Suatu hari Rasulullah SAW pergi keluar rumah. Di tengah jalan, dia bertemu Abu Bakar dan Umar bin Khattab. “Mengapa kalian keluar rumah,” tanya Nabi. Jawab mereka, “Tak ada yang menciptakan kami keluar rumah selain rasa lapar.” Rasulullah SAW sendiri pergi keluar rumah juga sebab lapar. Lalu, dia mengajak dua sahabatnya itu tiba ke rumah seorang sobat berjulukan Abu Ayyub al-Anshari. Sang tuan rumah, Abu Ayyub, bergembira ria oleh kedatangan tamu-tamu yang sangat dihormatinya itu. Abu Ayyub menyuguhkan roti, daging, kurma lembap dan kering (tamar). Setelah mereka menyantap suguhan itu, Nabi SAW dengan mata berkaca-kaca (Menangis) berkata, “Kenikmatan ini akan ditanya oleh Allah kelak di hari Kiamat.” (HR Muslim, Thabrani, dan Baihaqi).
Kalau kenikmatan kecil-kecilan saja menyerupai makan dan minum wajib disyukuri, bagaimana dengan kenikmatan yang besar-besar menyerupai nikmat iman, kesehatan, dan kekayaan (yang berlimpah)? Air mata Nabi, dalam dongeng ini, dapat dipahami sebagai verbal keprihatinan dia atas kenyataan bahwa insan pada umumnya kurang bersyukur.
Konglomerat menyerupai Qarun menjadi kufur, sebab merasa semua kekayaannya yang sangat besar itu diperoleh sebab kehebatannya sendiri, padahal dia bukan koruptor. Namun saat ditanya wacana kekayaannya, Qarun berkata, "Sesungguhnya saya hanya diberi harta itu, sebab ilmu yang ada padaku". (QS al-Qashash [28]: 78). Kaprikornus hartanya dipakai semau-maunya sendiri, tanpa kenal Allah SWT.
Berlainan dengan Qarun, Nabi Sulaiman AS, dengan kuasa dan kekayaan yang jauh lebih besar, justru menyandarkan semua kuasa dan kekayaannya itu kepada Allah SWT semata. “Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba saya apakah saya bersyukur atau mengingkari (kufur) akan nikmat-Nya.” (QS al-Naml [27]: 40) bahkan dikisahkan Nabi Sulaiman AS, pernah memberi makan seluruh ikan dilaut sebagai tanda syukur dan mencicipi betapa kebesaran Allah dalam memberi rizki
Telah diriwayatkan bahwa Nabi Musa as pernah bertanya kepada Tuhannya: ”Ya Robb, bagaimana saya bersyukur kepada Engkau? Robbnya menjawab: ”Ingatlah Aku, dan janganlah kau lupakan Aku. Jika kau mengingat Aku sungguh kau telah bersyukur kepadaKu. Namun, jikalau kau melupakan Aku, kau telah mengingkari nikmatKu”. Menurut pakar tafsir al-Ishfahani, syukur bermakna mengerti dan menyadari nikmat, kemudian menampakkannya melalui zakat, infak, dan sedekah. Syukur juga berarti mempergunakan nikmat sesuai maksud dan tujuan diberikannya nikmat itu di jalan Allah SWT.
Ahli Tafsir, Ali Ash Shobuni menjelaskan bahwa yang dimaksud “Ingat kepada Alloh” itu yaitu dengan Ibadah dan Ta’at, maka Alloh akan ingat kepada kita, artinya memperlihatkan pahala dan ampunan. Selanjutnya kita wajib bersyukur atas nikmat Allah dan jangan mengingkarinya dengan berbuat dosa dan maksiat.
Ketika insan ditimpa banyak sekali macam kesusahan mereka segara berdoa dan berjanji untuk bersyukur pada Allah jikalau tragedi itu dihindarkanNya. Akan tetapi, saat Allah menghindarkan mereka dari tragedi itu, mereka lupa bersyukur bahkan kembali mempersekutukan Allah swt. Betapa banyak orang menangis, meratap, memelas dan merengek-rengek meminta kepada Alloh swt semoga dihindarkan dari kesusahan hidup; problem pribadi, soal pekerjaan, musibah, dsb. Akan tetapi, saat Alloh menghindarkan mereka dari kesusahan mereka kembali lalai, bermaksiat, bahkan menerapkan aturan-aturan selain hukum Allah, lebih taat kepada seseorang dibanding taat kepada Allah, sengaja melupakan Allah, sengaja mengumbar maksiat. Bagaimana niatan yang ada pada hati yang demikian, siapakah yang jadi Tuhannya ?
source : Yusuf Mansyur Network
Post a Comment
Post a Comment