Report Abuse

Stats

Comment

Dahsyatnya Rasa Sakit Sakratul Maut

Post a Comment




Keluarbiasaan rasa sakit dalam sakratul maut tak sanggup diceritakan dengan niscaya kecuali oleh orang yang pernah merasakannya. Ketika orang tertusuk duri ujung jari telunjukknya yang mencicipi sakit bukanlah tubuhnya tetapi jiwanya, demikian juga rasa sakit gigi yang mencicipi sakit yakni jiwanya.

Sakratul maut yakni saat kritis ruh ditarik dari jasad, pada ketika jiwa terlepas dari jasad, maka yang mencicipi sakit yakni jiwanya hingga jiwa itu lepas dari jasad.

Sakratul maut yakni ungkapan perihal rasa sakit yang menyerang inti jiwa dan menjalar keseluruh bab jiwa sehingga tidak ada lagi satu pun bab jiwa yang terbebas dari rasa sakit itu. Rasa sakit tertusuk duri, misalnya, menjalar pada bab jiwa yang terletak pada bab jiwa yang terletak pada anggota tubuh yang tertusuk duri.

Akan tetapi, rasa sakit yang dirasakan selama sakratul maut menghujam jiwa dan menyebar ke seluruh bab tubuh sehingga bab orang yang sedang sekarat mencicipi dirinya ditarik-tarik dan dicerabut dari setiap urat nadi, urat syaraf, persendian, dari setiap akar rambut dan mulai dari kulit kepala hingga ujung kaki. Jadi, janganlah ditanya betapa penderitaan dan rasa sakit yang tengah dialami oleh orang yang sedang sakratul maut.

Maut lebih menyakitkan daripada bacokan pedang, gergaji, atau sayatan gunting. Karena rasa sakit yang diakibatkan oleh bacokan pedang terjadi melalui asosiasi bab tubuh yang tertusuk dengan jiwa, maka betapa sangat sakitnya kalau luka itu dirasakan oleh jiwa itu sendiri. Orang yang ditusuk sanggup berteriak kesakitan alasannya yakni masih adanya tenaga di lidahnya.

Sedangkan bunyi dan jeritan orang yang sekarat terputus alasannya yakni rasa sakit yang amat sangat dan rasa sakit itu telah memuncak sehingga tenaga menjadi hilang, semua anggota tubuh melemah dan sama sekali tidak ada lagi daya untuk berteriak minta pertolongan.

Rasa sakit itu telah melumpuhkan akalnya, membungkam lidahnya, melemahkan semua raganya. Dia ingin sekali meratap, berteriak, dan menjerit meminta tolong, namun dia tak kuasa lagi melaksanakan itu. Satu-satunya tenaga yang masih tersisa hanyalah bunyi lenguhan dan gemertak yang terdengar pada ketika ruhnya dicabut.

Warna kulitnya juga berubah dan menjadi keabu-abuan ibarat tanah liat, tanah yang menjadi asal-usulnya jasad.

Setiap pembuluh darah dicerabut bersamaan dengan menyebarnya rasa pedih ke seluruh permukaan dan bab dalamnya sehingga bola matanya terbelalak ke atas kelopaknya, bibirnya tertarik ke belakang, lidahnya mengerut, kedua buah zakar naik, dan ujung jemari berubah warna menjadi hitam kehijauan, Keadaan semua itu akhir dari semua pembuluh darah tertarik dengan dicabutnya ruh, tercerabutnya pembuluh darah dan syaraf dari dalam tubuh hingga permukaan kulit.

Setelah itu, satu per satu anggota tubuhnya tidak berfungsi. Mula-mula telapak kakinya menjadi dingin, kemudian betis dan pahanya. Setiap anggota badannya mencicipi sekarat demi sekarat, penderitaan demi penderitaan, dan itu terus terjadi hingga ruhnya mencapai kerongkongan. Pada detik ini berhentilah perhatiannya pada dunia.

Pintu taubat telah ditutup dan dia pun diliputi oleh rasa murung dan penyesalan. Rasulullah saw. bersabda, ”Taubat seorang insan tetap diterima selama dia belum hingga pada sakratul maut.”

Suatu ketika Rasulullah saw. ditanya perihal pedihnya kematian. Dan dia saw. menjawab, ”Kematian yang paling gampang yakni serupa dengan sebatang pohon duri yang menancap di lembar kain sutra. Apakah batang pohon duri itu sanggup diambil tanpa membawa serta bab kain sutra yang terkoyak?”

Rasulullah saw. bersabda dalam penyaksiannya seorang sahabat yang mengalami sakratul maut, ”Aku tahu apa yang sedang dialaminya,. Tak ada satu pembuluh pun yang tidak mencicipi pedihnya derita kematian.”

Related Posts

Post a Comment