Sejarah insan telah dilewati oleh peradilan-peradilan besar, tetapi ada satu peradilan terbesar yang diketahui oleh sejarah, yaitu peradilan yang terjadi di kota Samarkand.Samarkand ialah sebuah kota besar, yang kini menjadi salah satu penggalan dari Republik Rusia (salah satu Propinsi di Uzbekistan), bersahabat dengan Cina. Penduduk Samarkand kala itu mempunyai pasukan yang kuat. Mereka ialah para penyembah berhala yang mereka buat sendiri dari bebatuan yang disemati dengan permata. Berhala-berhala itu ada pada kuil di puncak gunung. Dan kuil itu tergolong kuil khusus bagi para biarawan. Adapun selain mereka, maka mereka mempunyai kuil-kuil kecil yang tersebar d tengah Samarkand.Kala itu, yang menjadi khalifah ialah Umar bin ‘Abdil ‘Aziz rahimahullah , sedangkan panglima kaum muslimin ialah Qutaibah bin Muslim. Pasukannya ialah pasukan yang paling berpengaruh di dunia, dan info kekuatan pasukan tersebut telah hingga juga ke negeri Cina.
Pada tahun 87 H (705 M), pasukan kaum muslimin merangsek menuju Samarkand. Tatkala mereka telah hingga di tempat-tempat tinggi Samarkand, sang Panglima, Qutaibah bin Muslim memerintahkan pasukannya untuk bersembunyi di balik gunung semoga penduduk Samarkand tidak melihat pasukan kaum muslimin kemudian mempertahankan diri dari mereka. Kemudian kaum muslimin menyerang kota tersebut dengan seluruh batalyon pasukan dari balik gunung. Seakan-akan mereka ialah badai, sebab kedahsyatan dan kecepatannya. Tiba-tiba saja mereka telah berada di tengah kota Samarkand, menundukkannya seraya bertakbir menyebut asma Allah. Maka penduduk Samarkand tidak mempunyai kekuatan apapun kecuali harus mengalah total. Sementara para biarawan lari menuju kuil besar di puncak gunung, dan penduduk kota Samarkand bersembunyi di dalam rumah-rumah mereka. Mereka tidak keluar sebab takut terhadap kaum muslimin, dan suasana pun dikuasai kaum muslimin.
Karena takutnya penduduk Samarkand terhadap pasukan penakluk tersebut, mereka menyuruh belum dewasa kecil untuk mencari air dan makanan. Kaum muslimin tidak menghalangi mereka, bahkan mereka membantu belum dewasa tersebut dengan membawakan air serta makanan, kemudian belum dewasa itu masuk ke dalam rumah-rumah keluarganya dengan penuh kegembiraan seraya membawa masakan dan air.
Mulailah ketentraman dan ketenangan masuk ke dalam hati penduduk kota. Tidak beberapa usang sehabis itu, penduduk Samarkand kembali kepada tempat-tempat niaga, pertanian, dan milik mereka. Keberadaan semua itu menyerupai semula, tidak berkurang sedikitpun. Kemudian mulailah kehidupan normal berjalan antara kaum muslimin dan penduduk Samarkand dengan perniagaan. Mereka mendapati bahwa kaum muslimin ialah orang-orang yang terpercaya dalam niaga, tidak berdusta, tidak menipu dan tidak berbuat zhalim. Kekaguman itu semakin bertambah dengan adanya perselisihan antara dua orang, satu dari penduduk Samarkand dan yang lain dari kaum muslimin. Ketika keduanya pergi ke Qodhi (hakim), maka Qodhi itu pun memenangkan masalah itu untuk orang Samarkand.
Lalu sampailah info tersebut ke para rahib yang lari dan bersembunyi di kuil. Lalu mereka berkata,’Jika Qodhi mereka adil, maka pastilah khalifah mereka itu juga adil.’ Maka mereka mengutus salah seorang dari mereka untuk pergi menghadap khalifah kaum muslimin, Umar bin ‘Abdil ‘Aziz rahimahullah , kemudian mengabarkan kepada dia wacana apa yang terjadi terhadap mereka sebab pasukan kaum muslimin.
Lalu pergilah utusan mereka, seorang pemuda, hingga hingga di Damaskus dengan dada penuh rasa ketakutan. Saat dia melihat sebuah istana besar, dia berkata dalam hatinya,’Sesungguhnya ini ialah istana pemimpin mereka.’ Akan tetapi ketika dia melihat insan masuk dan keluar tanpa penghalang dan pengawasan, dia terdorong untuk masuk, kemudian dia pun masuk sementara dia tidak tahu bahwa tengah memasuki masjid Umawi yang disemati batu-batu mulia, dan hiasan-hiasan keIslaman, dan tempat-tempat adzan yang menjulang. Kemudian dia mendapati insan ruku’ dan sujud, kemudian dia perhatikan daerah yang indah tersebut, dimana dia lihat kaum muslimin berbaris lurus dan rapi. Dia tercengang, bagaimana jumlah besar ini berbaris dengan begitu cepatnya?
Setelah kaum muslimin selesai shalat, dia berdiri, kemudian menuju salah seorang muslim dan bertanya wacana istana Khalifah, ‘Di mana pemimpin kalian.’ Sang muslim menjawab, ‘Dia tadi yang shalat mengimami manusia, tidakkah kau melihatnya?’
Dia menjawab,’Tidak.’
Muslim itu berkata,’Bukankah Engkau tadi shalat bersama kami?’
Dia menjawab,’Apa itu shalat?’
Muslim itu bertanya,’Bukankah Engkau seorang muslim?’
Dia menjawab,’Tidak’
Muslim itu tersenyum kemudian bertanya lagi,’Apa agamamu?’
Dia menjawab,’Agamanya para dukun Samarkand.’
Muslim itu bertanya,’Apa agama mereka?’
Dia menjawab,’Mereka menyembah patung.’
Muslim itu berkata,’Kami kaum muslimin menyembah Allah ‘azza wa jalla, tidak menyekutukan-Nya dengan apapun.’
Orang muslim itu memperlihatkan arah rumah Amirul Mukminin (pemimpin orang-orang mukmin). Lalu cowok itu pergi berdasarkan instruksi tersebut. Dia mendapati sebuah rumah kuno dari tanah. Dan dia dapati ada seorang pria di sisi tembok tengah memperbaiki temboknya, sementara bajunya penuh dengan kotoran tanah. Maka dia kembali kepada orang muslim tadi di masjid seraya berkata,’Apakah kau mengejekku (mempermainkanku)? Aku bertanya kepadamu wacana pemimpin kalian, kemudian kau kirim saya kepada seorang fakir yang tengah memperbaiki tembok rumah?!’
Maka seorang muslim itu bangun bersama cowok tersebut hingga hingga ke rumah Khalifah Umar bin ‘Abdil ‘Aziz, Amirul Mukminin. Lalu orang muslim itu memperlihatkan isyarat,’Dialah sang pemimpin yang tengah memperbaiki tembok.’ Maka cowok itu berkata,’Janganlah kau mempermainkan saya dua kali.’
Berkatalah orang muslim itu,’Demi Allah, dialah Khalifah.’
Kagetlah sang pemuda, seraya teringat dukun-dukunnya yang sombong terhadap manusia. Di ketika dia terheran-heran sambil mengamati, datanglah seorang perempuan bersama putranya. Wanita itu meminta kepada Amirul Mukminin untuk menambah jatah sumbangan kepadanya dari baitul mal kaum muslimin, sebab anaknya banyak. Di ketika perempuan itu berbicara, anaknya bertengkar dengan anak Amirul Mukminin sebab suatu mainan. Lalu anaknya memukul kepala anak Amirul Mukminin, hingga darahpun mengalir dari kepalanya. Lantas istri Amirul Mukminin cepat-cepat mengambil putranya sambil berteriak keras kepada perempuan tersebut. Maka perempuan itu ketakutan sebab perbuatan putra kecilnya terhadap putra Amirul Mukminin.
Kemudian Amar bin ‘Abdil ‘Aziz masuk ke dalam rumah, kemudian membalut kepala putranya, kemudian keluar menemui perempuan itu seraya menenangkannya dari ketakutan, kemudian mengambil mainan dari putranya dan memberikannya kepada anak perempuan tersebut. Kemudian dia berkata,’Pergilah kepada bendahara, katakana kepadanya semoga dia menaikkan sumbangan kepadamu.’ Maka istri Amirul Mukminin berkata,’Putramu telah terpukul, kemudian engkau menaikkan harta jatah untuknya serta member hadiah mainan kepada putranya?’ Umar bin ‘Abdil ‘Aziz menjawab,’Engkau telah membuatnya takut, sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,’Siapa yang menciptakan seorang muslim ketakutan, maka Allah akan membuatnya ketakutan pada hari kiamat…’ Kemudian dia melanjutkan pembenahan tembok.
Pemuda Samarkand tersebut melihat pemandangan itu dengan sangat terheran-heran. Di sinilah dia berani untuk maju dengan langkah pelan menuju Umar bin ‘Abdil ‘Aziz seraya berkata ,’Anda pemimpin kaum muslimin?’
Sang Amir menjawab,’Ya, apa keperluanmu?’
Dia berkata,’Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya saya terzhalimi.’
Sang Amir pun berkata,’Atas siapa kau mengadukan perkara.’
Dia menjawab,’Atas Qutaibah bin Muslim.’
Maka Sang Amir tahu bahwa itu bukan pengaduan antara dua orang.
Maka cowok utusan itu meneruskan pengaduannya,’Paara dukun Samarkand telah mengutusku, dan mereka mengabarkan kepadaku bahwa di antara kebiasaan kalian ialah ketika kalian ingin membuka negeri manapun, kalian akan memperlihatkan kepada mereka tiga pilihan, kalian ajak mereka kepada Islam, atau membayar jizyah, atau perang.’
Sang Khalifah menjawab,’Ya dan termasuk hak negeri itu ialah menentukan satu di antara tiga pilihan tersebut.’
Pemuda itu berkata keheranan,’Dan bukan termasuk hak kalian untuk tetapkan (sepihak), mengagetkan, dan menyerang?!’
Sang Khalifah menjawab,’Ya, Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintah kami demikian, dan Rasul kami telah melarang kami dari kezhaliman.’
Pemuda itu berkata,’Adapun Qutaibah bin Muslim tidak melakukannya, bahkan dia dan pasukannya telah mengagetkan kami.’
Tatkala sang khalifah mendengar hal itu, dia tidak mengeluarkan perintah apapun. Bukan termasuk kebiasaannya mendengar hanya dari satu pihak. Dia harus meyakinkan hal itu.
Dia pun mengeluarkan satu kertas kecil, kemudian menulis dua baris kalimat, kemudian menutup dan menyetempelnya, kemudian berkata kepada cowok itu, ‘Kirimkan ini kepada Gubernur Samarkand, dia akan mengangkat kezhaliman dari dirimu.’
Pemuda itupun pergi dari Damaskus menuju Samarkand, dengan melintasi jarak jauh tersebut melalui padang pasir dan gunung-gunung, dengan berkata,’Kertas, apa yang sanggup dia lakukan di hadapan pasukan kaum muslimin?’ Saat dia hingga di Samarkand, dia beritakan apa yang terjadi kepada dukun. Maka mereka pun berkata kepadanya,’Berikan kertas itu kepada Gubernur.’ Maka cowok itu memberikannya kepada gubernur. Guberbur merasa asing dan heran dengan surat itu. Akan tetapi dia mengenal stempel Amirul Mukminin, maka dia pun meyakinkan dirinya bahwa surat itu benar dari Khalifah, kemudian membukanya. Dan ternyata yang tertulis di dalamnya adalah:
‘Dari Amirul Mukminin kepada Gubernur Samarkand. Assalamu’alaikum warahmatullahi wabaraktuhu. Angkatlah seorang hakim yang akan memperlihatkan peradilan antara dukun Samarkand dan Qutaibah bin Muslim, dan jadilah kau mengganti kedudukan Qutaibah.’
Maksud dari “jadilah kau mengganti kedudukan Qutaibah” ialah janganlah mengganggu Qutaibah yang sibuk melaksanakan penaklukan ke beberapa negeri. Dia sudah cukup sibuk, sebab itu wakililah dia.
Gubernur mengangkat seorang hakim dengan cepat. Akan tetapi sang hakim bersikeras untuk menghadirkan Qutaibah sebab perhatiannya terhadap keadilan, serta kekhawatirannya, bahwa ada kasus samar atas gubernur yang tidak mengetahuinya kecuali Qutaibah. Maka dia menentukan akad hingga Qutaibah sanggup hadir.
Kala itu Panglima Qutaibah bin Muslim telah menuntaskan perjalanannya, dan telah bersahabat dengan Cina untuk menaklukkannya. Kemudian datanglah perintah hakim, maka dia kembali sehabis menempuh perjalanan panjang. Saat para dukun itu mengetahui kedatangan Qutaibah, mereka mulai mengucurkan keringat. Sebelum Qutaibah masuk masjid yang di dalamnya akan diadakan peradilan, dia letakkan pedangnya dan menanggalkan sandalnya, kemudian berjalan menuju depan hakim, kemudian sang hakim berkata.’Duduklah kau di sisi penuntutmu.’
Peradilan pun di mulai:
Pembesar dukun bangun seraya berkata,’Sesungguhnya Qutaibah bin Muslim masuk ke negeri kami tanpa peringatan. Seluruh negeri telah dia beri peringatan dan pilihan, dakwah kepada Islam, atau membayar jizyah, atau perang, kecuali kami, dia menyerang kami tanpa peringatan.’
Maka hakim menoleh kepada Panglima Penakluk, Qutaibah bin Muslim seaya berkata,’Apa bantahanmu atas pengaduan ini?’
Berkatalah Qutaibah,’Mudah-mudahan Allah memperbaiki urusan sang hakim. Peperangan itu ialah tipu daya, negeri ini ialah negeri yang besar. Seluruh negeri sebelumnya melawan, mereka tidak ridha dengan jizyah dan tidak ridha dengan Islam. Seandainya kami memerangi mereka sehabis peringatan, maka mereka akan membunuh kami lebih banyak dari apa yang kami bunuh di tengah mereka. Dan alhamdulilah, dengan cara mengagetkan ini, kami telah melindungi kaum muslimin dari ancaman besar, sebagaimana juga akan menjadi gampang bagi kami untuk menaklukkan negeri-negeri setelahnya. Jika kami mengagetkan mereka, maka sesungguhnya kami telah menyelamatkan mereka dan memasukkan mereka ke dalam keselamatan.’
Sang hakim berkata,’Wahai Qutaibah, apakah kau telah mengajak mereka kepada Islam atau jizyah atau perang?’
Qutaibah menjawab,’Tidak, bahkan kami mengagetkan mereka sebab ancaman besar mereka.’
Berkatalah sang hakim,’Wahai Qutaibah, saya telah memutuskan, dan atasnya peradilan selesai. Wahai Qutaibah, tidaklah Allah subhanahu wa ta’ala menolong umat ini kecuali denga agama, menjauhi pengkhianatan, dan menegakkan keadilan. Demi Allah, tidaklah kita keluar dari rumah-rumah kita kecuali sebab berjihad di jalan Allah. Kita tidak keluar untuk menguasai bumi, dan menipu negeri kemudian berjaya di dalamnya tanpa hak.’
Kemudian sang hakim tetapkan perkara,’Aku tetapkan semoga seluruh pasukan kaum muslimin keluar dari negeri ini, dan mengembalikannya kepada penduduknya, serta memperlihatkan mereka kesempatan untuk berkemas-kemas perang, kemudian memperlihatkan mereka pilihan antara Islam, jizyah dan perang. Jika mereka menentukan perang, maka perang. Dan hendaknya seluruh kaum muslimin semuanya keluar dari Samarkand dengan berjalan kaki sebagaimana mereka memasukinya (yaitu tanpa hasil perniagaan) dan menyerahkan kota ini kepada penduduknya. Yang demikian itu demi melaksanakan syariat Allah subhanahu wa ta’ala dan sunnah Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam .’
Mulailah kaum muslimin keluar dari kota tersebut, bahkan sang hakim pun bangun dan keluar di hadapan pandangan para dukun.
Para dukun tidak mempercayai kasus tersebut, dan mereka merasa seolah-olah tengah berada dalam mimpi. Para penduduk Samarkand melihat kaum muslimin keluar dari kota hingga kota sunyi dari kaum muslimin semuanya.
Maka cowok utusan para dukun itu berakata,’Demi Allah, agama mereka benar-benar agama yang hak. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang hak selain Allah, dan bahwa Muhammad ialah utusan Allah.’
Tidak usang sehabis itu para dukun pun membaca kalimat syahadat (masuk Islam), kemudian seluruh penduduk Samarkand pun masuk Islam dan meminta kepada kaum muslimin untuk kembali ke kota seraya mengatakan,’Kalian ialah saudara-saudara kami.’
Itulah cerita peradilan terbesar yang diketahui oleh sejarah masa kemudian dan masa sekarang. Itu ialah satu lembar dari sekian banyak lembaran sejarah keIslaman kita yang menunjukan keadilan Islam dalam segala situasi, baik terhadap sesama muslim maupun kepada selain muslim. Itu ialah satu citra dari banyak citra keadilan Islam yang hilang dan dihilangkan dari kemanusiaan.
Jika ini ialah perlakuan kami terhadap selain jago kitab (Yahudi dan Nasrani) maka bagaimana pula perlakuan kami terhadap jago kitab yang Allah subhanahu wa ta'ala memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada mereka?! Jika ini ialah perlakuan kami kepada orang-orang yang dihentikan menikahinya, dan memakan sembelihan mereka, kemudian bagaimana perlakuan kami kepada orang yang halal wanitanya dan sembelihannya? Sesungguhnya keadilan Islam, dan toleransinya telah disembunyikan oleh gereja-gereja dan para pendeta, kemudian mereka menggambarkan Islam kepada para pengikutnya bahwa Islam ialah agama zhalim, garang, bengis, kejam, lagi buas. Akan tetapi dengan sedikit logika dan obyektifitas, insan akan hingga kepada hakikat sebenarnya, apapun agamanya.
Pada tahun 87 H (705 M), pasukan kaum muslimin merangsek menuju Samarkand. Tatkala mereka telah hingga di tempat-tempat tinggi Samarkand, sang Panglima, Qutaibah bin Muslim memerintahkan pasukannya untuk bersembunyi di balik gunung semoga penduduk Samarkand tidak melihat pasukan kaum muslimin kemudian mempertahankan diri dari mereka. Kemudian kaum muslimin menyerang kota tersebut dengan seluruh batalyon pasukan dari balik gunung. Seakan-akan mereka ialah badai, sebab kedahsyatan dan kecepatannya. Tiba-tiba saja mereka telah berada di tengah kota Samarkand, menundukkannya seraya bertakbir menyebut asma Allah. Maka penduduk Samarkand tidak mempunyai kekuatan apapun kecuali harus mengalah total. Sementara para biarawan lari menuju kuil besar di puncak gunung, dan penduduk kota Samarkand bersembunyi di dalam rumah-rumah mereka. Mereka tidak keluar sebab takut terhadap kaum muslimin, dan suasana pun dikuasai kaum muslimin.
Karena takutnya penduduk Samarkand terhadap pasukan penakluk tersebut, mereka menyuruh belum dewasa kecil untuk mencari air dan makanan. Kaum muslimin tidak menghalangi mereka, bahkan mereka membantu belum dewasa tersebut dengan membawakan air serta makanan, kemudian belum dewasa itu masuk ke dalam rumah-rumah keluarganya dengan penuh kegembiraan seraya membawa masakan dan air.
Mulailah ketentraman dan ketenangan masuk ke dalam hati penduduk kota. Tidak beberapa usang sehabis itu, penduduk Samarkand kembali kepada tempat-tempat niaga, pertanian, dan milik mereka. Keberadaan semua itu menyerupai semula, tidak berkurang sedikitpun. Kemudian mulailah kehidupan normal berjalan antara kaum muslimin dan penduduk Samarkand dengan perniagaan. Mereka mendapati bahwa kaum muslimin ialah orang-orang yang terpercaya dalam niaga, tidak berdusta, tidak menipu dan tidak berbuat zhalim. Kekaguman itu semakin bertambah dengan adanya perselisihan antara dua orang, satu dari penduduk Samarkand dan yang lain dari kaum muslimin. Ketika keduanya pergi ke Qodhi (hakim), maka Qodhi itu pun memenangkan masalah itu untuk orang Samarkand.
Lalu sampailah info tersebut ke para rahib yang lari dan bersembunyi di kuil. Lalu mereka berkata,’Jika Qodhi mereka adil, maka pastilah khalifah mereka itu juga adil.’ Maka mereka mengutus salah seorang dari mereka untuk pergi menghadap khalifah kaum muslimin, Umar bin ‘Abdil ‘Aziz rahimahullah , kemudian mengabarkan kepada dia wacana apa yang terjadi terhadap mereka sebab pasukan kaum muslimin.
Lalu pergilah utusan mereka, seorang pemuda, hingga hingga di Damaskus dengan dada penuh rasa ketakutan. Saat dia melihat sebuah istana besar, dia berkata dalam hatinya,’Sesungguhnya ini ialah istana pemimpin mereka.’ Akan tetapi ketika dia melihat insan masuk dan keluar tanpa penghalang dan pengawasan, dia terdorong untuk masuk, kemudian dia pun masuk sementara dia tidak tahu bahwa tengah memasuki masjid Umawi yang disemati batu-batu mulia, dan hiasan-hiasan keIslaman, dan tempat-tempat adzan yang menjulang. Kemudian dia mendapati insan ruku’ dan sujud, kemudian dia perhatikan daerah yang indah tersebut, dimana dia lihat kaum muslimin berbaris lurus dan rapi. Dia tercengang, bagaimana jumlah besar ini berbaris dengan begitu cepatnya?
Setelah kaum muslimin selesai shalat, dia berdiri, kemudian menuju salah seorang muslim dan bertanya wacana istana Khalifah, ‘Di mana pemimpin kalian.’ Sang muslim menjawab, ‘Dia tadi yang shalat mengimami manusia, tidakkah kau melihatnya?’
Dia menjawab,’Tidak.’
Muslim itu berkata,’Bukankah Engkau tadi shalat bersama kami?’
Dia menjawab,’Apa itu shalat?’
Muslim itu bertanya,’Bukankah Engkau seorang muslim?’
Dia menjawab,’Tidak’
Muslim itu tersenyum kemudian bertanya lagi,’Apa agamamu?’
Dia menjawab,’Agamanya para dukun Samarkand.’
Muslim itu bertanya,’Apa agama mereka?’
Dia menjawab,’Mereka menyembah patung.’
Muslim itu berkata,’Kami kaum muslimin menyembah Allah ‘azza wa jalla, tidak menyekutukan-Nya dengan apapun.’
Orang muslim itu memperlihatkan arah rumah Amirul Mukminin (pemimpin orang-orang mukmin). Lalu cowok itu pergi berdasarkan instruksi tersebut. Dia mendapati sebuah rumah kuno dari tanah. Dan dia dapati ada seorang pria di sisi tembok tengah memperbaiki temboknya, sementara bajunya penuh dengan kotoran tanah. Maka dia kembali kepada orang muslim tadi di masjid seraya berkata,’Apakah kau mengejekku (mempermainkanku)? Aku bertanya kepadamu wacana pemimpin kalian, kemudian kau kirim saya kepada seorang fakir yang tengah memperbaiki tembok rumah?!’
Maka seorang muslim itu bangun bersama cowok tersebut hingga hingga ke rumah Khalifah Umar bin ‘Abdil ‘Aziz, Amirul Mukminin. Lalu orang muslim itu memperlihatkan isyarat,’Dialah sang pemimpin yang tengah memperbaiki tembok.’ Maka cowok itu berkata,’Janganlah kau mempermainkan saya dua kali.’
Berkatalah orang muslim itu,’Demi Allah, dialah Khalifah.’
Kagetlah sang pemuda, seraya teringat dukun-dukunnya yang sombong terhadap manusia. Di ketika dia terheran-heran sambil mengamati, datanglah seorang perempuan bersama putranya. Wanita itu meminta kepada Amirul Mukminin untuk menambah jatah sumbangan kepadanya dari baitul mal kaum muslimin, sebab anaknya banyak. Di ketika perempuan itu berbicara, anaknya bertengkar dengan anak Amirul Mukminin sebab suatu mainan. Lalu anaknya memukul kepala anak Amirul Mukminin, hingga darahpun mengalir dari kepalanya. Lantas istri Amirul Mukminin cepat-cepat mengambil putranya sambil berteriak keras kepada perempuan tersebut. Maka perempuan itu ketakutan sebab perbuatan putra kecilnya terhadap putra Amirul Mukminin.
Kemudian Amar bin ‘Abdil ‘Aziz masuk ke dalam rumah, kemudian membalut kepala putranya, kemudian keluar menemui perempuan itu seraya menenangkannya dari ketakutan, kemudian mengambil mainan dari putranya dan memberikannya kepada anak perempuan tersebut. Kemudian dia berkata,’Pergilah kepada bendahara, katakana kepadanya semoga dia menaikkan sumbangan kepadamu.’ Maka istri Amirul Mukminin berkata,’Putramu telah terpukul, kemudian engkau menaikkan harta jatah untuknya serta member hadiah mainan kepada putranya?’ Umar bin ‘Abdil ‘Aziz menjawab,’Engkau telah membuatnya takut, sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,’Siapa yang menciptakan seorang muslim ketakutan, maka Allah akan membuatnya ketakutan pada hari kiamat…’ Kemudian dia melanjutkan pembenahan tembok.
Pemuda Samarkand tersebut melihat pemandangan itu dengan sangat terheran-heran. Di sinilah dia berani untuk maju dengan langkah pelan menuju Umar bin ‘Abdil ‘Aziz seraya berkata ,’Anda pemimpin kaum muslimin?’
Sang Amir menjawab,’Ya, apa keperluanmu?’
Dia berkata,’Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya saya terzhalimi.’
Sang Amir pun berkata,’Atas siapa kau mengadukan perkara.’
Dia menjawab,’Atas Qutaibah bin Muslim.’
Maka Sang Amir tahu bahwa itu bukan pengaduan antara dua orang.
Maka cowok utusan itu meneruskan pengaduannya,’Paara dukun Samarkand telah mengutusku, dan mereka mengabarkan kepadaku bahwa di antara kebiasaan kalian ialah ketika kalian ingin membuka negeri manapun, kalian akan memperlihatkan kepada mereka tiga pilihan, kalian ajak mereka kepada Islam, atau membayar jizyah, atau perang.’
Sang Khalifah menjawab,’Ya dan termasuk hak negeri itu ialah menentukan satu di antara tiga pilihan tersebut.’
Pemuda itu berkata keheranan,’Dan bukan termasuk hak kalian untuk tetapkan (sepihak), mengagetkan, dan menyerang?!’
Sang Khalifah menjawab,’Ya, Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintah kami demikian, dan Rasul kami telah melarang kami dari kezhaliman.’
Pemuda itu berkata,’Adapun Qutaibah bin Muslim tidak melakukannya, bahkan dia dan pasukannya telah mengagetkan kami.’
Tatkala sang khalifah mendengar hal itu, dia tidak mengeluarkan perintah apapun. Bukan termasuk kebiasaannya mendengar hanya dari satu pihak. Dia harus meyakinkan hal itu.
Dia pun mengeluarkan satu kertas kecil, kemudian menulis dua baris kalimat, kemudian menutup dan menyetempelnya, kemudian berkata kepada cowok itu, ‘Kirimkan ini kepada Gubernur Samarkand, dia akan mengangkat kezhaliman dari dirimu.’
Pemuda itupun pergi dari Damaskus menuju Samarkand, dengan melintasi jarak jauh tersebut melalui padang pasir dan gunung-gunung, dengan berkata,’Kertas, apa yang sanggup dia lakukan di hadapan pasukan kaum muslimin?’ Saat dia hingga di Samarkand, dia beritakan apa yang terjadi kepada dukun. Maka mereka pun berkata kepadanya,’Berikan kertas itu kepada Gubernur.’ Maka cowok itu memberikannya kepada gubernur. Guberbur merasa asing dan heran dengan surat itu. Akan tetapi dia mengenal stempel Amirul Mukminin, maka dia pun meyakinkan dirinya bahwa surat itu benar dari Khalifah, kemudian membukanya. Dan ternyata yang tertulis di dalamnya adalah:
‘Dari Amirul Mukminin kepada Gubernur Samarkand. Assalamu’alaikum warahmatullahi wabaraktuhu. Angkatlah seorang hakim yang akan memperlihatkan peradilan antara dukun Samarkand dan Qutaibah bin Muslim, dan jadilah kau mengganti kedudukan Qutaibah.’
Maksud dari “jadilah kau mengganti kedudukan Qutaibah” ialah janganlah mengganggu Qutaibah yang sibuk melaksanakan penaklukan ke beberapa negeri. Dia sudah cukup sibuk, sebab itu wakililah dia.
Gubernur mengangkat seorang hakim dengan cepat. Akan tetapi sang hakim bersikeras untuk menghadirkan Qutaibah sebab perhatiannya terhadap keadilan, serta kekhawatirannya, bahwa ada kasus samar atas gubernur yang tidak mengetahuinya kecuali Qutaibah. Maka dia menentukan akad hingga Qutaibah sanggup hadir.
Kala itu Panglima Qutaibah bin Muslim telah menuntaskan perjalanannya, dan telah bersahabat dengan Cina untuk menaklukkannya. Kemudian datanglah perintah hakim, maka dia kembali sehabis menempuh perjalanan panjang. Saat para dukun itu mengetahui kedatangan Qutaibah, mereka mulai mengucurkan keringat. Sebelum Qutaibah masuk masjid yang di dalamnya akan diadakan peradilan, dia letakkan pedangnya dan menanggalkan sandalnya, kemudian berjalan menuju depan hakim, kemudian sang hakim berkata.’Duduklah kau di sisi penuntutmu.’
Peradilan pun di mulai:
Pembesar dukun bangun seraya berkata,’Sesungguhnya Qutaibah bin Muslim masuk ke negeri kami tanpa peringatan. Seluruh negeri telah dia beri peringatan dan pilihan, dakwah kepada Islam, atau membayar jizyah, atau perang, kecuali kami, dia menyerang kami tanpa peringatan.’
Maka hakim menoleh kepada Panglima Penakluk, Qutaibah bin Muslim seaya berkata,’Apa bantahanmu atas pengaduan ini?’
Berkatalah Qutaibah,’Mudah-mudahan Allah memperbaiki urusan sang hakim. Peperangan itu ialah tipu daya, negeri ini ialah negeri yang besar. Seluruh negeri sebelumnya melawan, mereka tidak ridha dengan jizyah dan tidak ridha dengan Islam. Seandainya kami memerangi mereka sehabis peringatan, maka mereka akan membunuh kami lebih banyak dari apa yang kami bunuh di tengah mereka. Dan alhamdulilah, dengan cara mengagetkan ini, kami telah melindungi kaum muslimin dari ancaman besar, sebagaimana juga akan menjadi gampang bagi kami untuk menaklukkan negeri-negeri setelahnya. Jika kami mengagetkan mereka, maka sesungguhnya kami telah menyelamatkan mereka dan memasukkan mereka ke dalam keselamatan.’
Sang hakim berkata,’Wahai Qutaibah, apakah kau telah mengajak mereka kepada Islam atau jizyah atau perang?’
Qutaibah menjawab,’Tidak, bahkan kami mengagetkan mereka sebab ancaman besar mereka.’
Berkatalah sang hakim,’Wahai Qutaibah, saya telah memutuskan, dan atasnya peradilan selesai. Wahai Qutaibah, tidaklah Allah subhanahu wa ta’ala menolong umat ini kecuali denga agama, menjauhi pengkhianatan, dan menegakkan keadilan. Demi Allah, tidaklah kita keluar dari rumah-rumah kita kecuali sebab berjihad di jalan Allah. Kita tidak keluar untuk menguasai bumi, dan menipu negeri kemudian berjaya di dalamnya tanpa hak.’
Kemudian sang hakim tetapkan perkara,’Aku tetapkan semoga seluruh pasukan kaum muslimin keluar dari negeri ini, dan mengembalikannya kepada penduduknya, serta memperlihatkan mereka kesempatan untuk berkemas-kemas perang, kemudian memperlihatkan mereka pilihan antara Islam, jizyah dan perang. Jika mereka menentukan perang, maka perang. Dan hendaknya seluruh kaum muslimin semuanya keluar dari Samarkand dengan berjalan kaki sebagaimana mereka memasukinya (yaitu tanpa hasil perniagaan) dan menyerahkan kota ini kepada penduduknya. Yang demikian itu demi melaksanakan syariat Allah subhanahu wa ta’ala dan sunnah Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam .’
Mulailah kaum muslimin keluar dari kota tersebut, bahkan sang hakim pun bangun dan keluar di hadapan pandangan para dukun.
Para dukun tidak mempercayai kasus tersebut, dan mereka merasa seolah-olah tengah berada dalam mimpi. Para penduduk Samarkand melihat kaum muslimin keluar dari kota hingga kota sunyi dari kaum muslimin semuanya.
Maka cowok utusan para dukun itu berakata,’Demi Allah, agama mereka benar-benar agama yang hak. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang hak selain Allah, dan bahwa Muhammad ialah utusan Allah.’
Tidak usang sehabis itu para dukun pun membaca kalimat syahadat (masuk Islam), kemudian seluruh penduduk Samarkand pun masuk Islam dan meminta kepada kaum muslimin untuk kembali ke kota seraya mengatakan,’Kalian ialah saudara-saudara kami.’
Itulah cerita peradilan terbesar yang diketahui oleh sejarah masa kemudian dan masa sekarang. Itu ialah satu lembar dari sekian banyak lembaran sejarah keIslaman kita yang menunjukan keadilan Islam dalam segala situasi, baik terhadap sesama muslim maupun kepada selain muslim. Itu ialah satu citra dari banyak citra keadilan Islam yang hilang dan dihilangkan dari kemanusiaan.
Jika ini ialah perlakuan kami terhadap selain jago kitab (Yahudi dan Nasrani) maka bagaimana pula perlakuan kami terhadap jago kitab yang Allah subhanahu wa ta'ala memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada mereka?! Jika ini ialah perlakuan kami kepada orang-orang yang dihentikan menikahinya, dan memakan sembelihan mereka, kemudian bagaimana perlakuan kami kepada orang yang halal wanitanya dan sembelihannya? Sesungguhnya keadilan Islam, dan toleransinya telah disembunyikan oleh gereja-gereja dan para pendeta, kemudian mereka menggambarkan Islam kepada para pengikutnya bahwa Islam ialah agama zhalim, garang, bengis, kejam, lagi buas. Akan tetapi dengan sedikit logika dan obyektifitas, insan akan hingga kepada hakikat sebenarnya, apapun agamanya.
Sumber:
-Syaikh Ali Thanthawi, Qashah Min al-Tarikh; Qisshah Qadhiyyah Samarkand
-Khutbah “Samahatul Islam” oleh Syaikh Muhammad Hassan -dll
Ditulis oleh: Syaikh Mamduh Farhan al Buhairi, Majalah Qiblati edisi 09 tahun V
-Syaikh Ali Thanthawi, Qashah Min al-Tarikh; Qisshah Qadhiyyah Samarkand
-Khutbah “Samahatul Islam” oleh Syaikh Muhammad Hassan -dll
Ditulis oleh: Syaikh Mamduh Farhan al Buhairi, Majalah Qiblati edisi 09 tahun V
Post a Comment
Post a Comment