![]() |
Pertolongan Sedekah Sepuluh Ribu Rupiah |
Usut punya usut, si Wartawan ini tengah kecewa berat alasannya gagal bertemu dengan seorang tokoh yang hendak diwawancarai. Betapa tidak kecewa, semenjak siang hari ia sudah "mengejar-ngejar" tokoh tersebut. Siang hari, mereka akad bertemu di sebuah kantor.
Beberapa dikala sebelum waktu pertemuan itu berlangsung, tokoh penting ini mendadak membatalkan janji, ada program mendadak katanya. Militansinya sebagai seorang wartawan untuk mendapatkan isu telah menciptakan laki-laki muda ini mendatangi hotel kawasan si Pejabat meeting. Dua jam lamanya, ia menunggu. Namun sial, si Pejabat itu keluar dari pintu samping hotel sehingga tidak sempat bertemu sang Wartawan.
Tidak mau patah arang, ia segera mencari tahu di mana keberadaan pejabat itu. Dia pun mendapatkan informasi bahwa orang yang dicarinya itu sudah pulang ke rumahnya di sebuah kompleks perumahan elite. Tanpa banyak berpikir, sang Wartawan tancap gas. Dengan motornya yang sudah agak butut, ia mendatangi perumahan tersebut. Walau harus tanya sana-tanya sini, alhasil ia bisa hingga ke rumah si Pejabat.
"Aduh maaf, Mas, Bapaknya barusan pergi lagi. Ada pertemuan lagi katanya. Tapi, Bapak nggak bilang di mananya," kata si penghuni rumah.
Lunglailah kaki si Wartawan. Dia pun pergi. Berkali-kali ia coba mengontak si pejabat, tetapi berkali-kali pula ponselnya tidak diangkat. Sudah terbayang di benaknya jika nanti malam ia akan ditegur atasannya alasannya tidak bisa mendapatkan berita. Perutnya yang keroncongan seakan menambah derita.
Saat duduk di masjid itulah, ia melihat seorang kakek yang gres saja menunaikan shalat maghrib. Dipandanginya kakek itu. Tampangnya sangat tidak meyakinkan: tinggi, kurus, jambang putihnya tidak terurus, pakaiannya sangat sederhana dan sudah luntur warnanya, sandal jepitnya pun sudah butut.
Kakek itu menghampiri sebuah tanggungan kayu bakar. Lalu, mengambil topi dan duduk melepas lelah takjauh dari kawasan si Wartawan. Kerutan wajahnya yang hitam terbakar matahari seakan tampak makin mengerut alasannya kelelahan.
"Cep, peryogi suluh henteu? Peserlah suluh anu Bapa, ieu ti enjing-enjing teu acan pajeng!" kata Pak Tua kepada si Wartawan. Maksudnya, ia menunjukkan kayu bakar yang dibawanya alasannya semenjak dari pagi tidak laku-laku.
"Punten Bapa, abdi di Bumi teu nganggo suluh (Maaf Bapak, saya di rumah tidak memakai kayu bakar)," jawabnya.
"Oh muhun, teu sawios. Mangga atuh, Bapa tipayun, (Oh iya, nggak apa-apa. Kalau begitu permisi, Bapak duluan)," ujar Pak Tua penjual kayu bakar itu.
Sebelum Pak Tua itu pergi, si Wartawan segera mengambil dompet. Dilihatnya hanya ada uang sepuluh ribu, satu-satunya, plus beberapa keping uang receh. Itulah hartanya yang tersisa pada hari itu untuk makan dan membeli bensin. Namun, semua itu ia abaikan. Dia berikan uang sepuluh ribu itu kepada Pak Tua. Walau awalnya menolak, tapi alhasil ia menerimanya pula.
Sambil menahan tangis haru, Pak Tua berkata, "Hatur nuhun Kasep, tos nulungan Bapak. Mugi-mugi Gusti Alloh ngagentosan kunu langkung ageung (Terima kasih, Cakep, sudah menolong Bapak, biar Gusti Allah menggantinya dengan yang lebih besar)." Ternyata, Bapak ini semenjak pagi belum makan dan tidak punya uang untuk pulang.
Selembar sepuluh ribu telah mengubah segalanya. Dia te-lah sudi memasukkan rasa senang kepada saudaranya yang tengah kesusahan, Allah Swt. pun eksklusif membalasnya dengan memasukkan rasa senang yang berlipat-lipat ke dalam hatinya.
Rasa lapar, penat, dan hati dongkol yang sebelumnya mendominasi dirinya eksklusif hilang sirna berganti kelapangan dan kebahagiaan. Uang sepuluh ribu itu benar-benar mengatakan kepuasan yang sensasinya sulit terlupakan. Dia tidak bisa berkata apa-apa selain dari tetesan air mata bahagia. "Terima kasih, ya Allah, engkau telah memberiku rezeki sehingga bisa berbagi," gumamnya.
Tak usang kemudian, datanglah karunia yang kedua. Ponselnya tiba-tiba berbunyi, dilihatnya sebuah pesan dari atasannya jika ia tidak perlu lagi mengejar si Pejabat alasannya ada narasumber lain yang lebih kompeten yang siap diwawancara seorang rekannya. Dia hanya memberi penugasan untuk meliput sebuah program syukuran di salah satu hotel berbintang.
Karunia Allah yang ketiga pun segera datang. Di sela-sela program liputan di hotel itu, sang Wartawan dipersilakan oleh panitia untuk menikmati hidangan glamor yang tersedia sepuasnya. Menjelang pulang, ia mendapatkan sebuah doorprize dan beberapa buah bingkisan sebagai ucapan terima kasih dari pihak penyelenggara. "Malam yang indah ...," ujarnya.
Post a Comment
Post a Comment