Report Abuse

Stats

Comment

Bilangan Rokaat Teraweh

Post a Comment
 Bilangan Rokaat Teraweh
  Bilangan Rokaat Teraweh
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam Tidak Pernah Shalat Lebih Dari 11 Raka'at
Sehubungan dengan problem ini kami hanya menyebutkan dua hadits yaitu :

Pertama

"Dari Abi Salamah bin Abdurrahman gotong royong ia bertanya kepada 'Aisyah radyillahu anha wacana shalat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di bulan Ramadhan. Maka ia menjawab ; Tidak pernah Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam kerjakan (tathawwu') di bulan Ramadhan dan tidak pula di bulan lainnya lebih dari sebelas raka'at. Ia shalat empat (raka'at) jangan engkau tanya wacana elok dan panjangnya, kemudian ia shalat empat (raka'at), jangan engkau tanya panjang dan bagusnya kemudian ia shalat tiga raka'at". [Hadits Shahih Riwayat Bukhari dan Muslim]

Selain oleh Bukhari dan Muslim, hadits ini juga diriwayatkan oleh Abu Dawud I:210, Tirmidzi II:302-303, Nasa'i I:248, Malik I:134, Baihaqi II:495-496 serta Ahmad VI:36,73,104.
Pada riwayat lain bagi Abi Syaibah II:16/1 dan Muslim serta lainnya disebutkan bahwa shalat ia di bulan Ramadhan dan bulan-bulan lainnya ialah 13 raka'at, termasuk pada jumlah tersebut dua raka'at Fajar/Shubuh.

Tetapi pada riwayat lain dari Malik dan juga Bukhari gotong royong 'Aisyah berkata : Adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, shalat malam 13 raka'at, kemudian dikala mendengar adzan shubuh, ia shalat dua raka'at yang ringan.

Pada zahirnya kedua riwayat di atas kelihatan bertentangan, tetapi sebenarnya tidak demikian halnya, lantaran embel-embel dua raka'at yang ada pada riwayat Malik dan Bukhari sanggup diartikan ba'diyah Isya' atau shalat Iftitah (Shalat pembukaan sebelum memulai shalat malam). Tentang shalat Iftitah ini Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, biasa memulai shalat malam (11 raka'at) itu dengan dua raka'at yang ringan.

Adapun perincian 13 raka'at yang dimaksud pada riwayat di atas ialah sebagaimana riwayat Zaid bin Khalid l-Juhani, gotong royong ia berkata : "Aku perhatikan shalat malam Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, yaitu (Ia) shalat dua raka'at yang ringan, kemudian ia shalat dua raka'at yang panjang sekali, kemudian shalat dua raka'at, dan dua raka'at ini tidak sepanjang dua raka'at sebelumnya, kemudian shalat dua raka'at (tidak sepanjang dua raka'at sebelumnya), kemudian shalat dua raka'at (tidak sepanjang dua raka'at sebelumnya), kemudian shalat dua raka'at (tidak sepanjang dua raka'at sebelumnya), kemudian witir satu raka'at, yang demikian ialah 13 raka'at". [Diriwayatkan oleh Malik, Muslim, Abu Awanah, Abu Dawud dan Ibnu Nashr]

Untuk penulis lebih cenderung menyampaikan dua raka'at yang ringan ialah dua raka'at ba'diyah Isya'; dasarnya ialah riwayat Ibnu Nashr dalam kitab Qiyamul Lail halaman 48 dimana diceritakan : Bahwa kami (shahabat) pulang dari Hudaibiyah bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, dikala hingga di Suqya (kota yang terletak antara Mekkah dan Madinah), Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bangkit dan Jabir ada di sisinya, kemudian mereka berdua shalat Isya', kemudian shalat tiga belas raka'at.

Kedudukan hadits ini memang tidak begitu besar lengan berkuasa lantaran pada sanadnya terdapat rawi SYARHABIL BIN SA'AD, padanya terdapat kelemahan. Sungguhpun demikian ia sanggup dijadikan pertimbangan, bahwa sunnah ba'diyah Isya' masuk dalam jumlah 13 raka'at tersebut. Wallahu A'lam.

Maksudnya dengan satu kali salam, Imam Nawawi dalam Syarah Muslim mengatakan, bahwa disebut demikian, untuk pertanda bolehnya satu kali salam. Yang lebih afdhal ialah memberi salam dalam setiap dua raka'at sebagaimana sabda ia : "Shalat malam dan siang, dua raka'at dua raka'at.

Sedang penulis menentukan pendapat kedua. Begitu pula para pengikut Imam Syafi'i, bahkan mereka beranggapan salam satu kali itu tidak shah shalatnya.

Kedua

"Artinya : Dari Jabir bin Abdullah radyillahu 'anhum, ia berkata : Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah shalat bersama kami di bulan Ramadhan (sebanyak) delapan raka'at dan witir (satu raka'at). Maka pada hari berikutnya kami berkumpul di masjid dan mengharap ia keluar (untuk shalat), tetapi tidak keluar hingga masuk waktu pagi, kemudian kami masuk kepadanya, kemudian kami berkata : Ya Rasulullah ! Tadi malam kami telah berkumpul di masjid dan kami harapkan engkau mau shalat bersama kami, maka sabdanya "Sesungguhnya saya khawatir (shalat itu) akan diwajibkan atas kau sekalian". [Hadits Riwayat Thabrani dan Ibnu Nashr].

Ibnu Nashr meriwayatkan hadits ini dalam kitabnya di halaman 90, sedangkan Thabrani dalam Al-Mu'jamus Shagir, halaman 108, sanad hadits ini HASAN lantaran dikuatkan oleh hadits yang pertama.  Dalam kitab Fathul Baari III:10 dan At-Takhlis halaman 119, Al-Hafidz Ibnu Hajar memberi arahan penguatannya dengan hadits Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban yang terdapat dalam kitab shahih mereka berdua.

KELEMAHAN HADITS 20 RAKA'AT

Dalam kitab Fathul Baari IV:205-206, pada keterangan hadits pertama, Ibnu Hajar menyampaikan : "Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari hadits Abbas, gotong royong Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah shalat (malam) di bulan Ramadhan 20 raka'at dan beriwitir satu raka'at itu, sanadnya lemah. Hadits ini bertentangan dengan hadits 'Aisyah yang terdapat dalam shahihain. Dalam hal ini 'Aisyah lebih mengetahui hal ihwal Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada malam harinya bila dibandingkan dengan yang lain".

Pernyataan yang sama juga diungkapkan oleh Imam Az-Zaila'i dalam kitab Nashbur-Raayah : II :153.

Penulis beropini : Hadits ini memang lemah sekali, menyerupai yang dinyatakan Imam Suyuthi dalam Al-Hawi lil Fatawaa II:73 yang menyebabkan kelemahannya ialah rawi yang berjulukan ABU SYAIBAH IBRAHIM BIN 'UTSMAN.

Dalam kitab At-Taqriib Ibnu Hajar menyebut rawi ini sebagai Matrukul Hadits. Penulis telah menelusuri sumber-sumbernya tetapi tidak didapati kecuali melalui jalannya. Ibnu Abi Syaibah mengeluarkan hadits ini dalam Al-Mushannaf II:90/2, Abdun bin Hamid dalam Al-Muntakhab Minal Musnad 34:I/1, Thabrani dalam Al-Mu'jamul Kabir III:148 dan Al-Aushath, begitu pula Adz-Dzahabi dalam Al-Muntaqa Minhu III:2 dan Baihaqi dalam Sunannya II:496.

Semua riwayat ini niscaya melalui jalan Ibrahim bin 'Utsman dari Hakim dari Muqsam dari Ibnu Abbas secara marfu' (sampai kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam).

Thabrani menyampaikan bahwa tidak diriwayatkan dari Ibnu Abbas kecuali dengan sanad ini. Baihaqi menegaskan bahwa Abi Syaibah bersendirian (tafarada bihi) dan ia ini lemah. Begitu pula pernyataan Al-Haitsami dalam Majma'uz Zawaid III:172 bahwa dia itu lemah.

Yang sebenarnya ia itu sangat lemah sekali, bahkan Ibnu Hajar menyampaikan bahwa ia Matrukul Hadits (ditinggalkan haditsnya), maksudnya haditsnya tidak dipakai.

Ibnu Ma'in menyebutnya Laisa bits-tsiqah = tidak termasuk orang kepercayaan. Jurjani menyebutnya "saaqit" = yang gugur, sedangkan Syu'bah mendustakannya dalam suatu cerita/qishah. Bukhari berkata : Sakatu 'anhu (Ulama Hadits mendiamkannya).

Pada halaman 118 kitab Ikhtisar fi 'Ulumul Hadits, Ibnu Katsir menyampaikan : Bahwa siapa saja yang dikatakan Bukhari "Sakatu'anhu" berarti rawi itu berada dikedudukan yang paling rendah dan buruk (menurut pandangannya).

Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas penulis beranggapan bahwa haditsnya sanggup disejajarkan dengan Hadits Maudlu', lantaran isinya bertentangan dengan hadits 'Aisyah dan Jabir, sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Hajar 'Asqalani dan Zaila'i di atas, dan lebih dari itu Imam Adz-Dzahabi memasukkan hadits ini dalam kitab Manakir-nya (kumpulan hadits-hadits Munkar).

Selanjutnya Ibnu Hajar Al-Haitsami dalam kitab Al-Fatawal Kubra I:195 menyebut rawi ini Syadidud-dha'fi yaitu sangat lemah sekali, dan gotong royong ia biasa meriwayatkan hadits-hadits maudlu', menyerupai wacana tidak dibinasakannya ummat kecuali pada bulan Maret atau hadits hari Kiamat tidak akan tiba kecuali pada bulan Maret dan lain sebagainya. Adapun haditsnya di wacana shalat Tarawih ini termasuk salah satu hadits Munkarnya.

Jadi terang hadits ini tidak sanggup digunakan lantaran menyerupai yang dikatakan As-Subki bahwa salah satu syarat bolehnya mengamalkan hadits lemah itu ialah apabila hadits itu tidak terlalu lemah, sedangkan hadits ini menyerupai dimaklumi ialah sangat lemah.

Dari ucapan As-Subki terdapat arahan halus bahwa Ibnu Hajar Haitsami tidak akan mengamalkan hadits dua puluh raka'at tersebut.

Imam Suyuthi, sehabis menyebutkan hadits riwayat Ibnu Hiban ia berkata : "Singkatnya dua puluh raka'at itu, tidak pernah dikerjakan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, adapun hadits riwayat Ibnu Hibban tersebut sudah sesuai dengan hadits 'Aisyah yang menyebutkan bahwa ia tidak pernah mengerjakan lebih dari 11 raka'at, baik dalam bulan Ramadhan atau lainnya, lantaran dalam riwayat Ibnu Hibban tersebut diterangkan bahwa ia shalat Tarawih delapan raka'at. Kemudian berwitir tiga raka'at, jadi jumlahnya sebelas raka'at".

Indikasi lain yang menawarkan Nabi shallallhu 'alaihi wasallam tidak pernah mengerjakan lebih dari sebelas raka'at ialah lantaran Nabi shallallahu 'alaihi wasallam (menurut kebiasaannya) apabila mengerjakan sesuatu amalan, maka ia kerjakan dengan tetap, menyerupai contohnya mengqadha' dua raka'at ba'diyah Zhuhur sehabis shalat Ashar, shalat ini ia kerjakan dengan tetap, meskipun kejadiannya hanya sekali.

Jadi bila memang benar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah mengerjakan 20 raka'at, tentu pekerjaan itu tidak akan ia tinggalkan sama sekali dan lebih dari itu 'Aisyah radyiallahu 'anha pun tidak akan berani menciptakan pernyataan yang membatas bahwa ia tidak pernah mengerjakan lebih dari sebelas raka'at menyerupai disebutkan di atas".

Berdasarkan ini penulis sanggup menyimpulkan bahwa Imam Suyuthi cenderung menentukan sebelas raka'at dan sekaligus menolak yang dua puluh raka'at lantaran kelemahan riwayatnya.

Dikutip dari buku: Kelemahan Hadits Tarawih 20 Raka'at; Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah; Penterjemah : Luthfie Abdullah Ismail. Sumber: www.assunnah.or.id

Related Posts

Post a Comment