunakan untuk sebutan bagi setiap orang yang belum dewasa, dalam hal ini ditandai dengan mimpi berair (man lam yablugh al-huluma).[3]
Sedangkan istilah al-ibn berasal dari kata banâ (membuat/ membangun, menopang/ membentuk). Penggunaan istilah ini berarti bahwa anak dibentuk/ dibangun/ ditopang/ dibuat oleh ayahnya. Dari istilah ini juga dipakaikan secara umum bahwa setiap anak yang diberi pelengkap dengan sesuatu seperti ia berasal/berdasakan kepada hal itu. Contoh anak kampung (anak yang berasal dari kampung), anak sekolah (anak yang dididik di sekolah), anak Minang (anak yang berasal dari suku Minang), anak jalanan (anak yang hidup di jalanan) dan banyak teladan lain terkait ini.[4]
Istilah pertama mengacu kepada pengertian bahwa anak yaitu setiap insan yang terlahir ke dunia melalui proses kelahiran/ persalinan. Dalah hal ini adanya anak disebut juga lantaran adanya orang tua. Sedangkan istilah kedua dan ketiga mengacu kepada anak dalam kapasitas aturan yang dikaitkan dengan jangka waktu tertentu. Inilah yang disebut dengan masa belum dewasa atau masa kanak-kanak. Sedangkan istilah keempat mengacu kepada pengertian anak saat dikaitkan kapasitasnya kepada orang renta baik dari segi keberadaannya, maupun tanggung jawab dan kewajiban orang renta terhadapnya.
Anak sebagai perhiasan orang tua
Firman Allah
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا
Harta dan belum dewasa yaitu perhiasan kehidupan dunia, namun amal yang baka dan sholih yaitu lebih baik pahalanya disisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi impian (Q.S. al-Kahfi/ 18: 46). وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
Dan orang-orang yang berdo’a “Wahai Tuhan kami!, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa” (Q.S. al-Furqân/ 25: 74) Ayat pertama dengan terang menyebutkan bahwa keberadaan anak yaitu sebagai perhiasan bagi orang tua. Lebih lanjut ayat kedua menyebutnya dengan istilah qurrata a’yun (permata hati sibiran tulang). Pada ayat kedua disebutkan bahwa di antara sifat langsung “ibadurahman” yaitu orang yang berdo’a semoga diberi permata hati baik berbentuk isteri maupun anak.
Pada ayat pertama anak diistilahkan oleh al-Qur`an dengan al-banûn, bentuk plural dari al-ibn. Jika mengacu kepada pengertian al-ibn di atas, maka dipahami bahwa anak yang menjadi perhiasan bagi orang renta perlu dibina, dibuat dan diusahakan oleh orang tua. Jadi, setiap orang renta mesti berusaha dan berdo’a semoga diberi anak yang sanggup menjadi perhiasan hidupnya.
Anak sebagai cobaan atau ujian
Firman Allah
Pada ayat pertama anak diistilahkan oleh al-Qur`an dengan al-banûn, bentuk plural dari al-ibn. Jika mengacu kepada pengertian al-ibn di atas, maka dipahami bahwa anak yang menjadi perhiasan bagi orang renta perlu dibina, dibuat dan diusahakan oleh orang tua. Jadi, setiap orang renta mesti berusaha dan berdo’a semoga diberi anak yang sanggup menjadi perhiasan hidupnya.
Anak sebagai cobaan atau ujian
Firman Allah
وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan bekerjsama di sisi Allah-lah pahala yang besar. (Q.S.al-Anfâl/ 8:28) إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar. (Q.S. al-Thaghâbun/ 64: 15)Kedua ayat di atas menyebut bahwa anak—dan juga harta—adalah “fitnah” bagi keluarga. Kata fitnah di sini dalam arti ujian.[5] Kata anak dalam ayat di atas memakai kata awlâd sebagai bentuk plural dari kata walad. Maka dalam hal ini, dipahami bahwa setiap anak intinya yaitu ujian bagi kedua orang tuanya.
Di samping sebagai anugerah, al-Qur`an juga menyebut anak sebagai ujian bagi orang yang beriman. Maka dalam hal ini, perilaku yang dituntut bagi setiap orang renta yaitu semoga tabah dan tabah dalam menghadapi ujian ini layaknya perilaku yang dituntut dalam nikmat dan karunia Allah yang lainnya. Tabah dan tabah itu lahir dari keimanan kepada Allah. Karena pada hakikatnya semua yang diberikan Allah yaitu ujian bagi setiap manusia. Orang kaya diuji dengan harta yang berlimpah, sedangkan orang miskin diuji dengan tidak punya harta. Orang bakir juga diuji dengan ilmunya, sebagaimana orang yang tidak bakir juga diuji dengan kebodohannya.
Anak menjadi musuh
Firman Allah
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Hai orang-orang mukmin, bekerjsama di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kau terhadap mereka dan kalau kau memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka bekerjsama Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. al-Thaghâbun/ 64: 14)Menurut ayat di atas, orang renta dituntut berhati-hati dan waspada terhadap anaknya lantaran sebagian anak—sebagaimana isteri—juga sanggup menjadi musuh orang tua. Ayat di atas memang tidak menyebutkan semua anak, tetapi sebagian di antara anak. Artinya, dituntut kiprah ekstra orang tua, terutama sang ayah—agar anaknya tidak menjadi musuh yang menghalanginya dari menjalankan tugasnya kepada Tuhan baik untuk beribadah mapun kiprah kemasyarakatan (khalifah) di dunia. Jika orang renta keliru dan salah dalam mendidik anak-anaknya, maka anak tersebut sanggup menjadi musuh bagi orang tuanya.
Di antara solusi
Dari beberapa klarifikasi di atas disimpulkan bahwa anak yaitu anugerah bagi setiap keluarga. Anugerah anak biasanya menjadi perhiasan bagi orang tua. Namun, ada kalanya anak justru jadi ujian bagi orang tua. Jangan hingga keberadaan anak justru menjadi musuh bagi orang renta yang akan menjauhkan orang renta dari Tuhan dan hingga menyeret orang renta ke neraka.
Oleh lantaran itu setiap orang renta yang beriman, terutama ayah, dibebani kewajiban untuk menjaga diri dan keluarganya semoga tidak masuk neraka (Q.S. al-Tahrîm/ 66: 6). Orang renta yang tidak sanggup mendidik anaknya dengan baik akan diseret ke neraka disebabkan anaknya. Jangan hingga anak melalaikan kita kewajiban kepada Allah. (Q.S. al-Munâfiqûn/ 63: 9).
Solusinya, mulailah pendidikan dari rumah. Semenjak usia dini berikan pendidikan kepada anak baik pendidikan akidah, ibadah maupun akhlak. Akidah yaitu dasar yang membentengi anak semoga punya keyakinan dan kesadaran ke-Tuhan-an. Ibadah yaitu manifestasi dari keyakinan yang diwujudkan dalam bentuk dedikasi kepada Allah. Pendidikan budbahasa diberikan semenjak dini semoga membentengi anak dari kemungkinan terseret oleh aspek eksteren yang tiba dari lingkungan.
Bagi yang belum berkeluarga, pendidikan anak itu dimulai dengan pemilihan bobot dan bibit yang baik. Agama menyuruh mengutamakan aspek keagamaan dalam menentukan pasangan, tidak mengutamakan aspek materi, keturunan atau kecantikan. Tiga aspek ini hanya sementara. Sedangkan pengharusutamaan aspek agama semoga lebih gampang dalam membina dan membentuk keluarga yang sanggup mengantarkan ke surge, bukan malah menyeret ke neraka.
Semoga anugerah anak yang kita terima sanggup menghantarkan kita ke surga. Amin
Wallahu a’lam.
Catatan Kaki
[1] Abû al-Qâsim al-Husain bin Muhammad, (yang lebih terkenal dengan nama al-Râghîb al-Ashfahânî dan selanjutnya ditulis al-Ashfahânî), Mufradât Alfâzu al-Qur`ân, (Damaskus: Dâr al-Qalam), 2009, cet. ke-4, h. 883.
[2] Ibid., h. 521.
[3] Ibid., h. 475.
[4] Lihat ibid., h. 147.
[5] Makna dasar fitnah yaitu memasukkan emas ke dalam api semoga tampak kilaunya. Kemudian kata ini digunakan untuk setiap hal yang sanggup menghantarkan insan semoga masuk ke dalam neraka. Dalam penerapannya, al-Qur`an memakai kata ini untuk makna azab, cobaan , dan ujian. Lihat ibid., h. 623.
Bagi yang belum berkeluarga, pendidikan anak itu dimulai dengan pemilihan bobot dan bibit yang baik. Agama menyuruh mengutamakan aspek keagamaan dalam menentukan pasangan, tidak mengutamakan aspek materi, keturunan atau kecantikan. Tiga aspek ini hanya sementara. Sedangkan pengharusutamaan aspek agama semoga lebih gampang dalam membina dan membentuk keluarga yang sanggup mengantarkan ke surge, bukan malah menyeret ke neraka.
Semoga anugerah anak yang kita terima sanggup menghantarkan kita ke surga. Amin
Wallahu a’lam.
Catatan Kaki
[1] Abû al-Qâsim al-Husain bin Muhammad, (yang lebih terkenal dengan nama al-Râghîb al-Ashfahânî dan selanjutnya ditulis al-Ashfahânî), Mufradât Alfâzu al-Qur`ân, (Damaskus: Dâr al-Qalam), 2009, cet. ke-4, h. 883.
[2] Ibid., h. 521.
[3] Ibid., h. 475.
[4] Lihat ibid., h. 147.
[5] Makna dasar fitnah yaitu memasukkan emas ke dalam api semoga tampak kilaunya. Kemudian kata ini digunakan untuk setiap hal yang sanggup menghantarkan insan semoga masuk ke dalam neraka. Dalam penerapannya, al-Qur`an memakai kata ini untuk makna azab, cobaan , dan ujian. Lihat ibid., h. 623.
Post a Comment
Post a Comment